Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

My 25 Years!

25 Tahun... To Be Continue :)

Politisi ‘Playboy’: Analisis Skizofrenia Politik Atas Manuver Politisi Kutu Loncat

Abstrak : penelitian ini membahas manuver politik para politisi yang dikenal sebagai politisi kutu loncat (berpindah-pindah partai politik) menjelang pemilihan umum 2014. Fenomena ini dilihat tidak semata-mata sebagai strategi meraih kekuasaan secara pragmatis. Lebih dari itu, ia adalah gejala kecenderungan nomadisme politik dan skizofrenik politik, yaitu kecenderungan aktor politik konsisten untuk tidak konsisten. Alasannya ialah inkonsistensi dianggap sebagai proses pembebasan diri (self emancipation) dari kungkungan dan dominasi sistem politik, serta pada saat yang sama juga sebagai bentuk ejekan terhadap diri (mocking himself) dari pilihan politik yang diambil. Jenis penelitian ini ialah kualitatif interpretatif, mencermati fenomena politisi kutu loncat kemudian menginterpretasikannya dengan dibantu kerangka pikir skizofrenia politik ala Deleuze dan Guattari. Kata Kunci: skizofrenia politik, skizoanalisis, Hary Tanoe, kutu loncat Pendahuluan Tidak berlebihan jika dalam politi

Saved the Nation by Spydom: Intelligence Reform to be More Inclusive in Indonesia’s Democratic

Introduction On its journey, the concept of security including intelligence security, it could easily have been for the state, social society, communities as well as individual experiencing shifting intellectual argument around the concept of security. Keliat (2005: 64) said, it as the process of renorming (renormalization process). The process of renorming in essence rises in a proposition to desacralized sovereignty against meaning attached to state. The demand to ask for responsibility of the state to protect its citizens. Besides, there are also prosecution of sovereignty individual and obligations state to protect. In this sense, no longer allowed that intelligence security –it is a part function of state- like intelligence activities who takes down lives of citizens, over authority or borrow ‘on behalf of’ authority of the state. If this condition occurred ascertainable will happen excessive restrictions on civil liberties and woken up what is known as the state intelligence, th

Perempuan ‘Seksi’ dalam Jaring Korupsi Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Kasus Korupsi Ahmad Fathanah pada Portal Berita Tempo.co

Pendahuluan Menyimak pemberitaan seputar perempuan dan kasus korupsi selama tahun 2011 hingga 2013, beberapa nama perempuan terseret ke ‘meja hijau’. Indonesia seolah-olah gempar, tak percaya bahwa perempuan “mereka” (baca: negara dan laki-laki), ‘tega’ dan ‘mampu’ menyuap serta menerima suap sebagai praktik korupsi, yang ‘biasanya’ jamak dilakukan oleh laki-laki. Pemberitaan keterlibatan perempuan dalam praktik korupsi ini menenggelamkan berita nasional di Indonesia. Sebut saja kasus penyuapan jaksa oleh Artalyta Suryani, kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia oleh Nunun Nurbaeti dan Miranda Swaray Goeltom, kasus pembobolan dana nasabah Citibank oleh Malinda Dee, kasus suap proyek Wisma Atlet yang melibatkan Mindo Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, dan Yulianis, kasus korupsi pengadaan alat kesehatan oleh Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah. Para perempuan ini terlibat tidak hanya sebagai pelaku, tetapi juga sebagai operator untuk mengamankan koruptor (laki-laki

Mencibir ‘Kegilaan’ Aktor Blusukan

Tulisan ini terinspirasi dari kolom Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia dalam Majalah Gatra (edisi 10-16 April 2014) berjudul Antara Political Branding dan Iklan Politik. Menyimak kampanye calon legislatif (caleg) dan partai politik tempo hari, kita menyaksikan jor-joran antara figur (aktor politik) dan partai politik saling adu kecepatan dan bahkan saling sikut untuk berebut citra. Tak hanya di televisi, media cetak, dan situs jejaring, bahkan di depan pagar rumah pun, mereka (aktor dan partai politik) berebut ruang, berebut waktu, berebut perhatian, dan berebut ‘siapa cepat dia dapat’ untuk meraup simpati konstituen dalam Pemilihan Umum. Bentuknya, menebar banyak poster, spanduk, baliho, dan seterusnya yang memohon ‘minta dukungan dan doa restu’ serta tak lupa tagline ‘berjuang demi rakyat’. Dan kita menyaksikan bersama-sama, berminggu-minggu, aktor politik bermanuver dan citra populis pun dibangun di sana sini. Citra yang berasosiasi publik sebagai toko

Wajah-Wajah Gak Jelas di Pogung, Yogyakarta, mbekekekekkkk

Tanah Tabu: Luka Mama dalam Pencaharian Kemanusiaan

Papua dalam Realitas Tanah Papua, semakin hari semakin menguras tenaga dan emosi untuk diperbincangkan, diperdebatkan, dituliskan, diperjuangkan, bahkan ‘dinasionalismekan’. Tanah paling timur Indonesia ini memiliki banyak cerita yang tidak saja bergema dalam skala nasional tapi juga mancanegara. Ibanya, cerita-cerita yang kemudian mampir ke telinga lebih banyak bernada kesakitan dan kepiluan daripada keadilan dan kemakmuran. Cerita-cerita sakit dan pilu ini menjalar sejak tahun 1960an hingga demokrasi di Indonesia genap berusia 15 tahun . Tanah Papua selalu lekat dengan dua isu besar, yakni kekayaan alam berlimbah dan ‘keterbelakangan’ kebudayaan. Dua isu ini kemudian merebak melebar ke berbagai persoalan, seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia; keterlibatan negara –baik sebagai pelaku (militeristik) maupun pembiaran- atas terbunuhnya masyarakat lokal; dampak buruk pada lingkungan (polusi air dan kerusakan hutan), budaya perusahaan tambang yang hanya berorientasi keuntungan sep

Oh, Orete!

Sebagai fans, kenapa saya harus berhadapan dengan orang-orang tak egois, tapi menyedihkan begini? Di penghujung bulan pertama 2014, Aurette and The Polska Seeking Carnival (AATPSC), band indie yang asyik, secara resmi membubarkan diri. Alasan yang mereka rilis adalah mencoba fokus atau lebih mengutamakan kegiatan akademik di kampus. Kampus di sini menunjuk ialah Institut Seni Indonesia Yogyakarta, sebagai 'wadah' dilahirkannya band keren (dari Sewon) ini oleh sekumpulan mahasiswa beserta teman-teman di sana. Kampus keren, mahasiswa keren, jadi kenapa harus tampak kolot dengan -seolah- riang gembira 'mengaborsi' Orete di tahun pesta 2014 ini? Tulisan ini sepertinya penting karena (1) Orete dan fans adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan; (2) Orete itu beken dan yup, belum ada yang menandingi khas musik mereka; (3) Orete itu pilihan musik, rasa, dan taste kita; (4) Orete itu transformasi seni dan kebahagiaan dari kampus ISI kepada khalayak luas; (5) Orete it