April ini, seperti April yang lalu, selalu ada kegiatan, diskusi, acara, dan tulisan di sana-sini menghiasi langit perempuan di negara Indopahit. Warga negara ini, hanya sebagian, merayakan hari pejuang perempuan yang dikenal dengan Hari R.A Kartini. Ini hari khusus mengingatkan akan perjuangan beliau dan kawan-kawan perempuan di pulau manapun di Tanah Air, untuk perempuan yang (pernah) tertindas dan kaum minoritas, sebutlah begitu.
Saya pun, seperti dipaksa untuk ikut serta merayakan hari ini walau hanya dengan berkata-kata, yang kadang omong kosong, dengan tulisan di blog tercinta. Apalah yang akan saya bagi, selain cas cis cus saya. Karena, sangat dilarang bukan membagi-bagikan uang gaib dengan motif yang gaib pula di negeri seribu satu genderuwo ini.
Tulisan ini tentu tidak hanya ditujukan kepada Amak saya dan perempuan pekerja saja. Jauh lebih penting tulisan ini ditujukan kepada pembaca yang telah sudi mampir dan rela mengobrak-abrik blog lusuh ini.
Saya, selalu berangan-angan agar Amak di hari-hari belakangan ini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Boleh beliau bekerja, hanya saja porsi dan intensitasnya dikurangi. Dan ketika berjumpa dengan perempuan yang kira-kira sebaya Amak di rantau ini, saya kerap terpana-pana. Baik ketika mereka sedang menggendong keranjang, mengayuh sepeda ontel, menimang cucu, atau bahkan turun dari mobil mewah.
Ada semacam ikatan batin bagi saya untuk tetap memperhatikan gerak gerik mereka. Rasanya senang dan punya cerita sendiri di benak. Walau kadang risih, karena bekerja di usia lanjut, selain kurang bagus untuk kesehatan juga agak kurang pas dipandang mata. Apakah ini konstruksi dari batin saya yang memandang perempuan baya atau lanjut harus leha-leha saja di rumah? Mungkin iya, tapi saya sepakat kok.
Sosok Amak pun seolah-olah hadir. Saya berharap dan berdoa beliau termasuk perempuan yang beruntung di dunia ini dengan kami sebagai putra putrinya. Walau waktu ini saya sedang berjuang untuk menggapai itu, tapi saya yakin, sang kakak-kakak sudah membangun sedikit demi sedikit istana buat Amak sekarang. Bahkan, mereka rela menunda untuk egois kepada diri sendiri. Ini pelajaran besar bagi saya, betapa saya masih manja dan egois, masih sama pada tahun-tahun lalu. Si bungsu yang agak cerdas namun lihai menyulap parasit dan egois menjadi taman indah yang sedap di mata dan telinga. Saya kadang merasa berdosa.
Ini perjuangan Amak saya sejak 30 tahun lebih merawat dan membesarkan kami putra putrinya. Luar biasa kawan. Tak ada lelah dan tak ada kesal. Sayang kepada sang penerus itu, seperti sayang Tuhan dan kepada ciptaan-Nya. Dogma ini sudah mulai saya telan lahan per lahan. Hingga sebutan kata Amak saya bawa kemana-mana. Kadang memang terkesan mulia dan berbakti, kadang juga munafik dan sok akrab. Kadang malah menjadi monopoli dan tameng dari apa saja. Itulah mukjizat kata Amak bagi saya saat ini.
Nah, di kamar ini, saya dikelilingi oleh enam perempuan muda pekerja. Mereka bekerja di sebuah perusahaan penyedia pakaian dalam yang semua produknya dijual ke luar negeri. Sejak pagi, pukul 07.00 hingga matahari tenggelam mereka bekerja di sana. Ada yang menjadi mandor, bawahan mandor, tukang gunting pola, dan tukang jahit. Itu mereka kerjakan rata-rata sudah sejak 3-6 tahun lalu. Lumayan lama bukan?
Mereka bekerja, sebagai bawahan, tentu juga mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan. Dibentak, dikasari, dan diancam merupakan makanan sehari-hari dan menjadi wajar. Saya kaget, ketika dua dari enam itu bercerita tentang perlakuan atasan mereka. "Kita dikatai asuh (Jawa, artinya anjing) sudah biasa mba. Diancam untuk dikeluarkan juga sudah menjadi omongan sehari-hari."
Bahkan, pernah suatu ketika salah satu dari enam gadis ini terisak-isak pulang ke kosan karena mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari atasan mereka. Saya penasaran setengah mati. Seperti apa sih tampang dan kualitas kerja mandor atau atasan mereka yang kerap mengeluarkan sumpah serapah kepada bawahan? "Ya, biasa saja mba. Ibu-ibu, kalau tak salah juga tamatan SMA, dan masih orang Jawa kok." Ungkap salah satu teman.
Yang lebih menyakitkan, ini menurut saya, adalah bentakan-bentakan serta kata-kata kasar itu dikeluarkan kepada bawahan ketika berada di tengah-tengah rekan kerja mereka. "Sedang asyik-asyiknya kerja, keliru sedikit, langsung ditegur dan dianggap tidak becus. Kita kan jadi malu pada teman-teman lain yang memperhatikan," kata mereka.
Mereka mendapat perlakuan macam begini bukan karena mereka berniat membakar perusahaan itu. Tapi hanya karena kadang mereka keliru meletakkan produk, muncul satu benang di sela-sela jahitan, agak keluar dari garis pola ketika menggunting, dan seterusnya. Nah, mereka akan mendapat bentakan, cacian, dan perkataan kotor lainnya hingga terisak-isak. Saya benar-benar tidak percaya dengan perlakuan mandor atau atasan mereka. Dan ini diwariskan secara turun-temurun sesuai garis hierarki di perusahaan itu.
Belum lagi dalam sistem penggajian yang kerap tak fair bagi pekerja-pekerja muda ini. Mereka yang kerap lembur, ketika menerima salary melenceng dari keringat yang telah diperas selama sebulan. Biasanya kurang atau bahkan tidak digaji. "Ya, kalau itu kita menyebutnya sebagai loyalitas kepada perusahaan mba," ungkap seorang teman yang kerap lembur hingga pukul sembilan malam. Saya terperangah dan menjadi iba pada mereka.
Namun, mereka bertahan hingga 3-6 tahun bekerja di perusahaan gila itu. Kenapa? Karena mereka harus mandiri dan demi roda kehidupan harus tetap berputar. Tak ada pilihan lain, kecuali mungkin jika kelak mereka menikah dan diboyong oleh suami. Pahit memang, tapi karena sudah menjadi menu sehari-hari, pahit itu berubah menjadi kentut, sebentar saja juga lenyap diterbangkan angin. Mungkin bisa sesimpel itu, tapi bisa juga tidak.
Untuk saat ini, memang saya hanya sebagai teman curhat mereka. Toh, jika saya sarankan mereka untuk membalas bentakan dan caci maki mandor, mereka juga tidak berani. Mereka menerima semua perlakuan kekasaran itu sembari mengurut dada dan berdoa untuk tetap kuat dan sabar. Dan saya dibuat untuk belajar dan bersyukur dengan keadaan ini.
Betapa kemuliaan kita, acapkali, diukur dengan tingkat pendidikan, cerdas, dan bernama. Sedangkan bagi mereka yang lemah di sana, pelanggaran terhadap kehormatan, perlakuan baik kepada mereka hanyalah mimpi di pagi buta. Memang, karena atasan kebanyakan masih melihat mereka hanya sebagai buruh, tapi sulit untuk melihat mereka sebagai manusia atau bahkan saudara yang nyawanya dan hatinya sama dengan para mandor dan atasan itu.
Amak, aku, dan setiap perempuan pekerja akan selalu berjuang, karena dengan berjuang akan menjauhkanmu dari penyesalan dan keputusasaan.
Selamat Hari Pejuang Perempuan!
untuk perempuan-perempuan yang mencintai perjuangan.. aku tak begitu banyak cerita tentang perjuangan Mak, dia ibu rumah tangga biasa, hanya saja.. di mataku dia selalu luar biasa. Apapun darinya, caranya bicara, mendidik bahkan memukulku kala kecil dulu.. rindu kamu Adeek
ReplyDeleteuntukmu perempuan yang mencintai perjuangan...terikasih "rumah" yang mendidik tentang arti perjuangan agar tak ada penyesalan....
ReplyDeleteklu mau datanglah http://ruangsalmizul.blogspot.com/2012/04/perempuan-dan-oposisinya.html
Yup kak Winda. Terima kasih. Kita baru paham setelah berjuang ke sana sini, betapa ke-diam-an, dan kesabaran beliau adalah pelajaran tersirat yg kaya rahmat. Rindu juga. Sehat kakak, abang, dan dedek ya ^____^
ReplyDeleteKak Thialova, lama tak mengikik dan menertawai orang-orang bersama. Makasih sudah mampir di ruang galau ini. Oiya, kemarin ruangsalmizul sudah stand by di sini, eh error tak jelas, raib dg beberapa ruang lainnya. Lets go! check your room site ~________~