Skip to main content

Posts

Showing posts from 2012

[muse] cinta yang terlalu pedas

(narasi 1) maafkan aku, katamu. aku takut, aku bingung, aku canggung menatap mata orang-orang, tapi, ternyata aku jauh lebih takut kehilanganmu, tutupmu. dengan canggung kupeluk pinggangmu dari belakang. kubisikkan, bahwa keberanianmu mencintaiku sudah anugerah bagiku. kau terisak. aku terisak. kita, dua remaja perempuan yang terlalu pedas mendefinisikan cinta. apa boleh buat, cinta sepasang kekasih dijatuhkan kepada kita. cinta dianugerahkan kepada siapa saja. namun, ketika cinta itu menimpa kita berdua, kenapa orang-orang dengan lantang mencibir kita? barangkali kamu tahu itu. dan aku, aku tak peduli. cinta yang kuat ini, jika akan mematahkan kaki dan tanganku, maka kuterima. selama penasaranku padamu terkuak, cinta yang pedas ini akan kupelihara. ini adegan detik-detik terakhir film remaja lesbian yes or no. film ini khas dari negara thailand yang memang liberal akan soalan homoseksual. film ini dramatis, ironis, lucu, dan sangat menghibur. saya, sudah tak terhitung kali

[catatan] kepada emak nun jauh di pulau

penghormatan di 22 desember tahun ini kembali orang-orang merayakan hari kemuliaanmu. hari engkau dijadikan pahlawan. ya, sehari saja. karena esok hari orang-orang akan sibuk seperti sediakala. meski begitu, setidaknya masih ada yang menghormati kemudian merayakan kemuliaanmu. emakku nun jauh di pulau tak pernah berpikir banyak tentang hari ini. bagi beliau, hari-hari tak jauh berbeda. hari penting ialah, hari dimana anak-anaknya punya momen istimewa, hari berkabung suaminya, hari ia dan saudarinya dapat berkumpul bersama. itulah hari istimewa. selebihnya ialah hari ia menciptakan kebahagiaan bagi dirinya, bekerja. bahkan hari ulang tahunnya, mungkin ia tak pernah merenungkan. hidup dengan suasana yang tak mementingkan hari, saya pikir itu menantang. kampung kecilku tak pernah merayakan hari-hari yang dijadwalkan kalender sebagai hari penting. bahkan hari kemerdekaan, hanya mereka isi dengan selembar bendera di depan rumah. itu pun setelah malam sebelumnya diumumkan oleh pihak lu

[Review] Film Arisan 2: Friendship, Homosexuality, and Bourgeois(m)

DI zaman gadget ini film arisan 2 muncul dengan tiga tema besar sebagai modal awal menarik penonton. ada persahabatan, homoseksual, dan gaya hidup kelas atas yang sohisticated dan pesta-pesta. film ini dimainkan oleh aktor-aktris yang cukup 'papan atas' seperti surya saputra, cut mini, sarah sechan, pong harjatmo, dan kawan-kawan. arisan 2 seperti arisan pertama memiliki semangat film yang tidak biasa. film ini selain membawa tema persahabatan juga blak-blakan mengungkap apa yang terjadi di dunia nyata; keberadaan LGBT dan single parent. beberapa tokoh secara kasat mata ditampilkan sebagai pasangan homoseks dan tak kasat mata beberapa tokoh ditampilkan berkecenderungan lesbian. keberadaan banci juga tak dapat ditampik dalam film ini. banci selain sebagai kenyataan juga sebagai subjek yang tidak selamanya tidak 'berdaya'. melalui gaya hidup kelas atas, dalam hal ini diwakili oleh kaum urban sosialita, homoseks dan banci mendapat tempat yang tidak terancam. tidak s

6 Desember: Money Politic of My Mom and My Birthday

"amak, adek ulang tahun," muka senang dan suara riang. "oya? keberapa?" amak tanpa merasa berdosa bertanya begitu. "23," muka ditekuk. "hahaha, wah sudah besar anak amak," "amak kasih adek kado apa?" ceria. "nanti kalau pulang, amak kasih uang!" lagi, tanpa merasa bersalah. "amak uang terus. yang lain apa?" sok protes. "amak harus kasih apa selain itu? adek beli sendiri aja nanti kadonya." ketawa. percakapan roaming kemana-mana dan diputus setengah jam kemudian. biasanya dengan kesimpulan; "adek rajin belajar. banyak makan sayur. jangan lupa sembahyang. baik-baik dengan orang. baik kepada teman maupun kepada pacar. adek ada uang? amak doakan lancar dan berprestasi sekolahnya. jangan lupa doakan abak ya." semua saya jawab dengan iya dan amin. percakapan serupa ini sudah terjadi mungkin ratusan atau ribuan kali. sejak saya masih di padang dan sejak teknologi hape akrab dengan amak, yan

Ngayogjazz = Pertunjukan Seni di Societet?

PAGELARAN Ngayogjazz 2012 di desa wisata Brayut tempo hari lumayan membuat saya terkagum-kagum. Selain konsep yang ditawarkan panitia penyelenggara yang tak biasa dan terkesan kontradiktif, antusias penonton juga menjadi poin penting yang tak bisa saya kesampingkan. Penonton iven akbar setiap tahun di Yogyakarta ini memang didominasi oleh anak muda. Hari itu sejak siang hingga malam hujan tak kunjung berhenti mengguyur kota Yogyakarta. Sementara penyelenggara acara tak mungkin membatalkan pagelaran musik yang kata banyak orang adalah musik bernapaskan perlawanan. Ngayogjazz harus tetap diselenggarakan. Karena anak muda yang banyak itu tak mungkin dihalau kembali pulang. Pemandangan yang menarik bagi saya adalah langkah-langkah anak muda yang dibalut mantel hujan, berpayung jaket, atau merelakan diri basah kuyup di malam dingin itu. Saya pikir ini pengorbanan yang tak mudah. Ketika diri direlakan terancam pilek esok hari namun logika mengundurkan diri tak terbersit disana, agaknya

Politik UKM di Sekolah Pascasarjana

UNIT Kegiatan Mahasiswa pada tataran Pascasarjana agak berbeda semangat dan rohnya dengan program sarjana. Pasalnya selain faktor usia, faktor kepentingan pribadi -atas nama kepentingan UKM- kerap muncul tanpa disengaja atau bahkan disengaja. Bisa dalam bentuk barter produk usaha, promosi usaha, atau menerapkan aturan main sendiri -yang notabene untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Menurut saya agak riskan dan mendulang air di muka, salah dulang kena muka sendiri. Sama halnya dengan politik kepentingan pribadi dalam UKM. Salah langkah, muka sendiri akan dibabat habis karena ulah sendiri yang kepalang 'rakus' dan mau menang sendiri. Berorganisasi kampus pada jenjang magister saya pikir sah-sah saja dan cenderung dengan kajian lebih dalam. Kalau hanya sebagai iven organizer, saya pikir sayang ilmu yang telah dipelajari pada tingkat magister namun berpikir picik dan hanya berputar-putar soalan uang dan perut. Tak ada yang menarik dan berarti jika relasi antaranggota suda

Budaya Minoritas di Era 2.1

ADA kecenderungan ‘baru’ dalam arus globalisasi terhadap budaya termasuk di dalamnya identitas suku bangsa, bahwa budaya minoritas semakin mendapat tempat di kalangan individu –yang mayoritas- baik sebagai suatu kekayaan budaya ataupun sebagai objek eksotik atau kajian. Budaya minoritas semakin hari semakin mewarnai informasi-informasi di media massa. Ini sebuah kemajuan? Atau cara tersendiri bagaimana media menampilkan budaya minoritas dengan segala keunikan, kebesaran, atau bahkan ‘keterbelakangan’ budaya itu yang berujung pada eksplorasi budaya menjadi sebatas komoditas media belaka –tanpa pemberdayaan. Entahlah! Menarik ketika VOA Indonesia memberitakan bagaimana suku Aborigin di Australia ditampilkan meskipun itu hanya sebatas drama televisi. Tak sampai di sana, sudut pandang yang dipakai pun saya pikir bias dengan berbagai hal. Misal, ditampilkan bahwa kehidupan suku ini penuh dengan kekerasan, kemiskinan, dan alkohol –tentu saja pada pandangan sepihak si pembuat film. Berita

Andai Aku Menjadi Ketua KPK

SEMASA SD, sekitar 15 tahun lalu, bu guru menyuruh saya menjualkan dagangan beliau berupa gorengan dan es lilin di sekolah. Alasan bu guru, karena saya pintar dan punya banyak teman. Riang gembira saya menjual panganan itu pada jam istirahat. Banyak yang laku. Ketika bel tanda sekolah usai, saya melaporkan hasil penjualan dan –yang saya tunggu-tunggu- bu guru memberi saya upah sekian ribu rupiah dari jerih payah itu. Ibu dan ayah tahu hal ini. Mereka diam saja, mungkin terlalu sibuk berjualan kian kemari. Sudahlah, yang pasti saya mendapat tambahan jajan waktu itu. Ketika saya menonton film pendek Kita vs KPK yang setting nya di sekolah dengan tema yang sama; membantu guru berjualan kemudian mendapatkan komisi, saya terbahak sekaligus insaf. Satu sisi ini tamparan bagi masa lalu saya di SD. Sisi lain, ya, bisa jadi ini salah satu perilaku kecil yang tidak disadari, guru maupun siswa, yang kelak berpotensi besar pada perilaku gemar korupsi. Memang, ucapan terima kasih dari orang de

‘Melawan’ Globalisasi dengan Perspektif Poskolonial*

Jika memang ingin ‘melawan’ arus globalisasi, yang dinilai menghegemoni dan mendominasi (menghomogenisasi sekaligus mengheterogenisasi justru pengaruhnya hampir sama-sama kuat) ‘identitas’ (baca; klaim hirarki kemurnian budaya salah satunya kesenian lokal/tradisional) bangsa (nation-state), saya menawarkan perspektif poskolonial. Sebelumnya, (kita coba menyepakati) perspektif ini tidak melulu berbicara tentang penjajahan dan si terjajah, dalam konteks masa kolonial tempo dulu. Akan tetapi, dalam konteks bagaimana globalisasi ‘menjajah’ bangsa-bangsa (nation-state) di dunia (tentunya dengan kekuatan kapitalisme), mengerucup pada Indonesia, juga penting didialogkan. Perspektif ini memang terkesan serba ‘agak’; agak melawan (si penjajah; globalisasi) bahkan dalam pendapat lain justru agak meneguhkan hegemoni globalisasi itu sendiri (baca; oleh Marxian). Semangat perspektif poskolonial menawarkan ‘perlawanan’ yang tidak melulu menggempur dengan otot, tapi justru bermain pada tataran id

Review The Public Sphere: An Encyclopedia Article by Jürgen Habermas

Era modernisasi yang mementingkan akumulasi modal, birokrasi, dan teknokratisasi, bagi Habermas, merupakan era yang cacat, terdistorsi (penyimpangan) dari pencerahan sehingga membutuhkan pencerahan lanjutan. Ia menawarkan tindakan berupa rasionalitas komunikatif yang termanifestasi dalam argumentasi-argumentasi dari masyarakat pada ruang-ruang tertentu atau publik. Tujuannya, selain untuk perkembangan politik, ilmu pengetahuan, kebudayaan, membentuk masyarakat yang otonom dan dewasa, juga karena kekuasaan harus dicerahi dengan diskusi rasional. Tawaran ini sekaligus mengkritik Marx tentang konsep praksis yakni kerja kemudian revolusi. Karena bagi Habermas, rasionalitas –dalam bentuk komunikasi dan dialog- yang lebih berpusat pada subjek, tak kalah penting dalam menentukan perubahan tatanan sosial masyarakat. Ruang publik, menurut Habermas, lahir di Inggris, Perancis, dan Jerman pada penghujung abad 18 dan abad 19. Pada masa ini (Liberal Model) ruang publik lahir –warung kopi, salon

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Work of Art in the age of Mechanical Reproduction

Walter Benjamin khawatir terhadap kemajuan teknologi yang dinilainya dapat menghancurkan nilai seni yang tinggi dan antik. Reproduksi mekanik karya seni, dalam pandangan Benjamin, mampu meniscayakan kehadiran ruang dan waktu. Kemajuan teknologi ini melahirkan karya seni yang tidak lagi murni karena ditopang oleh produksi karya seni dengan mudah dan cepat dalam produksi mekanik. Melalui produksi mekanik ini, proses peniruan dilakukan terhadap karya seni dengan mudah dan cepat. Melalui produksi mekanik pulalah penemuan atau hak kepemilikan berubah dari tangan yang satu ke tangan yang lain. Alhasil, karya seni dengan mudah dimiliki oleh siapa saja dan dimana saja tanpa harus mengeluarkan uang atau tenaga yang lebih banyak. Dalam hal ini Benjamin memisalkannya dengan kemajuan fotografi (kamera) yang menggantikan litografi sebagai produk mekanik untuk memproduksi seni secara massal. Akan tetapi, melalui kemajuan teknologi ini, Benjamin merasa ada yang kurang, pudar, atau bahkan hilang

Kakek Nenek di Era Globalisasi

KETIKA bercengkerama ria bersama karib kerabat, biasanya para pekerja sosial (bahasa bekennya aktivis), candaan agar mati muda adalah salah satu yang ‘dicita-citakan’. Selanjutnya Soe Hoek Gie, adalah salah satu nama yang tak bisa ditampik dalam pembicaraan itu. Ia menjadi pujaan, khususnya akan gerakan dan karya-karyanya. Kenapa? Ini menjelaskan, bahwa usia muda harus digebrak sedemikian rupa untuk terus bekerja dan berkarya –tidak kemudian bercita-cita pensiun di usia 40 tahun. Nah, ketika ajal menjemput, katakanlah itu di usia belum genap 30 tahun atau setidaknya tak sampai menjadi nenek kakek dan masuk panti jompo, adalah sangat ‘sesuatu’ hingga luar biasa. Kata dosen saya, menunggu tua itu menyakitkan! Kemudian, sebagai contoh yang fenomenal, di kalangan kaum adam, keputusan memilih untuk berkumis atau tidak disesuaikan sedemikian rupa, mulai dari menginjak usia kepala tiga (tidak berkumis atau kumis tipis), empat puluh hingga 50 tahun (mulai agak tebal), 60 tahun (kumis dicukur

Gangnam Style dalam Perspektif Konstruksi Identitas

KETIKA Britney Spears diajari berGangnam Style ria oleh Psy, sedetik kemudian tarian menunggang kuda ini menjadi tren baru dan memecah rekor baru di YouTube. Guinness World Records menganugerahi sebagai video yang paling banyak dilihat yakni 200 juta kali dalam tiga bulan. Sebuah pencapaian yang tak diduga sebelumnya, begitu kira-kira kata Dan Barrett. Park Jae Sang pun mendapat nama dan melimpah job baik di Asia maupun di Amerika Serikat. Google dengan jejaring luasnya bercerita jika horse dance ini adalah sindiran kepada anak muda Korea yang tergila-gila memperganteng, mempercantik, memperlangsing, dan mempertirus tubuh dan wajah sebagai ‘syarat utama’ penampilan dan pergaulan di negeri itu. Tak ketinggalan juga mengkritik gaya hidup yang cenderung high class serta selalu mengejar kesempurnaan. Di kawasan elit Gangnam inilah anak muda dan masyarakat Korea bertemu dengan rumah-rumah bedah, salon kecantikan, serta starbuck-starbuck ala Korea. Psy mengkritik –mungkin tepatnya mela

Industry + Life Style = Prestige?

KETIKA maskapai Garuda Indonesia menggandeng brand sebesar Liverpool sebagai rekan kerja mereka, kira-kira apa yang terbayang oleh segenap jajaran Garuda dan rakyat Indonesia yang menonton ketika The Reds berlaga? Satu bayangan yang tak mungkin disangkal adalah logo dan tulisan Garuda Indonesia menari-nari di papan Light Emitting Diode (LED) yang mewarnai tepi lapangan di Stadion Anfield. Bukan main kembang kempisnya hidung! Bangga? Dunia bola (baca; sepak bola) sudah menjadi rahasia umum bukanlah dunia olahraga dan industri semata. Dunia bola telah bertransformasi menjadi gaya hidup atau life style -dan tengah bertransformasi entah akan menjadi apa lagi setelah ini. Ia adalah dunia yang addict sekaligus dengan peminat terbanyak sebagai primadona di bumi. Hampir genap seratus persen penduduk bumi ini -barangkali termasuk setan dan malaikatnya- mengelu-elukan agar jagoan mereka mencetak gol sebanyak mungkin di karpet hijau. Dunia yang tak bisa diterima dengan akal sehat jika anda du

Lips Service dan Pandangi Munir dari Jauh

Sejak tiga hari belakangan, profile picture dan avatar teman-teman, baik di jejaring sosial Facebook maupun Twitter dipenuhi oleh gambar Munir dengan berbagai warna dan ekspresi. Kebanyakan berlatar belakang merah. Ada pula dilengkapi dengan kata 'Keberanian Bernama Munir'. Aksi ini tentu tak ada sebab. Pemasangan gambar aktivis hak asasi manusia, Munir, di akun jejaring sosial mereka adalah bentuk protes paling minimal terhadap pihak yang harus bertanggung jawab atas tragedi pembunuhan itu. Voice of America (VOA) Indonesia juga menampilkan berita tentang 'peringatan' pembunuhan terhadap aktivis ini. Aksi teaterikal pun digelar sebagai protes terhadap pemerintah SBY yang terkesan menunda-tunda dan menebarkan janji palsu untuk menuntaskan kasus ini. Ketika VOA memberitakan aksi protes ini, tentu dunia internasional secara langsung diberitahu, begini lho keadilan hukum di Indonesia itu adanya. Dan, seharusnya ini menjadi cambuk bagi rezim SBY untuk segera menuntaskan

[Catatan] Perayaan yang Tertinggal dan Perayaan yang Alakadarnya

MEMANG agak aneh kelakuan kebijakan dimana teman-teman Robin yang bekerja di buruh pabrik. Pabrik itu memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2012 persis jatuh pada Sabtu, 1 September bulan sesudahnya. Alasan pabrik menurut teman Robin, karena hari itu umat Islam tengah menjalani ibadah puasa dan banyak instansi, departemen, serta pabrik sudah meliburkan karyawan mereka. "Dan kami merayakannya di tengah-tengah padang luas!" kata teman Robin. Konstruksi aneh di kepala Robin bukan datang secara kebetulan. Ya, karena banyak hari lain yang bisa dipakai jika memang ingin memperingati. Itu kesatu. Kedua, perayaan ini sama sekali tak terlihat dari atribut yang teman Robin kenakan. Seperti pergi ke pabrik untuk menjahit dan memotong kain, begitu juga dengan pergi memperingati HK. Lalu, kebanggaan apa yang teman Robin dapatkan? "Kita di sana hanya kumpul-kumpul, makan-makan, ketawa. Eh, kemaren ada dangdutan. Itupun yang ikut para yang di atas. Kita di bawah hanya berjemur

Robin & Keluarga Ucapkan Selamat Idul Fitri 1433H Mohon Maaf Lahir dan Batin Dunia Akhirat

LEBARAN kali ini Robin tak berkumpul dengan amak dan para abang serta uni di Bengkulu. Kebetulan tante Robin mengadakan lebaran juga di cikarang Bekasi. Maka Robin putuskan meramaikan lebaran di sana. Bukan tak ingin pulang, ya karena tiket pesawat sangat mahal buat Robin tahun ini. Maklum Robin baru sadar kalau 2012 ini Robin jauh dari amak dan abang serta (edisi Robin sakaw). Di Cikarang Robin ditemani oleh selain tante dan pak etek, ada juga Fadilla Jamsi serta Fani Jamsi. Duo jamsi ini bisa dikatakan nakal, bisa dikatakan cukup cerdas. Nakal, karena mereka belum 17 tahun dan suka berteriak ke abang-abang penjual somay keliling. Dikatakan cerdas, mereka berdua sudah fasih mematikan dan menyalakan televisi, hehehe. Nah, siang malam Robin habiskan waktu merapikan rumah, tentunya sebelum duo jamsi itu bangun dari mimpi hulahop mereka. Jika suda bangun, Robin baru sadar, pantesan etek malas-malasan membereskan rumah. Toh bakal diobrak-abrik duo jamsi lagi. Sendal sepatu yang tadin

Si Robin Galau Menjelang Lebaran

CERITANYA begini bror. Menjelang lebaran, galau akan baju baru memang selalu melanda. Bagaimana tidak, jika seseorang berduit cukup namun tak punya banyak waktu melalang ke mal-mal, ini mampu mengguncangkan dunia persilatan si Robin. Ditambah lagi riuh ramai mereka yang gajian terlebih dahulu dan berteriak sepulang dari lapak penjualan baju. Guncangan makin tak terelakkan. Akhirnya Robin memutuskan menutup mata. Ketika Honda Jazz parkir di depan kosan dan menunggu menenggerkan baju-baju ke bagasinya, Robin gigit jari dan menangis semalam; takkan ada moment memilih baju dan berlagak riang di fitting room, hikz. Lebaran tiba-tiba lebih kejam daripada macetnya jalur Nagreg. Untungnya ada hadiah dari Bali beberapa waktu lalu. Itupun pas-pasan dipakai di tengah keluarga besar. Maklum, model santai dan tak ribet. Sebenarnya ini gambaran watak aseli. Bahwa Robin itu tak ingin ribet dan tak prosangat feminin. Cukup bercelana jins atau belel dengan atasan longgar mudah bergerak seperti or