Skip to main content

Dieng, Awal Peradaban Nusantara


Judul : Mata Air Peradaban, Dua Millenium Wonosobo
Pengarang : H.A.Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tebal : xxvi + 546 halaman
Cetakan : Pertama, Agustus 2010
Harga : Rp 100.000,-



Selama ini kita mengetahui kebesaran bangsa ini sejak dahulu kala melalui kebesaran Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya, serta kerajaan-kerajaan lain yang mengisi buku sejarah bangsa ini. padahal sejarah Nusantara pertama kali dibangun dan ditemukan di sekitar Komplek Dieng yang dikenal dengan Peradaban Dieng, sebagai sumber sejarah bangsa ini. Dari sinilah, sejarah Tanah Air dimulai dan berkembang ke pelosok Nusantara. Namun tak banyak yang tahu tentang Peradaban Dieng, Wonosobo, suatu daerah pegunungan di bagian tengah Jawa Tengah. Penemuan historisnya membuat kita semakin bertanya-tanya, masih banyakkah rahasia atau bahkan pembohongan generasi tentang sejarah bangsa ini?
Penulis buku ini, H.A Kholic Arif, seorang jurnalis dan Otto Sukatno CR, penulis buku, merangkai data dan fakta yang telah ada kemudian menginterpretasi menjadi cerita histori yang apik dan penuh makna. Kedua penulis ini yang justru bukan sejarahwan, menjabarkan bagaimana Peradaban Dieng lahir, nilai-nilai kehidupan yang diusung, perkembangannya hingga menuju Kerajaan Majapahit serta kerajaan lainnya di Nusantara, kemudian ketenggelaman Peradaban Dieng di muka bumi ini.
Kedua penulis ini sepertinya ingin membuka mata kita, pembaca, tentang sejarah bangsa ini yang entah bagaimana bisa berubah, tidak sesuai dengan bukti-bukti peninggalan masa lalu. Hal ini diperkuat dengan pendapat (Alm) Gus Dur yang memberi pengantar pada buku ini, bahwa sejak abab ke-8 M dan 9 M, Wonosobo telah mulai didiami oleh orang-orang Hindu-Budha. Beberapa sumber pun menyebutkan Peradaban Dieng telah ada pada abad ke-6 M. Pada abad-abad berikutnya kawasan ini semakin diramaikan oleh orang-orang sebagai tempat berdirinya kerajaan mereka. Berbagai etnis yang datang ke Wonosobo, ada Cina Islam, Tionghoa, dan Hindu-Budha. Tentu saja mereka hidup penuh dengan berbagai problema, seperti peperangan memperebutkan perempuan cantik, peperangan membela Tanah Air atau kerajaan mereka, bahkan berperang melawan raja zalim yang berkuasa waktu itu.
Buku ini memang bercerita tentang Wonosobo sebagai pusat Peradaban Dieng. Kedua penulis ini merunut sedemikian rinci apa-apa saja yang terjadi di Jawa Tengah pada abad ke-1 versi Raffles. Wangsa-wangsa, terutama wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra, yang berkuasa serta turunan mereka yang menguasai selanjutnya di Bumi Nusantara pada waktu itu, juga tak ketinggalan menjadi perhatian utama penulis untuk pembaca.
Tak sampai di sana, masyarakat dan pemerintahan Wonosobo pada perkembangannya masa itu, juga banyak dipengaruhi oleh budaya dan agama orang-orang Mesir dan Yunani. Berbagai patung dewa-dewi dengan mudah ditemui di kawasan Dieng ini. Sistem religius dan sistem pemerintahan waktu itu memang lebih banyak kepada animisme dan dinamisme. Dunia mitos dan pemikiran mistis pun memenuhi sistem kemasyarakatan di Dieng.
Selain pembahasan panjang tentang kehidupan masyarakat waktu itu, mulai dari mata uang, kekeluargaan, benda-benda filateli, pajak anjing, menuman keras, dan hal-hal menarik lainnya waktu itu di Dieng. Buku ini juga dilengkapi dengan lampiran-lampiran undang-undang dasar negara, peraturan pemerintah, administrasi kantor-kantor di Wonosobo atau di Dieng yang berangka tahun 1950-an. Sangat menarik dan menambah pemahaman pembaca tentang Peradaban Dieng serta Wonosobo.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...