Skip to main content

Konstruksi Semangat Berorganisasi ala Bung Hatta

Menginjak ke-31 tahun negara dan bangsa Indonesia ditinggalkan oleh salah satu dwitunggal pendiri bangsa ini, Mohammad Hatta, semoga jiwa patriotiknya dalam membela dan mempertahankan Tanah Air tetap diwarisi oleh siapa saja, terutama generasi muda bangsa ini. Beliau pergi hanya sebatas jasad. Pola pikir yang cerdas, rasa nasionalisme yang tak perlu diragukan, keberanian yang pantang ditantang, serta semangat berbagi ilmu guna mencerdaskan anak bangsa, yang tumbuh dan berkembang di dalam jiwa Bung Hatta, yang kesemua itu sarat dengan ilmu dan iman tetap terngiang dan menjadi semangat baru untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini sesuai dengan Pancasila. Bung Hatta tak sekedar pahlawan dan legenda. Bung Hatta ‘bermetamorfosis’ dengan apa yang telah diperbuatnya, sehingga melahirkan pemikir-pemikir cerdas dan pekerja-pekerja keras yang bijak dan beriman, tapi dengan satu syarat, kesiapan sang ‘kepompong’ berubah menjadi ‘kupu-kupu’ (baca;generasi muda atau penerus) untuk melanjutkan perjuangan itu dengan situasi, musim, dan cara yang berbeda.

Perjuangan Bung Hatta, dari berbagai sumber, dimulai ketika ia berumur 15 tahun dan menjabat sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang, suatu perkumpulan pemuda yang sarat dengan pergerakan dan bercita-cita memerdekakan Tanah Air dari penjajahan kolonial. Pada tahun itu, 1916, perkumpulan pemuda yang lahir tak hanya Jong Sumatranen Bond, tetapi juga berkembang Jong Java, Jong Minahasa, dan Jong Ambon di nusantara dengan visi dan misi memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan negara. Bung Hatta dan rekan pemuda lainnya pun mencoba berbuat sesuatu untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bung Hatta belajar, menulis, dan terlibat pada banyak pertemuan, baik yang bertema sosial, politik, hukum, filsafat, ekonomi, dan sebagainya. Beliau menggali banyak pengetahuan, wawasan, dan membangun kerja sama serta diplomasi ulung tak hanya di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri. Semuanya ia pelajari dengan sungguh-sungguh. Tak lain dan tak bukan untuk membangun sebuah kekuatan guna mengalahkan dan mengusir penjajah dari tanah Ibu Pertiwi ini. Hasilnya, Bung Hatta serta tokoh-tokoh patriotik lainnya mewariskan kepada kita, sekarang ini, kehidupan yang sangat jauh lebih baik, lebih mulia, dan lebih bermartabat.

Kurang lebih selama 64 tahun Bung Hatta berjuang dan mengabdi kepada Bangsa dan Negara Indonesia. Selama itu pula ia, para pejuang, dan tentunya bangsa Indonesia, mengalami berbagai perlakuan tidak senonoh serta kesewenang-wenangan dari pemerintah kolonial Belanda yang menjajah dan berkuasa atas Indonesia. Peperangan, teror, intimidasi, saling bunuh dan saling tindas, serta tindakan yang tidak bermoral lainnya merupakan perlakuan-perlakuan wajar dan ‘makanan sehari-hari’ yang harus diterima dan ditelan oleh Bung Hatta dan pejuang-pejuang nusantara. Bung Hatta dan pejuang lainnya membutuhkan tidak sedikit tenaga, waktu, ide-ide brilian dan strategis guna membebaskan Tanah Air dari amukan, serangan, dan ganasnya penjajah. Hingga sekarang, ancaman akan keutuhan dan kesatuan Tanah Air Indonesia masih sering dihembuskan dari dan oleh berbagai pihak yang tidak menginginkan kedaulatan dan kemakmuran bangsa ini.

Dalam membela Tanah Air dari penjajahan kolonial, setiap pejuang tak bisa berjalan sendiri-sendiri. Para pejuang harus bekerja bersama-sama. Mereka datang dari berbagai latar belakang dan suku. Berbeda warna kulit, agama, adat-istiadat, dan pola pikir. Namun, semua itu tak lagi melahirkan perbedaan jika telah berhubungan dengan cita-cita merebut kemerdekaan bagi bangsa dan negara, sebagai tujuan bersama rakyat Indonesia. Membangun kekuatan yang jauh lebih kuat, solid, dan masif. Sesuai dengan peribahasa Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh. Mereka berorganisasi. Begitu juga dengan Bung Hatta.

Keikutsertaan Bung Hatta dalam sebuah atau beberapa organisasi pergerakan tentu saja dengan tujuan mewujudkan visi dan misi organisasi tersebut; merebut kemerdekaan dan membangun bangsa dan negara yang berdaulat. Organisasi merupakan satu-satunya cara mewujudkan cita-cita besar dan luhur. Dengan berorganisasi Bung Hatta beserta para pejuang lainnya, tak hanya memiliki kuantitas tenaga yang jauh lebih besar, namun juga memiliki berbagai pemikir dan pencetus pergerakan cerdas dan siap jiwa raga untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bertukar pikiran dan paradigma tentang segala sesuatu yang patut diperbincangkan. Berdiskusi dan melahirkan strategi-strategi jitu melawan penjajah kolonial, merupakan sesuatu yang harus dikerjakan setiap saat. Konsep organisasi ini pun sejalan dengan pendapat Tan Malaka (2008;4) bahwa aksi massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan politik mereka. Tak ketinggalan, Bung Hatta dan para pejuang, mengelola sebuah penerbitan atau media cetak (koran) yang melahirkan berbagai tulisan dengan topik-topik menarik seputar merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Media massa merupakan salah satu cara yang sangat potensial bagi peningkatan pergerakan perjuangan bangsa Indonesia.

Tak sampai di sana, pada masa kritis detik-detik memperoleh kemerdekaan bangsa Indonesia, perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang tak hanya berkutat di dalam negeri, tetapi juga harus ke luar negeri. Bung Hatta dan beberapa pejuang melakukan perjalanan ke beberapa negara di Asia, Belanda, dan kawasan lainnya. Bung Hatta belajar bagaimana taktik merebut kemerdekaan dan belajar berdiplomasi dengan para pembesar dunia, semisalnya orang-orang yang duduk di organisasi dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Beberapa kesempatan, Bung Hatta juga terdaftar sebagai pengurus organisasi di luar negeri, baik organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, politik, maupun ekonomi. Kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh Bung Hatta dengan baik. Ia banyak belajar, menulis, dan berbagi pengalaman serta ilmu dengan para pejuang, kaum cendikiawan di Tanah Air dengan tulisan-tulisan yang dikirimnya dari luar negeri.

Organisasi dan Generasi Muda

Pascakemerdekaan, memasuki Orde Lama, Orde Baru, hingga Era Reformasi sekarang serta adanya kebebasan berserikat yang dilindungi oleh undang-undang, kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia semakin banyak dihiasi oleh berbagai organisasi. Organisasi ini lahir dengan latar belakang dan tujuan yang beragam. Organisasi-organisai ini ada yang berafiliasi dengan pemerintah, tapi tidak sedikit pula yang berdiri sendiri digawangi, tentu saja, oleh putra-putri bangsa yang kreatif, inovatif, dan suka pekerja keras. Mereka memiliki visi dan misi mulia dibarengi jiwa idealisme tinggi. Konsepnya tak jauh berbeda, mewujudkan kehidupan yang lebih bermartabat dan sejahtera, tak sebatas memanusiakan manusia tapi justru memuliakan manusia itu sendiri. Organisasi ini tersebar di masyarakat dan di lembaga-lembaga formal negara, salah satunya di perguruan tinggi. Organisasi-organisai ini ada yang bergelut di ranah politik, hukum, sosial, gender, Hak Asasi Manusia, kajian ekonomi, tenaga kerja atau buruh, jurnalis, sejarah, dan bejibun bentuk organisasi lainnya.
Penyebaran organisasi tersebut memang masih banyak di kota besar di Tanah Air.

Kecenderungan ini tak terlepas dari awak-awak pengurus organisasi dan permasalahan kompleks yang harus mereka tangani, kebanyakan di kota-kota besar. Kondisi ini bertolak belakang dengan masyarakat yang berada di pinggiran kota, kecamatan, hingga desa, yang organisasi serupa masih sulit ditemukan, walaupun tak jarang ditemukan kasus serupa yang ditimpa masyarakat tersebut. Sebagai contoh, perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, gaji buruh yang tidak sesuai dengan perjanjian kontrak kerja, dan masih banyak ketimpangan lainnya. Tak sedikit jatuh korban karena kesewenang-wenang pihak yang tak bertanggung jawab serta lemahnya kemampuan korban atau pihak keluarga. Semua permasalahan ini tak akan terselesaikan oleh pemerintah, tak bermaksud meremehkan, jika tak ditopang oleh peran-peran lembaga organisasi sebagai mediasi sekaligus ‘juru selamat’. Organisasi, jika tak ingin melebihkan, menjadi langkah awal memperoleh kehidupan yang jauh lebih bermakna.

Menilik fenomena keinginan dan kebutuhan generasi muda saat ini untuk tergabung ke dalam organisasi-organisasi, yang tidak abal-abal tentunya, masih kurang menggembirakan. Keterlibatan generasi atau anak muda dalam sebuah lembaga cenderung lebih menyukai kepada hal-hal yang berbau kesenangan dan pragmatis. Hal ini sesuai dengan pengamatan di tempat penulis menimba ilmu, perguruan tinggi, ataupun beberapa berkaca pada tulisan di jurnal-jurnal dan media massa. Keterlibatan mahasiswa pada organisasi-organisasi di kampus tak sampai seperempat jumlah masiswa yang ada. Kebanyakan mahasiswa yang terlibat pun merupakan mahasiswa yang sudah terbiasa berorganisasi sebelum menjejak perguruan tinggi. Artinya, mahasiswa yang terlibat organisasi di kampus penulis, merupakan mahasiswa yang memiliki ‘gen’ atau keranjingan berorganisasi. Orang-orangnya, ya itu-itu saja.

Sementara sisanya, puluhan ribu mahasiswa, cukup puas terdaftar di kampus, belajar, dan sibuk mengurus diri sendiri. Hal ini menjadi pilihan mahasiswa dikarenakan sebagian besar waktu mahasiswa telah disita oleh kuliah dan beban-beban tugas dari dosen. Kesibukan kuliah acap kali menjadi pidato-pidato pledoi kebanyakan mahasiswa untuk enggan (tidak) bergabung dengan organisasi baik intra atau ekstra kampus. Mahasiswa capek dan kehabisan tenaga dengan berbagai tugas kuliah hingga waktu mengurus orang atau hal lain (berorganisasi) tak tersisa. Dalam konteks yang demikian, tak sedikit anggapan terhadap organisasi merupakan kegiatan buang-buang waktu dan sok peduli (care). Pengaruh globalisasi serta era yang serba digital, gaya hidup konsumtif, hedonisme, pergaulan bebas, yang tak lagi mengusung nilai-nilai luhur dan mulia, mengakibatkan rasa peduli, semangat nasionalisme, asas kejujuran, semakin menurun. Seharusnya perkembangan zaman disikapi dengan positif, sesuai dengan karakter, budaya, situasi nyata di negeri ini. Orang-orang menyebut perilaku ini sebagai perilaku banalisme, perilaku menyimpang. Anak muda semakin tak peduli, tak ambil tempat, serta masa bodoh terhadap lingkungan, masyarakat, bangsa bahkan diri mereka sendiri. Sebuah fenomena yang telah merajalela di masyarakat yang melanda anak muda, tak menutup kemungkinan bagi anak muda yang berpendidikan tinggi (perguruan tinggi).

Konstruksi Semangat Berorganisasi

Membangun jiwa agar suka dan betah berorganisasi memang tak mudah. Mereka-mereka yang tergabung dengan organisasi harus siap dan rela mengorbankan tak hanya waktu, tetapi juga tenaga, pikiran, dan materi. Kesiapan ini dituntut seiring banyak dan kompleksnya kegiatan organisasi yang harus diikuti. Awak-awak organisasi dalam lingkungan kampus lebih akrab dengan panggilan sebagai aktivis. Mereka aktif dengan organisasi, bergaul dengan banyak orang, memanajemen diri dengan baik tanpa mengorbankan studi selama di kampus. Mereka diasah berpikir cermat, tangkas, dan tepat dalam berbagai kondisi serta jenius mengambil keputusan tanpa mengorbankan hal lainnya. Sudah merupakan hal lumrah, ketika berorganisasi kurang mendapat dukungan baik dari teman, pacar, bahkan keluarga. Bagi mereka-mereka yang gigih dan paham dengan ‘jaminan’ yang diberikan oleh organisasi mencoba memberi pemahaman kepada yang menentang sehingga tetap lanjut berorganisasi.

Para aktivis ini sejak dini, awal kuliah, biasanya memiliki perencanaan atau grand design masa depan yang melangkah lebih jauh, besar, dan berbeda dari kebanyakan anak muda. Kehidupan sehari-hari mereka sibuk dengan kegiatan dalam dan luar kampus. Di sela-sela kegiatan itulah biasanya mereka mengerjakan tugas-tugas kuliah dan memperdalam ilmu di bidang atau jurusan masing-masing. Berat? Berat jika belum terbiasa dan luar biasa nikmatnya bagi mereka yang telah terbiasa. Hidup dengan penuh tekanan membuat seseorang jauh lebih cerdas dan tangguh ungkap salah seorang penulis fiksi kenamaan di daerah ini. Tentu saja dalam melakoni semua itu dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Berorganisasi tak hanya mendatangkan banyak teman dan relasi, namun ada sebuah ruang di relung jiwa, dengan berorganisasi, ruang itu akan penuh dengan kegembiraan, empati, kasih, dan patriotis pada sesama. Ini ‘jaminan’ yang didapat ketika terlibat dalam organisasi.

Berefleksi pada masa Bung Hatta berorganisasi, sungguh jauh lebih berat dan penuh dengan tantangan dan penindasan. Tak jarang organisasi mereka porak-poranda baik oleh sesama anggota maupun dari pihak luar. Pun demikian saat ini. Tak sedikit organisasi-organisasi, kebanyakan yang berdiri sendiri, diintervensi dan diteror oleh pihak-pihak yang menentang kegiatan organisasi tersebut. Bahkan ada yang memakan korban jiwa dari awak-awak organisasi. Belum lagi lembaga donor dari beberapa negera di luar negeri yang membantu organisasi namun memiliki kepentingan di balik semua bantuan tersebut. Apakah itu dalam bentuk data-data serta peta-peta keadaan dan arah perkembangan suatu negeri.

Hal senada juga kerap terjadi di lembaga pendidikan salah satunya dunia kampus. Keikutsertaan pihak kampus dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa memang tak menjadi masalah. Namun, jika keikutsertaan ini menyangkut kepentingan suatu kelompok apalagi bertentangan dengan idealisme organisasi, tentu kondisi ini sangat lah tidak sehat dan tidak fair. Organisasi kampus kerap ditunggani oleh suatu kelompok dan menjalankan apa-apa saja yang diinginkan oleh kelompok tersebut, apakah dari pihak di dalam kampus ataupun tidak. Para awak tak ubahnya seperti kacung yang distel dengan mudah oleh kepentingan tertentu. Tak hanya itu, kecenderungan anak muda yang serba instan dalam melakukan sesuatu, cuek atau apatis terhadap perkembangan di lingkungan tempat tinggal mereka semakin meningkat dan menimbulkan permasalahan baru dan berat. Mereka semakin tak peduli dengan keadaan bangsa dan negara yang kritis dan di ambang kehancuran. ‘Penyakit’ ini biasanya dengan mudah menyebar pada anak muda serta awak-awak organisasi jika tak dicarikan ‘obat’ yang termanjur.

Meskipun demikian, kondisi ini diharapkan tak akan mematahkan semangat generasi muda untuk selalu berpikir dan beraksi dengan cara membangun kerja sama atau berorganisasi. Kepentingan ideologi dan tentu saja pandangan terhadap politik sangat dibutuhkan untuk (kembali) membangun dan mengembang tanah Ibu Pertiwi. Anak muda harus dikembalikan perannya sebagai agen perubahan (agent of change) bangsa yang besar ini, begitu ungkapan kebanyakan orang tentang peran anak muda negeri. Menurut Mao Tse-Tung (2010;100), tokoh revolusioner Cina, anak muda yang cenderung apatis sebaiknya dikembalikan untuk lebih banyak belajar, selain memperlajari subjek belajar mereka, anak muda juga harus membuat kemajuan dalam wilayah politik, ideologi serta mengikuti peristiwa-peristiwa terkini. Bagi Mao, anak muda yang tidak memiliki pandangan politik yang benar dan terarah sama saja tidak memiliki jiwa. Sedemikian pentingnya sebuah ideologi, ideologi bersama dalam organisasi tentunya, sehingga tak dapat ditampik bahwa organisasi merupakan satu-satunya cara untuk dapat menaikkan harkat dan martabat banyak orang serta keadilan dan ketentraman bersama, karena dengan bersama kita akan lebih kuat dan berani.

Nah, meneladani bagaimana Bung Hatta berorganisasi dan tentu saja berpolitik pada masa perjuangan dulu sudah menjadi kewajiban, anak muda Tanah Air ini. Beliau, Bung Hatta serta para pejuang tak hanya mewariskan negara berdaulat dan kaya ini, tetapi warisan yang jauh lebih penting adalah karakter perjuangan dan kepribadian dari pendahulu bangsa. Harapan dan cita para pejuang, warisan ini tidak hanya dijaga dan dinikmati, namun dipertahankan dan dikembangkan untuk masa depan anak cucu sebagai pewarisnya. Kini, belum terlambat bagi anak muda, untuk ikut serta dalam percaturan politik dan arah perkembangan serta kemajuan Tanah Air dengan cara bergabung pada organisasi yang sesuai dengan harapan dan cita. Ketika terlibat dalam sebuah organisasi, berbaur dengan orang lain, merasakan pahit manis dan getar-getir kehidupan, serta melakukan sesuatu untuk mengangkat derajat dan harkat orang lain, secara tidak langsung pelaku organisai sudah mulai memperbaiki satu per satu permasalahan bangsa ini. Bukti kecintaan anak muda, rasa hormat, dan kebanggaan luar biasa pada Tanah Air dan para pendahulu bangsa ini adalah kepedulian pada sesama. Memang, kita tak bisa sekaligus menambal atau mengganti atap rumah yang bocor, kita harus melakukannya bertahap agar kegiatan keluarga di dalam rumah tetap berjalan dengan baik.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...