Skip to main content

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara







Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City)
Pengarang : Moammar Emka
Penerbit : GagasMedia
Tebal : 488/394/382 halaman
Cetakan : 2005/2003/2006
Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit
Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku


Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri.

Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan berbagai buku, yang lebih banyak menguak kehidupan orang-orang kelas menengah atas di sana. Memang ia khusus meliput hal-hal berbau kehidupan malam di Ibu Kota yang selama ini tidak banyak diketahui orang. ME pun memasuki dunia itu, siap tidak siap, tentunya harus siap.

Dalam bukunya, ME menuliskan tidak kurang 400 tempat hiburan -private party- yang tersebar di Jakarta. Semakin kesini, nominal ini pun menggunung dengan beragam kedok, mulai dari karaoke, hotel, kelap, spa, sauna, hingga panti pijat. Tidak sedikit pula private party ini diadakan di 'bawah tanah' yang lebih liar dan tak terduga belumnya. Pelakunya, tentu saja mereka, baik laki-laki maupun perempuan serta kaum heteroseksual dari kelas menengah atas. Kebanyakan dari mereka adalah para pelaku usaha yang tersebar di Indonesia. Mereka adalah para bule kesepian dan kegalauan, serta para perempuan yang terang-terangan melakoni kehidupan macam begini. Menghabiskan puluhan juta rupiah per malam untuk mengikuti pesta, bukanlah soal, jika semua keinginan terpenuhi dan tak ada lagi beban di kepala.

ME pun, dengan hidden identity, menampilkan cerita tentang para perempuan muda yang menjajakan cinta semalam kepada siapa siapa saja yang berkocek tebal. Rata-rata usia mereka tak lebih dari kepala tiga dan masih cantik menawan. Para perempuan muda menjadi obyek pemuas nafsu binal para tamu. Pada beberapa tempat hiburan, mereka kadang dipajang di etalase dan pengunjung dipersilahkan memilih sesuka hati, yang kemudian memboking mereka. Biasanya, menurut ME, para gadis ini akan dibawa berkeliling Jakarta, pesta hingga pagi di hotel, dan seterusnya.

Dunia prostitusi Jakarta pun dikuak lebar oleh ME. Ia menjabarkan itu semua, mulai dari A, B hingga X, Y, Z dengan gamblang, tapi dengan tidak melupakan etika penulisan identitas nara sumber di sana. Sehingga, anda akan menemukan nama-nama gadis yang khas dengan nama bunga. Sangat berita bukan?

Jakarta Undercover Sex 'n the city sendiri tak kurang menawarkan 24 tulisan yang membahas dunia seksualitas Jakarta yang sangat bebas dan berani. Sedangkan Jakarta Undercover Karnaval Malam menyuguhkan 24 pula cerita yang tak kalah mengejutkan pembaca tentang Ibu Kota Negara ini. Pun dengan Jakarta Undercover Forbidden City yang menyuguhkan liputan investigasi penulis tentang Sexual Lifestyle dan Entertainment orang-orang Ibu Kota. Anda akan tercengang sekaligus tak ingin melepaskan buku ini dari mata anda.

ME menyuguhkan kepada pembaca, bagaimana ia mulai membaui gaya hidup seperti ini, mencari kawan agar dapat mengakses komunitas tersebut, masuk dan merasakan sendiri. ME pun menjabarkan dengan gamblang, tanpa harus berporno-porno ria tentunya, bagaimana kegiatan ini dimulai dan diakhiri. Sangat menarik dan mengundang banyak tanya di benak. Separah inikah -jika kata parah masih relevan untuk gaya hidup demikian- kehidupan metropolitan anak bangsa ini?

Terlepas ME ikut serta 'mencicipi' kehidupan yang ia investigasi, pastinya ME sangat berani mengambil putusan dan resiko untuk masuk ke dalamnya. Dengan buku Jakarta Undercover ini, ME membuka mata kita tentang kehidupan seksualitas di Bumi Ibu Pertiwi. Ia menguak segala tabir yang terkesan ditutupi. Membuka dan mungkin juga mempersilahkan kepada siapa saja untuk terlibat atau hanya ingin membuktikan benar tidaknya kehidupan macam begini. Sehingga, tak berlebihan mungkin jika Arswendo Atmowiloto, budayawan yang mengendors Forbidden City, bahwa ME adalah temuan yang menyenangkan serta membanggakan baik bagi perempuan, laki-laki, maupun bagi waria.

Yup, ME memang tak hanya menyoroti kehidupan seksualitas yang bebas dari kaum adam dan hawa. Tak ketinggalan bagi mereka -masih saudara kita- yang memiliki orientasi seks berbeda. Mereka kaum gay, waria, lesbi, dan jika masih ada lainnya, tak luput dari sorotan ME dalam ketiga Jakarta Undercovernya. Belum lagi kehidupan para janda-janda muda serta gigolo-gigolo muda yang haus rupiah dan dollar. Semua menyatu dengan tak meninggalkan wine dan ekstasi tentunya. Semua membaur dalam tulisan ME yang diracik ala liputan jurnalistik.

Memang, gaya penulisan dan penyampaian hasil liputan ME monoton. Sangat jurnalistik. Gaya penuturan yang sangat 'berita' ini kadang membosankan. Dan dengan mudah pula ditebak dari cerita atau liputan. Tapi, substansi dari apa yang tertuang dalam Jakarta Undercover 1, 2, dan 3 jauh lebih bermakna dan berkesan bagi pembaca. Penasaran? Silahkan temukan buku-bukunya. Selamat membaca!

Comments

  1. Ingin sehat dan tahan lama minumanya susu kuda liar sumbawa klik www.susukudaliarsumbawa.webs.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Silahkan berkomentar ^_^

Popular posts from this blog

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he