Skip to main content

Sitti Nurbaya, Feminis Minang Tahun 20-an

“…Cobalah kau pikir benar-benar, nasib kita perempuan ini! Dari Tuhan yang bersifat Rahman dan Rahim, kita telah dikurangkan daripada laki-laki, ‘teman kita’ itu. Sengaja kukatakan ‘teman kita laki-laki’ itu, karena sesungguhnyalah demikian walaupun banyak di antara mereka yang manyangka, mereka itu bukan teman, melainkan tuan kita dan kita hambanya…”(Rusli, 2002:201). Ucapan ini dituturkan oleh Sitti Nurbaya kepada Alimah di penghujung malam kehidupannya dalam roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli (PT. Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, cet. 37 tahun 2002). Ungkapan ini menggambarkan bahwa Sitti Nurbaya merupakan perempuan yang tak tinggal diam ketika nasib dan kehidupan perempuan Minang dan di ranah Minang (masih) mengalami diskriminasi dan ketidakadilan sosial berdasarkan perbedaan gender pada masa itu.

Sitti Nurbaya, anak Baginda Sulaiman, seorang saudagar kaya di Kota Padang, mempunyai toko-toko yang besar, kebun-kebun yang luas, dan beberapa kapal yang dapat mengangkat barang dagangannya lintas pulau (Rusli,2002: 14). Meskipun dari keluarga yang berkecukupan, Sitti Nurbaya digambarkan tidak memperoleh pendidikan tinggi seperti Samsulbahri, Arifin, dan Bakhtiar. Walaupun demikian, ia tumbuh dengan lingkungan dan pertemanan yang tidak ‘menghalalkan’ diskriminasi perempuan dengan laki-laki. Meski tak berbeda jauh dengan kehidupan Rohana Kudus atau R.A Kartini, tokoh fiktif Sitti Nurbaya tumbuh dan berkembang di dalam situasi yang siap menampung ide, dan keluh kesahnya. Ia bebas berpikir, mengkritisi, dan mengevaluasi hal-hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan nuraninya dan kemauan zaman.

Sitti Nurbaya keberatan dan menolak pandangan kebanyakan perempuan di tempatnya tentang sekolah atau pendidikan bagi para gadis. Sekolah hanya akan membuat perempuan menjadi jahat karena mereka bisa menulis, membaca, dan berhitung, serta menjadi aib keluarga besar nantinya. Tokoh Rukiah pun menjadi perempuan muda korban dari penanaman ideologi peran gender yang tidak adil ini. Demikian juga dengan pendapat bahwa perempuan hanya berperan di dalam rumah. Mereka bertugas hanya seputar dapur, sumur, dan kasur. Sitti Nurbaya menganggap pekerjaan ini tidak menambah kekuatan dan menajamkan pikiran. Menurut Fakih (2008:21) semua pekerjaan itu (baca; domestik) bukanlah pekerjaan produktif yang dihitung dalam statistik ekonomi.

Ranah Minang pada tahun 1890 atau masa roman ini ditulis oleh Marah Rusli, memang mengagung-agungkan derajat bangsa atau kebangsawanan turunan keluarga. Para penerus kebangsawanan ini biasanya sangat banggga dan tak jarang pula pongah ketika menyandang derajat kebangsawanan itu di tengah-tengah masyarakat. Anak perempuan mereka tidak mudah bergaul dengan sesama perempuan lainnya. Pada usia belasan tahun, si gadis pun dipingit di Rumah Gadang dan belajar semua keperluan keluarga dan suami sembari menunggu pinangan dari pemuda yang tentunya berasal dari keluarga bangsawan pula. Begitu juga dengan laki-laki yang berderajat selangkah lebih tinggi dari lelaki lainnya. Kebanyakan para lelaki bangsawan yang telah beristri ini hanya luntang-lantung dan menghambur-hamburkan uang kemana mereka suka. Adat yang menggariskan mereka tak harus bekerja, karena keberadaan istri dan anak merupakan tanggung jawab paman (saudara laki-laki dari ibu atau istri), kerap dijadikan tameng oleh laki-laki bangsawan untuk bersikap acuh tak acuh dan meninggalkan tanggung jawab mereka terhadap nasib anak dan istrinya. Pun ketika budaya beristri banyak (poligami) semakin akrab ditemukan di Ranah Minang. Sitti Nurbaya dan beberapa perempuan menentang budaya ini. “…Bukankah laki-laki seperti ini bisa disamakan dengan bapa kuda atau bapa sapi, yang dipelihara baik-baik dan diberi makan cukup, semata-mata hanya karena hendak mengharap keturunannya saja?” (Rusli,2002:196).

Masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal yakni garis keturunan menurut garis ibu, namun praktik budaya patriarkhat tak terelakkan dalam masyarakatnya. Perempuan mengalami diskriminasi, subordinasi, kekerasan serta bentuk lainnya yang merupakan perwujudan (manifestasi) dari budaya patriarkhat, kekuasaan dominan di tangan laki-laki. Sebagai contoh pada proses pengambilan keputusan ataupun tindak kekerasan (baca; KDRT) yang dialami para perempuan. Hal-hal yang menyangkut kehidupan dan nasib perempuan selanjutnya kerap diputuskan oleh keluarga (patriarkhat) tanpa meminta persetujuan si gadis. Mulai dari perjodohan, agama, sosial, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan fisik maupun psikis serta ketidakadilan kerap melanda perempuan, hanya dikarenakan ia lemah dan dianggap ‘pantas’ menerima semua itu. Menurut Fiorenza (Anwar, 2009:238) kekerasan berkaitan dengan prinsip kekuasaan sosial yang dimiliki oleh laki-laki yang cenderung merendahkan kedudukan perempuan dalam sistem sosial. Posisi perempuan (Minang) pun masih dalam ranah abu-abu dan sulit untuk dibanggakan.

Data statistik dari beberapa Women’s Crisis Centre menyatakan bahwa kasus pelecehan dan perkosaan terhadap perempuan, termasuk istri yang mengalami tindak kekerasan dari suami, terus meningkat setiap tahun (Subhan, 2006:57-58). Menurut Winata, dari keseluruhan populasi perempuan, nyaris 12% di antaranya, terutama di pedesaan, pernah mengalami tindakan kekerasan. Namun, KDRT ternyata bukan hanya isu perempuan pedesaan. Perempuan perkotaan dengan pendidikan dan pekerjaan yang kerap dianggap memiliki posisi tawar seimbang, ternyata juga tak terbebas dari tindak kekerasan. Kondisi ini memperlihatkan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan masih berjalan langgeng di Tanah Air hingga sekarang. Kenyataan ini tidak terlepas dari masih kuatnya ideologi gender yang mensosialisasikan bahwa laki-laki dan perempuan adalah individu berbeda, dalam kepribadian dan pola pikir, yang semakin banyak mengusung dan membakukan ketidakadilan sosial gender di masyarakat.

Sitti Nurbaya di dalam roman ini menentang dan menolak semua tindak diskriminasi itu dengan caranya sendiri. Ia yang tak menerima posisi perempuan sebagai hamba laki-laki, meminta cerai dan selalu memasang muka masam kepada suaminya, Datuk Maringgih. Bagaimanapun juga, pernikahan yang dilangsungkan antara Sitti Nurbaya dengan Datuk Maringgih, semata-mata hanyalah pernikahan untuk melunasi hutang piutang ayahnya, Baginda Sulaiman kepada Datuk Maringgih. Kekerasan psikologi ini diderita oleh Sitti Nurbaya lantaran agar sang ayah tidak dipenjarakan karena tak mampu melunasi hutang piutang itu kepada Datuk Maringgih. Hal ini menjelaskan bahwa perempuan (Sitti Nurbaya) kembali dinilai rendah, hanya sebagai barang (dengan nilai sepuluh ribu) yang mampu melunasi hutang piutang ayahnya.

Demikian pula dengan peristiwa pelecehan seksual yang dialami Sitti Nurbaya di atas kapal ketika ia berlayar menuju Jakarta, menyusul Samsulbahri. Penilaian ini tentu memberikan efek negatif kepada perempuan berupa subordinasi, stereotip, dan penurunan kepercayaan diri dari si perempuan. Di akhir perjuangan dan perlawanannya, Sitti Nurbaya mengorbankan kasih dan sayangnya tanpa berjumpa lagi dengan Samsulbahri, kekasihnya. Bagi Sitti Nurbaya ketulusan dan keikhlasan cinta dan kasih untuk membangun kehidupan yang baru, mutlak lahir dari orang-orang yang akan menjalaninya, bukan dari paksaan apalagi sampai mengebiri hak dan cinta mereka.

Usaha dan upaya membangun karakter bangsa yang berkesetaraan dan berkeadilan gender tanpa kekerasan harus dibangun dengan segenap partisipasi masyarakat sejak dini. Kekuatan, kecerdasan, dan penguasaan laki-laki atas perempuan tak ada nilainya jika relasi antara perempuan dan laki-laki tetap berjalan timpang dan tidak menciptakan kehidupan yang harmonis serta manusiawi. Sederhananya, ada kondisi umum yang membuat perempuan sama dengan laki-laki, namun ada pula kondisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda, tetapi bukan berarti untuk dibedakan.

Referensi
Anwar, Ahyar. 2009. Geneologi Feminis: Dinamika Pemikiran Feminis. Jakarta: Penerbit Republika.
Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusli, Marah. 2002. Sitti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Subhan, Zaitunah. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Winata, Raja Maspin. 2011. “Perempuan dan Perempuan”. Diakses pada Minggu, 3 Juli 2011 pada situs www.Pewarta-Indonesia.Com

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...