Skip to main content

Tak Ingin Anak Mewarisi


Sejak fajar menyinsing Senin (11/4) lalu, mentari terkesan enggan menyemburkan sinarnya. Rintik gerimis pun menyusul melembabkan setiap sisi kota yang tersentuh. Seakan tak mau tahu dengan gerimis yang turun, Rustam dengan syahdu memainkan rabab –alunan musik dari biola- di tengah hilir mudik pejalan kaki yang menapaki trotoar yang kembali lembab oleh rintik-rintik hujan.

Di tangan lelaki 42 tahun ini, alunan Rabab Pesisie mengalun sendu, sesendu Kota Batam yang sejak pagi dibasahi rintik gerimis. Rustam duduk bersila, sepelemparan batu dari salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota ini, Nagoya Hill. Biola lusuh di pangkuan, terus dipeluk dan dibelai bak anaknya sendiri sembari menuturkan kisah panjang kehidupannya di kota industri ini.

“Apak (bapak-red) sudah di Batam sejak tahun 1997 dan memainkan Rabab Pasisie,” ujar Rustam memulai percakapan kepada Haluan Kepri, Senin (11/4) siang lalu.

Rabab Pasisie merupakan salah satu kesenian daerah asal Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kesenian ini, bagi laki-laki asal Tarusan, Pesisir Selatan, merupakan satu-satunya keahlian dan keterampilan yang dimilikinya sejak berusia sepuluh tahun. Di Tarusan, ia kerap bermain Rabab Pasisie di perhelatan pernikahan, sunatan, dan pesta lainnya.

“Kalau di Batam, Apak ya di pinggir-pinggir jalan mainnya,” ujar laki-laki berkopiah lusuh ini.

Ketika mentari beringsut ke ubun-ubun, ketika itu pula Rustam dan istrinya mengais rezeki untuk keluarga di pusat-pusat keramaian di Kota Batam. Sejak siang hingga senja, ia melantunkan kisah-kisah kehidupan anak manusia dalam syair-syair yang berbahasa Minang.

“Kisah dalam syair ini tidak hanya menghibur siapa yang lewat, tetapi juga penuh makna, nasehat, dan pelajaran bagi kita,” pungkasnya sambil mengedip-ngedipkan mata.

Lelaki yang tinggal di Tanjuang Uma, Kota Batam ini, juga seorang tunanetra. Sejak lahir ia tak mampu melihat dan tak pula pernah menempuh pendidikan. Dengan kebulatan tekad, ia pun mencoba merajut kehidupan di Kota Batam dengan mengandalkan kepandaian bermain Rabab Pasisie.

“Apak hanya melihat dengan hati siapa yang singgah dan memberi selembar ribuan atau lebih kepada Apak,” terang lelaki lima anak ini.

Bermain Rabab Pasisie bagi Rustam, selain sebagai sumber ekonomi keluarga juga sebagai pemuasan diri. Ia merasa ada sesuatu yang kurang jika tak memainkan kesenian ini dalam hari-harinya. Sedangkan sebagai sumber ekonomi keluarga, Rustam merasa malu jika hanya meminta-minta kepada orang-orang tanpa memberikan sesuatu yang lebih.
“Selagi bisa berusaha, kenapa tidak berusaha? Orang-orang seperti Apak hanya bisa berusaha dan berharap banyak pada kehidupan,” terangnya sambil menelungkupkan biola agar tak dibasahi gerimis.

Hingga kini, dua anak Rustam tengah menempuh pendidikan sekolah menengah pertama sedangkan selebihnya masih sekolah dasar. Kelima anaknya dititipkan kepada orang tua Rustam di kampung, di Tarusan. Setiap bulan ia mengirimi anak-anaknya beberapa ratus ribu rupiah untuk biaya sekolah dan keperluan lainnya.

“Jika mampu kadang kami pulang kampung menjenguk anak. Jika tidak, ya tidak pulang,” ujarnya.

Di antara kelima anak Rustam, tak satu pun yang mewarisi bakat bermain Rabab Pasisie ayahnya. Ia pernah mengajari namun tak kunjung bisa. Walaupun demikian, Rustam tak berharap banyak kelak anaknya mewarisi kehidupannya sekarang. Ia lebih berharap anaknya bersekolah dan memperoleh kehidupan lebih baik dari dirinya saat ini.

“Istri Apak juga seorang yang piatu. Anak-anak tetap bersekolah kalau mampu juga bisa kuliah,” harap Rustam.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...