Skip to main content

Belajar Diundang Jauh



Berturut-turut setelah ujian akhir skripsi, saya diundang untuk mengikuti berbagai kegiatan. Tentu saja kegiatan positif yang mencerahkan. Hal-hal yang menyemangati karena berjumpa orang-orang yang merasa perlu berbincang kemudian menculik sedikit ilmu di antara kita. Saya mengalami hal itu beberapa hari lalu.

Sesampai di Bukitting, seseorang berpakaian rapi menegur dan menyalami saya. “Adek Risma Dedees ya?” katanya. Saya kaget, mengangguk dengan senyum disungging ke arahnya. Kemudian cerita berjalan ke arah tulisan-tulisan saya yang tidak seberapa itu. Senang dan merasa bersalah. Senang karena tentu saja baru diapresiasi oleh salah satu pembaca yang pernah membaca tulisan saya di media massa. Bersalah, karena tulisan itu mungkin tidak begitu atau sebanyak penulis lain yang disuguhkan kepada pembaca. Tulisan saya, mungkin tidak sedahsyat tulisan oleh penulis lain. Saya tentu saja tak mau menyesatkan pembaca saya. Saya kira pembaca mengerti apa maksud saya ini.

Beberapa acara diikuti dengan santai. Namun di lain waktu, saya merasa kikuk. Saya bukan apa-apa. Sama seperti lainnya, tengah belajar menulis. Tapi kenapa orang-orang memandang begitu hebat. Kata hebat ini bisa jadi narsis saya yang subjektif, atau bisa saya lebay dengan ini. Tapi, sungguh saya belum nyaman dengan situasi seperti itu. Sungguh.

Tiba-tiba seorang pelajar dengan rapi menghadang saya. “Kak, bagaimana bisa menjadi penulis hebat, kakak? ” katanya. Oh saya tercekat. Saya malu pada diri sendiri. Sungguh saya bukan apa-apa. Saya diteror pada acara itu. Pernah memang mengalami hal yang mirip, tapi bukan soal ini. “Kakak hanya mencoba meluangkan waktu lebih banyak di depan laptop,” akhirnya saya menjawab. Terserah apakah itu membaca dan menulis di laptop. Atau bahkan hanya ngegames atau menonton seharian. Maafkan saya. Saya belum siap dengan itu semua.

Saya masih banyak belajar. Belajar bagaimana bertemu dengan orang baru dan asing. Belajar berjumpa senior di kampus dan di Taman Budaya Padang. Belajar berbicara dengan para profesor, kandidat doktor, atau sarjana muda yang selalu ramah di pustaka kampus. Belajar menghadapi Ibu dan kakak di rumah nun jauh di sana. Belajar bergaul sehari-hari dengan kakak dan adik-adik di kost-kosan. Serta berlajar berkomunikasi arif dan menyenangkan dengan orang yang pernah menganggap saya kekasih. Benar saya masih belajar.

Pun ketika berada di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Penyair besar dan sering membuat saya tercekat itu, ketika berada di dekatnya saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanya seorang pengagum yang jika tak dikendalikan akan mati sia-sia. Pengagum rak-rak bukunya. Pengagum kerapiannya. Pengagum taman yang dibangun oleh istrinya. Dan saya pengagum perpaduan tanah Gunung Merapi, Gunung Singgalang, dan Gunung Tandikek di tempat itu. Tentu saja saya lebih banyak melihat-lihat dan menyimak. Kata-kata saya bukanlah peluru atau anak panah yang ketika lepas dari busurnya akan terbang kian kemari dan memporak-porandakan apa saja yang disinggungnya. Bukan itu.

Seorang Adek Risma Dedees, hanya seorang gadis dengan mudah terkagum-kagum dengan apa-apa yang mungkin biasa orang lain lihat. Tak banyak yang harus didapat dan dituai dari diri ini. Saya belajar terasing dan diundang jauh dari biasanya. Dengan begitu, ternyata saya masih belum apa-apa. Kepada pembaca tulisan ini, saya mohon maaf jika membuat sesuatu di dalam diri menjadi tidak nyaman.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Gangnam Style dalam Perspektif Konstruksi Identitas

KETIKA Britney Spears diajari berGangnam Style ria oleh Psy, sedetik kemudian tarian menunggang kuda ini menjadi tren baru dan memecah rekor baru di YouTube. Guinness World Records menganugerahi sebagai video yang paling banyak dilihat yakni 200 juta kali dalam tiga bulan. Sebuah pencapaian yang tak diduga sebelumnya, begitu kira-kira kata Dan Barrett. Park Jae Sang pun mendapat nama dan melimpah job baik di Asia maupun di Amerika Serikat. Google dengan jejaring luasnya bercerita jika horse dance ini adalah sindiran kepada anak muda Korea yang tergila-gila memperganteng, mempercantik, memperlangsing, dan mempertirus tubuh dan wajah sebagai ‘syarat utama’ penampilan dan pergaulan di negeri itu. Tak ketinggalan juga mengkritik gaya hidup yang cenderung high class serta selalu mengejar kesempurnaan. Di kawasan elit Gangnam inilah anak muda dan masyarakat Korea bertemu dengan rumah-rumah bedah, salon kecantikan, serta starbuck-starbuck ala Korea. Psy mengkritik –mungkin tepatnya mela...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...