Skip to main content

Posts

Showing posts from 2016

Balimau, Mandi Besar Masuk Ramadan

Setiap memasuki bulan puasa, Ramadan, balimau menjadi hal wajib bagi kami di rumah. Balimau merupakan mandi besar, mandi wajib sebelum menjalankan ibadah puasa. Tujuan balimau tentu saja untuk membersihkan dan menyucikan untuk menyambut bulan yang suci. Mandi besar ini dilakukan pada sore hari yang dilanjutkan dengan malamnya melaksanakan salat tarawih. Ini menjadi tradisi di keluarga besar kami di Pesisir Selatan yang kemudian berlanjut ketika tinggal di Mukomuko. Dulu, kalau di kampung, tradisi balimau dilengkapi dengan rempah-rempah dan air wangi. Rempahnya, yang saya ingat, ada bunga mawar dan daun pandan. Itu dua rempah yang paling saya ingat, sepertinya masih ada yang lain. Kata balimau terdiri dari imbuhan ba- dan limau. Ba- sendiri sama dengan ber-, sementara limau, bermakna jeruk. Terjemahan literalnya berjeruk atau memakai jeruk, hahaha. Sementara makna semantiknya memakai jeruk untuk membersihkan diri. Jeruk kan juga identik untuk membersihkan, mewangikan, dan membuat j

Ramadhan 2016, Tidak Semua Ikut Berpuasa di Rumah

Sejak beberapa tahun belakangan, ramadhan bersama ibu di rumah di Mukomuko menjadi sesuatu yang istimewa. Maklum, selama ramadhan saya kerap jauh dari rumah dan ibu. Jika tidak di Padang ya di Jogja. Ramadhan dihabiskan sendiri atau bersama teman di kosan. Kata ibu, “Ramadhan yang buka dan sahur sendiri.” Ramadhan tahun ini saya di rumah bersama ibu dan kakak-kakak. Ya senang sih, menikmati ramadhan beramai-ramai, tidak sendiri atau dua tiga orang saja. Ditambah pula ramadhan ini rumah kedatangan satu tambahan anggota keluarga: kakak ipar, hehehe. Cerita ramadhan di rumah sepertinya tidak banyak berbeda dengan cerita ramadhan yang sudah-sudah. Bahwa akan selalu ada pihak-pihak yang tidak berpuasa selama ramadhan. Berikut beberapa pihak yang tidak berpuasa selama ramadhan di rumah saya: 1. Da Dedi. Ini abang saya yang sulung. Abang saya ini sangat spesial, sehingga tidak memungkinkan berpuasa di bulan puasa. Kami selalu menjaganya. 2. Aji. Ini kucing kami yang paling ganteng. Umu

Mencintai Ibu

Bagaimana mencintai ibu? Saya dengan mengambil alih pekerjaan yang dilakukan ibu, yang bisa saya lakukan. Ambil alih pekerjaan ini sebenarnya tidak selalu. Misal, tidak selalu saya yang mencuci piring atau tidak selalu saya yang memasak. Seperti pagi ini, saya tidak memasak, melainkan beliau. Sembari memasak beliau mengerjakan yang lain: membereskan rak piring, mengelap meja. Tapi, jika ada yang berbelanja, saya yang angkat pantat melayani pembeli. Kecuali menjahit. Beliau tidak menjahit pakai mesin, hanya jahit tangan. Menjahit kancing baju kakak yang lepas, menjahit selangkangan celana saya yang robek, menjahit baju nenek yang kepanjangan, atau menjahit sprei yang sobek digaruk kucing. Di depan mata saya, menjahit seakan-akan menegaskan ibu sebagai ibu. Ibu sebenarnya jarang menjahit. Tapi beliau punya banyak koleksi benang dengan berbagai warna. Dan beliau selalu menyimpan perlengkapan jahit ini. Meski tak pernah membantu ibu menjahit, tapi saya juga selalu memiliki perlengkap

Dan Saya Jadi Adik Ipar

Setelah melalui kisah yang panjang dan menyayat hati, akhirnya si abang menikah jua. Kami, terutama amak, mak tuo, dan para etek riang gembira tiada tara. Baralek, pesta sederhana pun disusun dan disiapkan di kampung, tempat kelahiran si abang dan kediaman istrinya. Amak bolak balik ke kampung dari Lubuk Sanai, Mukomuko hampir setiap dua minggu. Beliau dengan riang gembira tadi memasak berbagai macam makanan ringan. Ada onde-onde, lapek, kue beking, dan lainnya. Beliau memang suka memasak. Sementara amak dan keluarga sibuk menyiapkan pernikahan si abang, saya sedang di Yogyakarta. Saya juga sibuk menyiapkan upacara wisuda master saya yang kedua di Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Iya, wisuda master saya yang kedua, yang pertama di Kajian Budaya dan Media pada Oktober 2015 lalu, hehehehe. Saya memang kurang kerjaan, mau-maunya ambil master dua kali di UGM. Si abang menikah pada 29 April 2016. Saya wisuda pada 19 April 2016. Amak dan uni sudah datang pada wisuda pertama saya da

Kematian di Balik Kejayaan Singapura: Ulasan Atas Film Ilo Ilo

Ilo Ilo ialah film yang berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga menengah di Singapura yang tengah didera krisis ekonomi Asia. Krisis ekonomi Asia adalah isu lawas yang terjadi pada 1997, yang bermula di Thailand dan menyebar luas di kawasan Asia Tenggara. Krisis yang semakin meneguhkan Perdana Menteri Goh Chok Tong (dengan penasehat Lee Kuan Yew) mati-matian membangun Singapura dengan mengandalkan sumber daya manusia semata: pendidikan dan pelayanan. Krisis yang memaksa kediktatoran Jenderal Suharto ‘ says good bye ’ dari Indonesia. Perusahaan kaca tempat Teck (ayah) bekerja bangkrut di pasar saham. Perusahaan kapal tempat Hwee Leng (ibu) bekerja nyaris setiap hari memecat karyawan-karyawan rendahan. Krisis ekonomi ini semakin pelik menimpa pasangan Teck dan Hwee Leng dengan kelakuan putra sulung mereka, Jia Le (10 tahun), yang kerap berbuat onar di sekolah dan di rumah. Bocah ini berisik dengan bunyi-bunyian permainan tamagotchi ( digital pet game ) yang kemana-mana selalu dib

Memoar Pulau Buru: Berhenti Mengelola Negara dengan Kejahatan

Hersri Setiawan, alumni FISIPOL UGM yang selama sembilan tahun dibuang dan mendekam di Pulau Buru, Maluku, sebagai tahanan politik (tapol). Ia bersama beratus-ratus temannya, dosen dan mahasiswa UGM, hilang dan tidak kembali, menjadi korban peristiwa 65. Pada 11 Maret 2016, 51 tahun kemudian FISIPOL UGM memberi penghargaan Inspirasi Perjuangan HAM kepada karya-karya Hersri Setiawan. Ia seorang penulis buku dan jurnalis yang gigih mengupayakan pengungkapan kebenaran, rehabilitasi, serta rekonsiliasi peristiwa 65 yang merenggut nyawa anak bangsa yang tidak sedikit. Adapun buku-buku Hersri Setiawan yang bercerita tentang pengalamannya sebagai tapol di Pulau Buru, antara lain: Humoria Buruensis (1987); Aku Eks-Tapol (Galang Press, 2003a); Kamus GESTOK (Galang Press, 2003b); Diburu di Pulau Buru (Galang Press, 2006); dan yang terbaru Memoar Pulau Buru I (Gramedia, 2015). Seperti yang diutarakan oleh Budi Irawanto dalam makalahnya yang disampaikan pada Diskusi Buku Memoar Pulau Buru: Sej

Politik Kelas Menengah di Kota Menengah Indonesia

Indonesia cenderung dimengerti melalui Jakarta. Melalui birokrasi dan mata rantai yang bertumpu kepada institusi negara. Riset tentang kelas menengah ini mengembalikan pemahaman akan Indonesia yang tidak melulu dipahami dari Jakarta melainkan dari kawasan lokal yang jauh dari logika negara. Menggeser lokal menjadi kota. Menggeser pemahaman akan Indonesia ke garis kelas sosial masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Cornelis Lay dalam Seminar dan Diskusi Buku Kelas Menengah di Kota Menengah di Gedung Seminar FISIPOL UGM pada 24 Februari 2016 lalu. Selain Cornelis Lay, hadir di sana Gerry van Klinken sebagai peneliti dan penyunting buku tersebut. Menurut van Klinken, kelas adalah alat intelektual untuk berpolitik, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dan melanggengkan kekuasaan informal di kota menengah. Kelas menengah di kota menengah Indonesia pada dasarnya mendukung demokrasi dan desentralisasi, tapi menolak pasar bebas. Mereka juga cenderung bersepakat dengan model otoritarianisme deng

Kenapa Orang Bosan dengan Kecepatan?

Revolusi Internet 2.0 yang memungkinkan pengguna internet (media dan sosial media) berbagi konten kapan dan di mana saja dalam hitungan detik. Selama 24/7 orang terhubung dengan internet tanpa jeda. Waktu dan kecepatan pun menjadi tolak ukur seseorang untuk dapat dikatakan terkini dan terdepan, dua kata sakti-mandraguna dalam kajian media baru kontemporer. Alhasil, arus baru informasi dari televisi, media cetak, radio, dan internet berputar tanpa henti. Di tengah perputaran jutaan informasi yang cepat ini, orang-orang kemudian menjadi jenuh dan lelah. Tidak semata-mata karena kecepatan yang tak selalu terkejar, tapi juga pada persoalan akurasi antara fakta dan opini, orisinalitas, dan tata bahasa informasi yang disajikan tidak proporsional, serampangan, dan jauh dari etika pemberitaan media siber. Pindai.org, salah satu ruang publikasi kolektif untuk liputan dan analisis jurnalistik yang disajikan secara kritis dan mendalam meluncurkan buku Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme di L

IPT 65: Mengadili Dusta Sejarah

International People’s Tribunal for Indonesian 1965 Crimes against Humanity (IPT 65) yang digelar di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 lalu ialah demonstrasi menyerupai pengadilan rakyat yang menuntut keadilan bagi korban tragedi 1965 dalam dan luar negeri. Hakim-hakim pada pengadilan rakyat ini menyimpulkan sementara bahwa terjadi kejahatan serius dan pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia pada periode 1965 terhadap mereka yang dituduh komunis. Keputusan akhir majelis hakim akan diumumkan pada Maret mendatang. Keputusan ini penting guna menjadi dasar pengungkapan kebenaran dan kerja-kerja ke depan untuk meyakinkan pemerintah Indonesia menuntaskan persoalan 1965 dengan bermartabat. Usaha meyakinkan itu tidak berhenti pada pengadilan rakyat semata di Belanda, di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, di ruang Teaterikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi, perbincangan tentang IPT 65 diselenggarakan pada siang yang terik oleh Pers Mahasiswa RHETOR, Sosia

Memaknai Malam secara Kultural

Kita mungkin perlu berterimakasih kepada kota-kota yang hidup-menyala hingga larut malam. Melaluinya, kita tidak hanya diajari mengenai hangatnya cahaya, tapi juga sejuknya gulita. Jika siang menyuguhi kita pandangan serba kesibuk-riuhan, maka malam menawari kita alunan-alunan yang lebih gemulai dan tak tergesa-gesa. Duduk santai di sudut taman kota, ditemani secangkir kopi, beratapkan gemintang semesta, di sanalah malam mulai diurai kata per kata. Menikmati malam-malam seperti di Yogyakarta, Jakarta, Medan, atau Makassar adalah menikmati sisi lain dari maskulinitasnya sebuah kota. Bisakah kita menyebut malam sebagai sisi femininitas kota? Mungkin tidak, tapi mungkin juga bisa iya. Tidak, karena malam sudah duluan diberi label negatif, bahwa segala praktik kekerasan dan kedina-hinaan terjadi di kala malam. Mamak berujar ke keponakan, “Makanya, anak perempuan tak boleh keluar malam!”. Tapi, bisa jadi iya, karena ketika malamlah wajah asli sebuah kota ditampilkan. Bisa wajah yang

The Hateful Eight dan Kebencian Atas Tubuh

The Hateful 8 (2015), film kedelapan Quentin Tarantino ini dibuka dengan akting seorang nigger , Major Marquis Warren (Samuel L. Jackson) duduk santai sembari menghisap cerutu di atas seonggok mayat di tengah badai salju bagian utara Amerika Serikat. Niatnya, menghadang siapa saja yang lewat di jalur itu guna mendapatkan tumpangan ke Red Rock, pemukiman terdekat di padang salju tersebut. Cerita mulai mengalir ketika kereta kuda yang ia cegat merupakan kereta yang membawa seorang pemburu bayaran ( bounty hunter ) yang membunuh tawanannya dengan cara digantung hidup-hidup. The Hangman itu ialah John Ruth (Kurt Russell). John Ruth, memborgol dirinya bersama Daisy Dormegue (Jennifer Jason Leigh), saudara perempuan Jody Dormegue (Channing Tatum), ketua gang pembunuh bayaran yang kepalanya dihargai paling tinggi, sebesar US$ 50 ribu bagi pemburunya. Film ini hanya mengambil satu latar tempat yakni rumah persinggahan Minnie’s Haberdashery. Minnie dan Dave, sang pemilik rumah yang ramah