Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Jim Carrey dan Friendly, Friendly World

Saya tak bisa memandang remeh pertemuan saya dengan Andy Kaufman (Jim Carrey) dalam Man On The Moon (1999). Saya betul-betul tertarik pada Andy, tidak semata-mata karena model rambutnya: ikal tipis agak panjang dan lepek, tapi juga karakter yang dia mainkan. Bagaimana kita menerjemahkan Man On The Moon ? Lelaki di atas bulan? Lelaki dari bulan? Lelaki dalam (berkarakter seindah) bulan? Andy ‘membunuh’ dirinya (mengaku mengidap kanker paru-paru) agar Tony Clifton (karakter lain dari Andy yang tidak disukai publik) leluasa menyanyi dan menari di depan penonton, ketimbang Andy yang innocent , disukai karena pandai melawak atas perintah naskah dan di bawah tekanan produser. Andy sebenarnya tak suka komedi. Baginya itu adalah cerita bodoh dan tak berguna. Awal kalinya ia masih mengikuti selera produser dan penonton guna melakukan lawakan-lawakan konyol yang bahkan ia sendiri tak menikmati. Tapi ia tak betah. Ia masukkan Andy ke dalam peti mati, diiringi lagu perpisahan This Friendly World

Kita Butuh Film Lokal yang Banyak dan Murah

Pengalaman menonton 10th Jogja-Netpac Asian Film Festival 2015 Perhelatan Jogja-Netpac, salah satu festival film terkeren di dunia dalam lingkup Asia yang berpusat di Yogyakarta, baru saja selesai. Saya dua kali mengikuti festival film ini, 2013 dan 2015. Posisi saya ialah sebagai pendengar yang setia dari public lecture yang diadakan JAFF, dan tidak ketinggalan sebagai penonton yang baik pada film-film yang diputar di festival tersebut. JAFF tahun ini mengangkat tema tentang [Be]Coming, datang dan menjadi. Tema ini menarik, bahwa kita dan kehidupan kita pada dasarnya tidak pernah berada pada titik ujung yang selesai. Ia selalu berada pada proses menjadi, proses mencari bentuk yang entah kapan usainya. Tema ini dipakai guna melihat dunia perfilman Asia yang berinteraksi dan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh film-film dunia, Amerika dan Eropa seperti Hollywood. Lebih spesifik, festival ini juga menegaskan kepada kita tentang posisi film-film Tanah Air, entah dalam interaksi dengan

Menikmati Budaya Populer, Melihat Indonesia

Buku ini dibuka dengan judul bab yang agak multitafsir, Mengenang Masa Depan. Bab ini bicara tentang bagaimana kita membaca masa depan Indonesia yang bermodalkan sisa-sisa sejarah yang serba lapuk dan keterkejutan-keterkejutan pada masa kini yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ariel menjelaskan bahwa tantangan yang lebih berat pascamusuh bersama (baca: rezim otoriter Orde Baru) tumbang ialah memelihara persatuan bersama agar bisa melangkah maju dan menikmati buah kemenangan tersebut (hal: 5). Mengapa dengan Mengenang Masa Depan? Sepertinya, ada persamaan atau paling tidak korelasi kontinuitas –dari diskontinuitas yang pernah terjadi (tragedi 1965)- dalam bahasa Ariel ialah kesejajaran situasi antara Indonesia mutakhir dan masa sesudah kemerdekaan. Ada tiga alasan yang menguatkan argumen ini, yaitu pertama, perlunya memahami kondisi masa kini dengan perspektif historis yang sepadan; kedua, perlunya mengenali masalah ideologi hiper-nasionalis yang telah menguasai imajinasi publik; ketig

Anak Gadis Berjalan Sendiri

catatan 6 tahun kepergian Abak ke haribaan-Nya Lantunan musik yang menemani ketika menulis catatan ini sama sekali tidak mencerminkan kondisi kejiwaan dalam tulisan ini. Apa boleh buat, semua-semua kan tidak mesti segaris selurus, bukan? Hal yang sama ketika orang-orang di kampus dulu menakutkan dengan studi lanjut yang tidak segaris dengan keilmuan awal yang ditekuni. Abak pernah berkata, "Adek belajarlah ke Jogja, belajarlah di UGM itu. Orang-orang besar lahir dari sana. Kamu mesti ke sana". Abak tak tahu, sebelum semua rencana itu berjalan, beliau lebih dahulu pergi tanpa pernah menyaksikanku pergi dan pulang, Mukomuko-Yogyakarta. Dan, aku sendiri tak pernah berniat menjadi salah satu mahasiswa FISIPOL yang super terkenal dan populer di kampus mana pun itu. Alumni yang terkenal di level pemerintahan negara manapun. Seperti yang pernah kuutarakan tempo dulu, Abak mengidolakan Amien Rais yang lulusan FISIPOL UGM yang namanya terkenal se-nusantara ketika gelombang refor

25 dan 26

Ini tahun-tahun reflektif. Apa-apa saja yang sudah dikerjakan untuk orang lain, dan apa saja yang sudah dicapai untuk diri sendiri. Yang sudah dikerjakan untuk orang lain bisa jadi tak banyak dan tak ada catatan yang penuh tentang itu. Membantu kepada sesama mengalir dan mengalir pula dilupakan pada masa lalu. Karena memang ia tidak perlu dicatat oleh sejarah pribadi. Karena ia memang sudah mesti pergi begitu saja. Tak perlu mengenang segala kebaikan, karena mengenang adalah pekerjaan yang membosankan, meski itu adalah kenangan baik dan manis. Serius, tak perlu. Apa mungkin mengenang kembali orang-orang sakit yang pernah didampingi? Apa enaknya mengenang kembali seseorang yang terluka untuk dibawa ulas hingga hari ini? Cukup ya cukup. Kisah bersama orang lain biarlah menjadi cerita yang ada dan eksis pada hari itu saja. Tak perlu dibesar-besarkan hingga hari ini. Menjenguk si sakit, membantu yang lemah biarlah menjadi sesuatu yang tetap ada di hati. Ia tak perlu dipanggil kembali

Menenteng ‘Warung Kopi’ Viral Kemana-mana

Seorang teman jauh-jauh dari ujung Sumatera sana ketika sampai di Yogyakarta ingin sekali pulang kampung. Bukan kangen pada ibu-bapak, tapi teringat pada warung-warung kopi yang bertebaran di kampungnya. Setelah ia belajar tentang konsep public sphere (ruang publik) yang sangat hits itu, seketika itu juga ia terbayang bagaimana para lelaki di kampungnya saban pagi dan petang membunuh waktu bercengkerama membicarakan berbagai hal di warung-warung kopi. Sembari menyeduh kopi gayo yang semerbak itu, bermacam obrolan dihempaskan di atas meja. Sebut saja, mulai dari mahar perkawinan, dominasi partai nasional pada partai lokal, isu separatisme, hingga qanun syariah yang penuh pro-kontra itu. Bagi sang teman, warung kopi di kampungnya ternyata sangat ‘revolusioner’, meski tidak mengubah keadaan secara drastis, tapi tingkat keterlibatan (partisipasi) warga dalam obrolan-obrolan wacana publik cukup tinggi. “Inilah demokrasi dengan kearifan lokal itu”, katanya sembari menyeruput Kapal Api.

UGM (Kampus di Indonesia) Pasca Tragedi 1965

Oleh Abdul Wahid (Dosen Sejarah FIB UGM) Peristiwa 1965 tidak dapat dilepaskan dari institusi atau lembaga sebagai hal yang penting dalam kehidupan bernegara. Kelembagaan yang ada dalam negara menjadi alat yang dipakai oleh rezim berkuasa untuk memuluskan jalan ideologi mereka. Hal yang sama terjadi dalam tragedi 65, bahwa lembaga terlibat sekaligus menjadi korban dari penetrasi ideologi negara. Riset ini menjadikan Perguruan Tinggi (PT) sebagai obyek kajian dalam melihat tragedi 1965 di Indonesia. Ada tiga kampus yang menjadi perhatian utama, khususnya kampus-kampus negeri seperti UGM, IPB, dan UI. Bukan berarti kampus swasta tidak terlibat (Universitas Res Republica/ Universitas Trisakti) juga tidak luput dari kajian ini. Kampus-kampus tersebut tidak hanya menjadi korban, tapi juga dijadikan sebagai alat dengan cara dan formatnya masing-masing oleh negara dan penguasa waktu itu. Keterlibatan kampus dalam tragedi 65 tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang PT yang dipakai oleh

2015: Ramadhan, Kemerdekaan, dan Misi 1 Akhirnya Selesai

Tahun ini tahun yang cukup berat. Setelah ditinggal selamanya oleh nenek, aku memasuki ramadhan dengan hati yang campur aduk: senang, gembira, namun juga sedih, sibuk, dan susah untuk fokus pada satu hal. Bagaimana tidak, deadline datang beruntun, kesehatan menurun, belum lagi soal ini itu yang datangnya tiba-tiba namun menguras energi dan perasaan. Namun begitu, sembah sujud, aku masih bisa menikmati dan beribadah maksimal di bulan suci ramadhan. Semua dilalui dengan pelan-pelan. Pada bulan suci itu juga satu misi yang penting terlewati dengan cukup baik meski tersangkut di sana sini. Sempat stress dan kalut dengan tuntutan penelitian yang berat dan menghendaki banyak duduk, banyak membaca, dan merenung dalam. Pada titik tertentu sepat down dan berpikir untuk menyerah. Namun, cara paling sederhana memulihkannya ialah dengan tidak memikirkannya terlalu berat. Cukup menghadapi laptop setiap hari, sabar mengetik, dan membaca ulang, mengoreksi, dan kembali mengumpulkan semangat untuk

30 Mei 2015: Selamat Jalan Ayek

Lelah tiap menerima kabar duka ini. Di pagi buta ibu menelepon dari jauh, Duri, Riau. Ayek sudah tak ada, Adek. Jangan menangis. Doakan ayek lancar sampai ke surga. Doakan Amak dan etek semua lancar mengurus ayek hingga selesai. Jangan menangis. Jangan lupa makan. Jangan terlalu sedih. Kita pernah kehilangan abak. Kita sudah terlatih untuk ini semua. Jadi jangan menangis lagi, nak. Entahlah. Tiba-tiba apa-apa yang akan dikerjakan hari ini jadi serba tak menarik. Makan hanya sekedarnya. Laptop terbuka seadanya. Semua ide menjadi mentok, tak ada perkembangan. Lesu, letih, tak bersemangat. Sabtu yang direncanakan mengerjakan ini itu di kosan, hanya tergelak lemah di atas kasur. Cerita kepada ibu tetangga dan si mbah. Mereka mendoakan. Semoga lancar. Diberi kemudahan jalan menuju Allah SWT. Cucunya, seperti Mbak Adek, yang sabar. Jalani semua dengan lapang dada. Jangan lupa salat dan doa yang banyak. Meski tak datang melihat ayek, doa adalah segalanya. Perjalanan ini kita tak pernah tah