Skip to main content

Gangnam Style dalam Perspektif Konstruksi Identitas



KETIKA Britney Spears diajari berGangnam Style ria oleh Psy, sedetik kemudian tarian menunggang kuda ini menjadi tren baru dan memecah rekor baru di YouTube. Guinness World Records menganugerahi sebagai video yang paling banyak dilihat yakni 200 juta kali dalam tiga bulan. Sebuah pencapaian yang tak diduga sebelumnya, begitu kira-kira kata Dan Barrett. Park Jae Sang pun mendapat nama dan melimpah job baik di Asia maupun di Amerika Serikat.

Google dengan jejaring luasnya bercerita jika horse dance ini adalah sindiran kepada anak muda Korea yang tergila-gila memperganteng, mempercantik, memperlangsing, dan mempertirus tubuh dan wajah sebagai ‘syarat utama’ penampilan dan pergaulan di negeri itu. Tak ketinggalan juga mengkritik gaya hidup yang cenderung high class serta selalu mengejar kesempurnaan. Di kawasan elit Gangnam inilah anak muda dan masyarakat Korea bertemu dengan rumah-rumah bedah, salon kecantikan, serta starbuck-starbuck ala Korea.

Psy mengkritik –mungkin tepatnya melawan- lewat Gangnam Style dan berujar PeDe bahwa dirinya yang sipit dan tak atletis juga bisa mendunia, eksis, namun tetap apa adanya. Rapper ini seolah-olah jengah dengan budaya anak muda Korea yang selalu berhasrat menyembunyikan atau bahkan mematikan warisan leluhur ke-Asia Timur-an mereka (sipit, putih atau kuning langsat, hidung mungil, rambut lurus, dan seterusnya) kemudian menggantinya dengan kehendak sesuai selera (tak lagi sipit, bangir, coklat, keriting atau ikal, dan seterusnya), tentu saja tak ketinggalan agar lebih atletis atau singset.

Sebelumnya, mengingat ke belakang pada grup vokal atau boyband dan girlband yang memang banyak ditularkan oleh negara-negara Asia Timur ini. Di sana ada Super Junior, Big Bang, Shinee, SMTown, Girls’ Generation dan seterusnya, yang secara penampilan dan genre musik tak jauh berbeda. Lebih jauh lagi ada Fantastic atau Favorite Four (F4) yang sudah melegenda. Jika ingin men-generalkan, mereka memang tergolong ganteng dan cantik untuk ukuran selera 90-an hingga tahun 2000-an, serta menjadi primadona bagi remaja dan perempuan muda. ‘Standar’ ganteng, cantik menuju sempurna ini ternyata masih bertahan di era Twitter dan ‘Indie’ ini. Psy pun bangun dan menertawakan dengan Gangnam Style-nya.

Identitas Kultural

Menurut Stuart Hall, identitas kultural dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah, melainkan sebagai proses ‘menjadi’. Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu dicari; namun identitas kultural terus-menerus diproduksi di dalam vektor kemiripan dan perbedaan. Identitas kemudian menjadi ‘potongan’ atau kilatan makna yang terungkap; penempatan yang strategislah yang memungkinkan adanya makna.

Dalam konteks identitas anak muda Korea (baca; penampilan dan gaya hidup) memang akan selalu berubah dan tidak stabil. Ketidakstabilan identitas ini, jika terjadi pada mereka yang sebagai public figure, maka secara langsung atau lambat identitas yang tak stabil ini juga merembet kepada fans mereka. Identitas menjadi semacam permainan. Tujuannya, tentu saja demi tercapainya segala model kebutuhan; fisik maupun psikis.
Ketika Psy mengkritik atau bahkan coba melawan budaya yang ‘mempermain-mainkan’ identitas melalui segepok uang dan jabatan, maka itu akan menjadi semacam ‘sia-sia’. Orang-orang yang mendengar Gangnam Style di kawasan elit Gangnam yang mungkin wajah mereka tengah dibedah, atau tengah berselonjor ria di salon, tak akan merasakan efek apa-apa. Kritik itu tentu akan terus berjalan searah kemana mulut mengarahkan. Namun kesadaran akan perbedaan, keunikan diri sendiri mungkin masih lama untuk dipikirkan. Singkatnya, di tengah kawasan Gangnam, naif sekali membicarakan identitas yang dikonstruksi secara kultural dan kapitalistik itu.

Untuk itu, agaknya Psy paham apa dan bagaimana tantangan sesungguhnya dari lagu dan tarian goyang naik kuda ini; kritik tajam kepada mereka sebagai pelaku sekaligus korban budaya pop dan kapitalistik. Kepahaman Psy ini terlihat dari esensialisme dari lirik lagu dalam horse dance. Lalu, kenapa tidak diteruskan?

Pada hakikatnya kepahaman Psy baik dari dalam negeri atau luar negeri sendiri, justru menghantarkannya jadi public figure yang benar-benar ‘merakyat’. Jika tadinya ia ingin melawan arus strategi budaya yang dilahirkan di Korea Selatan dan itu sepertinya tak mempan, alih-alih berpaling dari kawasan Gangnam, Psy tak habis akal. Ia merebut perhatian publik dengan kelucuan dan atraktif tarian itu sendiri. “Be funny but not stupid,” kata PSY kepada Yonhap, kantor berita Korea Selatan. Akibatnya, lirik-lirik kritis Psy tertelan begitu saja ketika tari ini dimainkan oleh seleb papan atas Amerika. Apa lacur, ‘identitas dan ideologi’ Psy pun ‘terjual’ oleh YouTube dan maraknya flash mob yang beredar.

Hallyu atau gelombang Korea Pop yang mengerucut membentuk soft power bagi anak muda, termasuk Psy di dalamnya, menjelaskan bahwa gelombang ini adalah cara Korea menghegemoni atau bahkan ‘meng-kolonialisasi’ bangsa-bangsa di dunia. Tujuannya tentu saja meneguhkan akar-akar kapitalistik yang sudah dibangun bertahun silam. Negara-negara Arab, Timur Tengah, dan Amerika Selatan, adalah negara yang tadinya sulit disusupi K-Pop, sekarang, pelan tapi pasti budaya ini menyebarkan ‘virus’ di sana.
Kehadiran serta kehebohan Psy dengan Gangnam Stylenya semakin meneguhkan bahwa kita, bangsa Asia, Amerika, Eropa, atau bahkan Afrika tak mampu menolak gelombang hegemoni ini. Kita tak berdaya dibuatnya. Menerima yang ditawarkan dan pelan-pelan terbawa ke dalamnya. Seperti kata Stuart Hall, identitas bersifat kontradiktif dan saling silang meniadakan satu sama lain. Persaingan identitas dan subjetivitas menunjukkan bagaimana kita dibentuk sebagai subjek manusia, yaitu jenis manusia yang tengah kita bentuk pada diri kita.

#foto dari internet



Comments

  1. tulisan jurnalis memang beda
    seharusnya dlm mghadapi 1 musuh menggunakan 1 jurus yg mematikan
    bukan mghadapi musuh 1 dengan banyak jurus tp tidak mematikan

    kritik identitasmu kurang, sebenarnya prmasalahannya adalah krisis identitas yg berimplikasi mimicry

    ReplyDelete
  2. wah, wah, kritik yang mematikan :)
    tingkyu ki.

    mungkin akan menjadi lebih tendesius ada ulasan tentang mimicry dari lu ki.

    ReplyDelete
  3. udah, pake stuart hall aja. Kan dipaskan ajah sama kesukaan, huekekek.. mantabh, Dek!!! :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Silahkan berkomentar ^_^

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he