Skip to main content

Ucap Dengar Budaya Kita

Tanah Air ini diikenal dengan negara agraris, memiliki kebudayaan yang berbeda dengan negara lain semenjak dahulu. Sebagai negara agraris para pendahulu kita, tidak banyak mengenal budaya baca tulis atau budaya literer. Hal ini dipengaruhi oleh cara hidup yang dominan bergantung ke alam, nomaden (berpindah-pindah) dan cenderung akan pemenuhan kebutuhan fisik. Dalam kondisi ini masyarakat kita tak begitu mengenal aksara -tak bermaksud menafikan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang memenuhi sejarah Nusantara. Untuk berinteraksi mereka berkomunikasi secara lisan dengan bahasa tertentu waktu itu.

Hingga saat ini, mengerucut kepada masyarakat Minangkabau, budaya ini masih segar dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi masyarakat Minangkabau yang kental dan akrab dengan budaya lisannya, mengalami permasalahan serius berkaitan dengan semangat baca tulis ini. Kita jauh lebih suka dan menikmati budaya ucap dan dengar (lisan). Alasannya, karena hal ini lebih menarik dan menyenangkan hati daripada membaca dan menulis yang cukup membosankan itu.

Padahal, masyarakat Minang pernah memiliki orang-orang bagak yang tidak hanya rancak berujar (berdiplomasi) tetapi cakap pula menulis (menyampaikan ide-ide mulia). Orang-orang bagak ini tak hanya mengharumkan tanah kelahirannya, ranah Minang, membuat bangga generasi selanjutnya, tetapi juga disegani oleh suku dan bangsa lain. Ada Buya HAMKA, Ibrahim Datuk Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Bung Hatta, dan deretan nama lainnya. Orang-orang bagak ini, fenomenal dan dikenang dunia.

Hemat penulis, kita tak perlu mengambinghitamkan budaya ucap yang telah membumi itu. Hanya saja, menumbuhkembangkan betapa pentingnya banyak membaca dan menulis itu jauh lebih bermanfaat, menarik, dan ‘seksi’ daripada hanya berujar dan mendengar. Tak sampai di sana, setelah dikampanyekan, juga diperlukan kesadaran tinggi dari masyarakat kita, khususnya anak muda yang tengah menempuh pendidikan, pada budaya membaca dan menulis ini.

Penyair Taufik Ismail dan rekan-rekannya telah merintis hal ini pada tahun 1999 lalu. Pelatihan yang diberi nama Membaca Buku, Menulis Karangan, dan Apresiasi Sastra (MMAS) itu, banyak menghasilkan penulis hebat namun ada pula yang ampo. Begitu juga dengan Dewan Kesenian Sumatera Barat yang pernah mengadakan pelatihan menulis senada pada tahun 1995. Hasilnya, cukup memuaskan, namun seiring waktu penurunan kualitas dan kuantitas pengarang atau penulis juga tak bisa ditampik di ranah Minang ini.

Akan tetapi, kita tak boleh pasrah dan acuh tak acuh pada keadaan yang mulai memperihatinakan ini. Sikap masa bodoh takkan mampu mengubah keadaan, justru memperparah. Membudayakan membaca dan menulis hingga detik penghabisan tentu selalu didengungkan kepada generasi selanjutnya. Setiap kita dapat berperan dengan cara masing-masing. Apakah dalam bentuk grup-grup kecil atau komunitas, yang tidak hanya care tetapi juga beraksi untuk mengentaskan sindrom antibacatulis ini. Termasuk media massa cetak dan elektronik yang berperan sebagai perpanjang tangan hal serupa kepada khalayak ramai.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...