Skip to main content

“Batam Madani Itu Akal-akalan Saja”


Sekilas di siang hari, kompleks ruko atau rumah toko di persimpangan empat di Center Point, Nagoya, Kota Batam, terkesan sama dengan kompleks ruko lainnya di kota industri ini. Namun, siapa sangka kawasan yang selalu diramaikan oleh mobil-mobil sedan yang berseliweran ini merupakan salah satu kompleks ‘hiburan malam’ di Kota Batam.

Beberapa perempuan tampak hilir mudik di persimpangan tersebut. Berpakaian hotpant serta kaos ketat. Tentu saja seksi dan menggoda. Sambil menenteng tas mereka bersenda gurau diikuti tawa. Kadang, beberapa lelaki jahil menyapa dengan panggilan nakal bahkan mencolek mereka.

Puluhan bahkan ratusan tempat hiburan tersedia di tempat ini yang hampir setiap sore hingga subuh menjelang diramaikan oleh orang-orang. Kedoknya beragam. Ada Panti Pijat, tempat Massage dan Spa, hingga Karaoke dan Lounge. Biasanya, setiap nama ‘rumah hiburan’ ini dilengkapi dengan gambar macan yang mengaum. Gambar ini pun menjadi lambang dengan makna tersendiri di kompleks tersebut.

Alex, begitu ia biasa disapa di kompleks ‘rumah hiburan’, menuturkan kompleks ini selalu diramaikan pengunjung yang datang dari Kota Batam atau luar negeri. Pengunjung pun akan semakin ramai ketika akhir pekan.

“Biasanya orang Singapura, Inggris, Malaysia, dan turis lainnya,” cerita lelaki penjaga salah satu ‘rumah hiburan’ ini kepada Haluan Kepri, Rabu (14/3) kemarin.

Roni, seorang penyedia jasa ojek bercerita, selama delapan tahun ia menempuh kehidupan di kompleks tersebut, pemandangan orang-orang berpakaian seksi sudah menjadi hal wajar. Ia tak heran lagi apalagi canggung. Tak jarang pula, para pekerja ‘rumah hiburan’ yang kebanyakan perempuan itu memanfaatkan jasa ojeknya kemana-mana.

“Ya saya cari duit di sini. Siapa saja yang menumpang ya saya bawa lah,” terangnya.

Konsep Batam Bandar Dunia Madani yang digadang-gadangkan oleh Pemerintah Kota Batam, menurut masyarakat di sekitar kompleks merupakan pekerjaan yang tidak gampang. Apalagi di kompleks ‘rumah hiburan’ yang menjadi modal perekonomian puluhan bahkan ratusan keluarga dan lainnya. Mereka hidup heterogen dengan budaya yang berbeda selama puluhan tahun. Akrab dengan orang asing ataupun turis mancanegara, serta bergaul bebas sesuka hati.

“Kalau memang ingin mewujudkan Batam Madani, yah harus kerja keras dan dari dulu-dulu,” ungkap Eppy, salah satu security di salah satu pusat perbelanjaan di kompleks itu.

Bagi Eppy, melihat kondisi kompleks itu saat ini, konsep Batam Bandar Dunia Madani hanya akal-akalan saja. Sejak plang yang bertuliskan imbauan agar memakai pakaian sopan di simpang empat tersebut dipasang, orang-orang tetap saja berpakaian sesuai keinginan mereka.

“Plang itu hanya plang dan tak mempengaruhi. Masa cara orang berpakaian diatur-atur. Itu kan hak mereka si pemakai,” jelas salah satu supir taksi yang mangkal di simpang empat tersebut.

Namun, sanggahnya, pada hakikatnya masyarakat di kompleks tersebut juga lebih mencintai kehidupan wajar, jauh dari kemaksiatan, dan tekanan lainnya.

“Kenyataan hidup tak bisa dipilih sesuka hati. Ternyata beginilah kehidupan kita (masyarakat di sekitar kompleks-red),” terangnya.

Si supir taksi pun, sebagai penyedia jasa bagi orang-orang di kompleks tersebut menilai, Kota Batam sudah sejak dulu akrab dan terkenal dengan ‘dunia hitam’. Batam merupakan tempat yang tidak baik bagi perempuan dan anak-anak. Batam bak Texasnya Tanah Air.

“Anak sekolah saja bisa rusak di sini. Karena memang begini Kota Batam,” jelas Alex menyambung sembari mengisap rokok.

Ia menceritakan, beberapa tahun lalu memang sering diadakan razia oleh aparat kepolisian terhadap ‘rumah hiburan’ dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Dulu masih ada anak gadis yang bekerja di ‘rumah hiburan’ berumur sekitar 14 hingga 15 tahun.

“Kalau sekarang tak boleh. Yang boleh kerja berumur 17 tahun ke atas,” terangnya.

Jangan heran, tambahnya, justru kedua orang tua si gadis yang mendaftarkan anaknya bekerja di ‘rumah hiburan’. Biasanya, sang orang tua akan menerima uang sekitar Rp 15 juta setelah memasukkan anaknya sebagai pekerja di rumah tersebut.

“Di sini, anak sudah biasa dijualbelikan dan sebagai sumber ekonomi keluarga. Jika tak percaya, Tanya saja ke sana,” ungkapnya sambil menunjuk salah satu ‘rumah hiburan’ di seberang jalan.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...