Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2010

Panitia kompak dan A. Fuadi

Tiga Jam Bersama A. Fuadi

Hari ini, kami sangat bahagia dan bangga. Bagaimana tidak, dengan bersusah payah tentunya, akhirnya kami dapat mendatangkan pengarang novel best seller Negeri 5 Menara ke kampus kami, Universitas Negeri Padang. Hari ini, Rabu, 24 Februari 2010, pengarang asal urang awak tersebut akhirnya berkenan juga singgah dan berbincang-bincang dengan kami, mahasiswa UNP terkhusus mahasiswa yang suka dan telah membaca novelnya. Tulisan ini saya tulis sebelum acara berlangsung. Dan sangat jauh dari waktu yang telah ditentukan. Subuhnya, dengan riang gembira. Mendatangkan dan mendapatkan izin untuk membedah dan langsung bersua dengan A. Fuadi, bukanlah perkara gampang. Banyak lobby dan banyak pintu yang harus dimasuki sebelumnya. Tidak hanya itu, kita pun dari panitia harus banyak belajar, bagaimana sepak terjang kawan-kawan yang lain yang telah mencoba mendatangkan penulis ini dengan cara yang berbeda. Alhmdulillah, kami mampu dan semoga acara nantinya sukses dan tentunya tidak mengecewakan kami, da

Century dan Dinasti Yudhoyono

Judul : Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century Pengarang : George Junus Aditjondro Tebal : 183 halaman Cetakan : Pertama, 2010 Harga : Rp 50.000 Resensiator : Adek Risma Dedees Di awali dengan dua paragraf penggalan pidato presiden SBY tentang dana talangan Bank Century yang kemudian dikaitkan dengan desas-desus, rumor, bahkan fitnah yang mengatakan sebagian dana tersebut mengalir ke brankas kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY. Pidato itu adalah tanggapan presiden terhadap rekomendasi Tim 8 yang ia bentuk sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan dari masyarakat setelah meruyaknya kasus pencekalan dan penyalahgunaan wewenang oleh dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Ryanto dan Chandra M. Hamzah. Kemudian Aditjondro, sang penulis, menjabarkan bagaimana konflik Cicak vs Buaya menyedot perhatian publik, dan serta merta melupakan bahkan meninggalkan kasus Bank Century yang dananya dilarikan oleh Robert Tantular, entah kemana. Bank

Sang Pelipat 'Ibadah'

Adek Risma Dedees Matahari telah condong ke arah barat dan senja segera melingkup tempat umat berserah diri kepada Sang Pencipta itu. Hampir setiap waktu rumah ibadah ini dipenuhi jamaah yang akan menunaikan ibadah salat. Ya, tempatnya salah satu masjid ternama di pusat kota Padang. Seorang wanita paruh baya tampak sibuk dengan kain lusuh, yang menumpuk di atas meja di depannya. Kadang ia duduk di kursi dan kadang ia berdiri merapikan dan melipat ulang kain-kain tersebut. Ia harus cermat memilih, memilah, dan menentukan kain mana yang baik digunakan para jamaah. Maklum kain tersebut tak lain mukena yang digunakan jamaah wanita untuk menunaikan salat lima waktu. Senyum tak mengambang di wajahnya, karena memang ia tidak sedang bertegur sapa apalagi bercakap-cakap dengan seseorang. Namun ketika kudekati dan memberi salam, wajahnya cair, kata-kata yang keluar dari bibirnya pun halus dan bersih. “Sibuk-sibuk sedikit,” katanya sambil tersenyum, Selasa (22/12) lalu. Ia akrab dipanggil Ema

Dalam Renungan Kita Berbagi

Pentas itu dipenuhi onggokan-onggokan benda yang beragam ukuran dan bentuk. Ada bulat, persegi, panjang, dan beberapa kardus-kardus bekas meramaikan panggung itu. Kotak yang menyerupai televisi, bertuliskan pascagempa, beberapa batuan beton, sisa-sisa reruntuhan, serta sebaskom air kekuningan bercampur tanah, juga menghiasai Laga-laga Taman Budaya, Padang, Sumatra Barat malam itu. Tiba-tiba tiga orang memasuki panggung, bertelanjang dada, dan menggiring sesuatu yang bergerak-gerak di dalam karung biru muda yang terikat, tampaknya kuat sekali. Dua lelaki lainnya langsung meninggalkan panggung. Sedangkan yang satu tinggal dan mamatut-matut benda, yang entah apa isinya, itu dengan sangat tenang. Tidak lama karung itu ia tinggalkan dan menuju kotak menyerupai benda yang bisa memuat gambar apapun bergerak secara sempurna. Duduk rapi di dalamnya. Ayunan musik mulai meramaikan pendengaran penonton. Mungkin, banyak di antara penonton, tidak mengenal jenis musik tersebut sebelum diperdengarka

cerpen Desember dan Januari di Padang Ekpress

Surga, Kadang di Telapak Kaki Ayah Oleh Adek Risma Dedees Hidup dalam sebuah keluarga besar tidaklah begitu mengenakkan. Di kamar tidur, semua kasur telah ditempati. Makan pagi, meja makan tak berluang lagi. Jamban di belakang rumah juga antri, untungnya tidak pakai nomor antri. Kamar, meja makan, dan jamban tak pernah sepi. Ada saja yang tidur, duduk, dan jongkok di sana. Kami berempat, semua kaum Adam, aku yang paling telat melihat dunia ini, dipayungi ayah dan ibu, adalah salah satu bagian dari keluarga besar (KB) itu. Ayah dan ibu sama-sama, bisa dikatakan sibuk. Sibuk mencari peruntungan, tentu saja untuk perut kami. Waktu itu aku masih sering menangis, di rumah saja dengan sepupu dari pagi hingga senja. Hingga aku menginjak umur sepuluh tahun, kami masih di rumah itu. Keluarganya KB, tapi rumahnya tidak besar. Semenjak aku mengenal kehidupan di sekelilingku, aku baru tahu bahwa sudah turun temurun klan kami menganut kehidupan seperti ini. Tinggal bersama-sama dengan keluarga a