Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Abak, Amak, dan Perjalanan Penghujung 2013

13 Desember dan Abak Sedunia Ini tanggal ketika abak takkan pernah lagi menyapa secara riil, tidak di dalam mimpi. Ini awal cerita ketika abak takkan pernah bertanya lagi bagaimana kabar kuliah, apakah masih punya cadangan uang, bagaimana prestasi kuliah. Ya, ada sosok yang raib selamanya sejak tanggal ini jatuh pada empat tahun silam. Beliau komplikasi. Mulai dari maag, lambung yang tak lagi sehat. Merambah ke berbagai organ dalam seperti jantung dan mungkin juga empedu hati. Sementara kadar gula darah baik-baik saja. Karena, saya yang mengecek, jadi cukup paham. Meski begitu ternyata tak menjamin bahwa Abak dapat mengikuti cerita sejarah anak per anak beliau. Ingin kusapa, Abak, tak banyak yang berubah di rumah yang kau dirikan dulu. Masih seperti kau bangun pertama kali. Begitu juga cinta Amak dan anak-anakmu. Bahkan semakin menggunung. Akan tetapi, banyak berubah dari kehidupan anak-anakmu kini. Anak bujang dan anak gadismu makin besar. Makin cerdas dengan peningkatan pendidika

[Catatan 6 Desember 2013] Aku Ingin Ditemani Sengkuni!

Engkau bicara seperti orang yang mengidungkan mantra dan sudah puas hanya dengan mendengarkan kidunganmu sendiri, meskipun sebenarnya tidak tahu artinya (Bima dalam Mahabharata). Untuk meredam itu aku mengurangi diri bereaksi cepat pada sebuah suspens, tegangan, pancingan, dan sejenisnya. Karena, bukan perkara tidak berguna dan tak ingin membela diri, tapi lebih kepada agar tidak terlihat bodoh dan kemudian lupa diri. Mengurangi menanggapi segala fenomena dengan reaktif, seolah-olah bombastis, dan kemudian begitu berhasrat mewacanakannya kepada publik. Kata seorang penulis, jika semua orang berbicara -pedas, congkak, sombong, paling benar, dan merasa pahlawan- lalu siapa yang akan menulis? Perenungan adalah keniscayaan. Kontemplasi adalah jalan menuju siapa diri, siapa alam, dan kesyukuran. Detik-detik menginjak 24 tahun, aku begitu mencintai kesunyian. Kesunyian, meski tak melahirkan karya besar, perjalanan selama sunyi benar-benar menguras nurani. Di dalam sunyi, rasakanlah perj

Yang Ragu, Yang Diwisuda

Hari ini, 30 November 2013, Da David dan Uni Iref diwisuda diploma. Mak Tuo dan Amak tak ketinggalan, ikut serta meramaikan acara besar itu di Mukomuko. Senang saja meski tak menghadiri. One dan Da Dedi tinggal di rumah, menunggu, seperti biasa. Mereka ada orang yang setia, terpaksa setia karena ada sejuta cerita di balik itu. Da David fokus pada pembibitan kelapa sawit. Sementara Uni Iref belajar telekomunikasi, mahir komputer buat kantoran. Mereka belajar bersama pada kampus yang sama. Usia tak jadi soal. Terhitung lambat, karena One bahkan saya sendiri sudah menamatkan sarjana kami masing-masing. Ya, tak ada cerita sesal dan datang terlambat. Masing-masing kita punya kisah dan tambatan. Sabtu waktu itu, dari pagi hingga petang, sengaja aku berdiam diri di kos. Tak hendak kemana-mana sembari membayangkan betapa gaduh dan sibuknya One, Amak, dan Da David di rumah. Beragam yang diharus didebatkan. Soal motor, soal hujan, soal kebaya, soal payung, soal siapa yang menunggu, soal pem

Seriously, I’m Nothing, I’m in Ubud Writers and Readers Festival 2013 as A Writer

I’m Nothing Saya sedang tidak menempatkan mental poskolonial saya, saya sedang merefleksikan posisi saya dalam ajang festival ini . Ketika novel Keringnya Ladang Nurbaya yang kutulis dipilih oleh kurator Ubud Writers and Readers Festival 2013 (UWRF13) sebagai emerging writers yang akan hadir, aku bertanya-tanya. Pasalnya –sebelum membicarakan isi novel- tak satupun karyaku baik kumpulan cerpen, tulisan esai, apalagi novel yang pernah diterbitkan, mengingat oplah penerbitanlah sebagai eksistensi berkarya yang menjadi indikator seorang penulis diundang ke festival ini, begitu awal pikirku. Tesis ini agaknya teruntuhkan ketika aku menjadi salah satu emerging writers pada 10th anniversary festival ini. Bahwa, “Benih penulis berkualitas lahir dari pelosok dan tempat yang sunyi, tidak melulu dari Jakarta dan kota besar. Dan, tidak perlu lagi datang ke Jakarta untuk hebat. Maka kami memberi kesempatan bagi mereka yang dari kota kecil, dan mereka ini luar biasa!” begitu alasan I Wayan Ju

Achil in Action #2

Dogma dalam Keterkejutan The Conjuring

The Conjuring (Praktik Setan) Film The Conjuring bercerita tentang sebuah keluarga Roger dan Caroline dengan lima anak gadis mereka menempati rumah dan perkebunan baru di sebuah pulau terpencil, Rhode Island. Rumah dan perkebunan ini dibeli dari pelelangan bank, yang tak dikenal sebelumnya. Rumah dua tingkat ini dilengkapi dengan bangunan bawah tanah sebagai gudang serta praktik sihir dari si empunya pertama kali, tahun 1863. Rumah, perkebunan, serta danau yang membentang di perkebunan ini dipakai sebagai tempat pemujaan setan pada awalnya. Para pembeli selanjutnya kerap mengalami kejadian aneh yang berujung pada gantung diri dan kematian. Keluarga Roger dan Caroline pun mengalami hal yang sama. Setiap malam hantu-hantu ini mengganggu tidur anak-anak Caroline. Seperti, menarik-narik kaki mereka, menyemburkan bau bangkai di sekitar rumah, membuat salah satu putri mereka tidur berjalan, bahkan Sadie, anjing keluarga ini, mati menggenaskan pada hari ke dua kepindahan mereka di rumah b

Ramadhan, Lebaran, dan Kemerdekaan 2013

Banyak harapan ingin dikerjakan pada ramadhan tahun ini. Sejuta angan hendak dikabulkan untuk membahagiakan banyak orang. Ada pihak-pihak utama yang hendak 'diselamatkan' dari lembah kebisingan kota. Apa kata, rencana tinggal rencana. Angan dan cita tinggal angan dan cita. Inilah kemudian masa yang membuat semua gugur ke bumi dan kembali menangisi nasib. Juli Agustus adalah bulan yang kepayahan. Dari jutaan kepayahan, waktu untuk diri kemudian tersingkirkan dengan cepat dan gampang. Semua dikorbankan untuk orang-orang tersayang. Tapi banyak keliru rupanya. Ah, apa guna pula diceritakan yang menguras emosi di laman publik ini. Tak baik untuk kesehatan hati. Perjuangan panjang dan melelahkan itulah yang kemudian semakin memuncak dengan konteks yang tak menarik hati. Saudara, ada banyak duri rupanya hari ini. Meski begitu akal sehat dan harapan tinggi selalu membayangi. Dengan mencemooh akal sehat dan harapan tinggi berkata, "Sudah lama kau berjuang, jadi selalulah berj

Most-Beat ‘Akademis’ di Efek Rumah Kaca

Tulisan ini mungkin akan kurang mengesankan bagi pihak yang merasa tersinggung, terutama audiens mahasiswa. Apa lacur, di balik kemeriahan dan kegembiraan, tersimpan benih-benih yang siap berteriak, memaki, yang kemudian meledak. Bahwa, inilah keniscayaan itu. Sekitar seribu mahasiswa dari berbagai kampus duduk bersila menghadap panggung di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri Universitas Gadjah Mada. “Ticket sold out, tapi panitia mencetak ulang,” begitu kata seorang singer dari band pengisi. Untuk acara kampus macam Earthernity Fest 2013 ini, band-band’an model begini cukup besar dan menyedot perhatian. Audiens duduk manis dan sesekali menjepret dengan sopan. Audiens, dalam hitungan jari, coba menghayati (ikut bernyanyi) bersama band-band lokal dan yang dari berbagai kampus. Selebihnya –seperti tengah berziarah- menekur dan terpesona dengan penampilan lighting serta kerumunan penjinjing DLSR merangsek panggung. Ini awal. Ketika band polska dari kampus seni Yogyakarta, Auret

Isra Mi'raj

LAMA sudah rasanya tidak menghadiri perayaan ini. Terakhir menghadirinya, entahlah. Mungkin sekitar 4-5 tahun lalu. Atau sejak 7 tahun lalu, dimana masjid dan musala yang kujumpai tidak begitu akrab dan juga tak diketahui jadwal mereka memperingatinya. Aku rindu menghadiri acara ini. Seperti 7-8 tahun lalu. Waktu itu mungkin aku masih berseragam abu-abu. Ketika Isra Mi'raj datang, jika ada guru rebana, aku dan kawan-kawan biasanya mengisi acara ini dengan berqasidah bersama. Hahaha, lucu dan sangat menyenangkan jika mengingat itu. Isra Mi'raj datang. Kalender berwarna merah. Dari siang hingga sore kami berlatih rebana, menyanyikan salawat dan lagu-lagu nasyid bersama. Tentu saja ini dilakukan di masjid. Dimana teman lainnya mendapat jatah menghias masjid, menyediakan teh panas, serta tak ketinggalan membersihkan pekarangan masjid. Jika sore usai, bapak-bapak, ibu-ibu, serta anak-anak kecil sehabis magrib berdatangan ke masjid, mengikuti pengajian, sambutan ini-itu, sert

Mei yang Rumit

KITA sulit lupa pada tragedi Mei nan bersejarah bagi bangsa ini. Ya, karena media tak pernah absen menuliskan kembali narasi-narasi perlarian, penculikan, perkosaan, penjarahan, pembunuhan, penahanan, penyerahan, dan pemenangan waktu itu. Plus mengendorser dari pelaku, baik penggugat maupun tergugat, serta keluarga korban. 2013, 15 tahun sudah tragedi rontoknya Orde Baru itu melambaikan tangan, secara ke-rezim-an. Secara praksis, jelas saja belum tentu. Tak mudah memang mengubah tradisi bernegara yang sudah dibangun selama 32 generasi. Tragedi ini lebih dari tragedi saling memaki, saling mengolok, dan saling menyumpahi. Ini tragedi berdarah dalam menumbangkan rezim yang korup, penuh bias, dan jelas saja diskriminatif. Tragedi yang menghilangkan banyak roh, banyak generasi; roh dan generasi yang kritis serta berani. Kritis dan berani tidak gampang di rezim itu. Dan, sudah terungkap, betapa mahalnya untuk menukar kritis dan berani; renggukan nyawa. Kini, kita kembali mengingat Mei

Demokrasi Air dan Pro-Future Generation

Yogyakarta, Rabu (27/3)- Demokrasi air sebuah langkah sebagai perwujudan kritik atas 'politik bumi' yang antroposentris bahwa alam untuk manusia. Sementara ideologi survivalim yang disuarakan Vanda Nashiva, yang memihak pada kelestarian lingkungan, bahwa keberadaan manusialah untuk alam. Keberpihakan terhadap alam sama artinya dengan keberpihakan pada kelangsungan generasi mendatang. Jika kepada alam tidak ada keberpihakan bagaimana mungkin manusia akan berpihak kepada anak cucu selanjutnya? Prof. Dr. Heru Nugroho mengatakan air adalah kado alam. Sebagai kado, air bukanlah produk komoditi yang kemudian diprivatisasi. Fakta di Indonesia, air sebagai komoditi, diperjualbelikan dengan mudah. Hal ini diperparah dengan kebijakan privatisasi air yang tidak mengedepankan konservasi. Belum lagi persoalan pengeboran sumur mencapai puluhan dan ratusan meter ke perut bumi. "Akhirnya, air dengan kandungan mineral tinggi kembali dikuasai oleh segelintir orang bermodal. Sementara y

Frekuensi Publik dan Pentingnya Serikat Buruh

Yogyakarta, Rabu (13/3) - Sebagian besar penikmat media, baik cetak maupun elektronik, belum memahami bahwa publik punya hak besar menentukan tayangan termasuk membatasi penguasaan atas frekuensi. Di balik penguasaan frekuensi yang terbatas itu, penguasa media massa saat ini cenderung politis dan eksploitatif di atas fasilitas publik. Sosialisasi dari pihak terkait perihal frekuensi ini dinilai minim. Alhasil, sak wasangka publik terhadap negara yang bermain dengan cukong tak terhindarkan. Ucu Agustin, penulis dan sutradara film ini menuturkan, hingga 2012 publik hanya memiliki 20% dari jumlah frekuensi yang tersedia. Selebihnya, 80%, sudah dikuasai oleh swasta. "Ketika sebagain saham satelit Palapa dijual ke pasar pada masa kepemimpinan Megawati, dari sanalah bermula kuantitas frekuensi untuk publik semakin merosot," kata Ucu. Maraknya pemakaian telepon seluler BlackBerry juga memungkinkan frekuensi yang tersisa itu semakin terbatas. "Negara juga menyediakan sekian

[Catatan] Bernie dan Kemengantukan Hidup

Habis magrib 14 Februari lalu seseorang datang sembari cengengesan padaku. Aku kira dia menang togel dan kita segera umroh tahun ini. Lagi pula, kado momen itu dialokasikan untuk memenuhi kamar dengan karya Karl Marx. Jadi, surprise romantis ala abegeh ditunda tahun depan. Aku sudah bisa memotong poni sendiri, jadi tak perlu ngambek malam itu. Namun, cengengesannya berganti seketika ledakan tawa. Aku tak bisa menyembunyikan cengengesanku sembari penyesalan dibuat-buat ketika dia menjinjing kantong plastik besar bergambar beruang. Isinya? Boneka anjing besar berbulu lebat dengan ukuran moncong mendekati besar bokongnya. Ia berwarna cream dan oranye. Kupingnya melambai menutup matanya yang cekung. Mirip si Jack dalam Pirate of Carribean, sebelah matanya dikelilingi bulu dengan warna berbeda. Malam itu juga, kami punya anggota baru. Namanya Bernie. Karena facebook menginginkan nama terdiri atas dua kata, ia menjadi Bernie Wati. Kenapa tidak Bernie Wan? Karena aku tak suka memanjakan l

Mengabarkan Jagat Raya dan Mengisahkan Manusia

[Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noer, dan Kris Budiman]