Skip to main content

Kuatkan Tekad dan Tetap Bersyukur

Penyesalan memang datang di kemudian hari. Namun, tak ada gunanya menyesali hidup berlarut-larut kemudian lengah apalagi pasrah pada keadaan. Jika tak kembali bangun dan berkarya, alhasil kehidupan akan semakin kacau dan tak menentu.

Ungkapan ini dilantunkan oleh seorang penjual es kelapa muda di Simpang Gelael Batam Centre pada Rabu (6/4) siang lalu ketika terik mentari semakin garang menyerang Kota Batam. Bagi Regar, begitu akrabnya, menjalani kehidupan sebagai penjual es kelapa muda tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Sejak tahun 1992, bapak dua anak ini hijrah dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara ke Kota Batam, kemudian melakoni pekerjaan sebagai loper koran di kota industri ini. Kehidupannya waktu itu cukup baik dan menjanjikan. Namun, tahun 1999 ia menanggalkan profesi itu dan beranjak ke penjual es kelapa muda.

“Entahlah, nasib yang membawa saya ke sini (pekerjaan_red),” kenangnya dengan logat Medan yang kental.

Laki-laki berusia 37 tahun ini melanjutkan kisahnya semasa menjalani profesi sebagai loper koran. Walaupun penghasilan cukup untuk keluarga, ia merasa ada kelebihan tersendiri yang diperoleh ketika bekerja di bidang usaha koran atau pers.

“Sekarang, kehidupan temen-temen saya sudah lebih mapan daripada saya,” ungkap Husman, nama aslinya sambil tertawa renyah.

Tapi, lanjutnya, ia tak menyesali keputusannya memilih sebagai penjual es kelapa muda di komplek Palm Spring tersebut. Semua rezeki dan kehidupan yang ia peroleh tetap dilandasi doa syukur pada Sang Pencipta.

“Tak ada yang perlu disesali. Yang Maha Kuasa telah menentukan jalan hidup saya dan keluarga,” akunya pada Haluan Kepri sambil membuang pandang ke mobil-mobil yang berseliweran.

Tak jarang pula, ia berjumpa teman lama yang singgah dan membeli barang sebuah atau segelas es kelapa muda di kedainya. Ada yang sesama loper koran ataupun wartawan.

“Kalau ketemu, kita bertukar cerita dan kisah hidup,” ujarnya sambil merapikan termos es kelapa muda.

Dari penjualan es kelapa muda, suami Elmawati ini mampu mengumpulkan uang sekitar Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu setiap hari. Dengan laba penjualan itu ia menyekolahkan dua anaknya di SMP dan SD di Kota Batam.

“Juga memenuhi kehidupan keluarga sehari-hari,” tambahnya.

Menjalani kehidupan sebagai penjual es kelapa muda, Husman tak patah semangat untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi istri dan anak-anaknya. Ia pun tengah membangun sebuah rumah sederhana di kawasan Punggur, Kota Batam. Namun, ia tidak tinggal di sana. Selama ini ia tinggal di perkumpulan rumah liar, sekitar dua kilometer dari tempatnya berjualan kini.

“Setiap hari kami berdoa agar cuaca tak hujan dan es kelapa muda laris,” harap Husman dengan nada rendah. Tapi, tambahnya, jika musim panas keluarga akan kekurangan air karena air sumur mulai menyusut dan kering.

“Kadang saya tertawa sendiri kalau mengingat itu,” ujar Husman sambil tertawa.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Gilby Mohammad

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...