Skip to main content

Jangan Pandang Remeh Arsip




Arsip tidak hanya dibutuhkan untuk menjawab tanya atasan. Bukan juga hanya berumur lima tahun, setelah itu bisa begitu saja dibuang, dibakar, atau dijual di pasar loak. Arsip mengandung nilai-nilai sejarah dan budaya yang tiada tara. Keberadaan dan tata aturan arsip pun mampu merefleksikan budaya serta kemajuan suatu bangsa baik atau tidak. “Semakin bagus pengaturan arsip suatu bangsa semakin maju pula bangsa tersebut,” jelas Suryadi, sebagai pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komunitas Padang Membaca (KPM) di Museum Adityawarman, Padang, Minggu (17/7) lalu.
Bagi Suryadi, dosen dan peneliti di Leiden University Institute for Area Studies (LIAS) di Leiden, Belanda ini, salah satu kelemahan masyarakat Sumatera Barat dan Indonesia secara umum adalah masih memandang arsip sebagai benda mati yang tiada fungsinya. Arsip dipandang hanya sebagai tumpukan kertas dan barang lainnya yang akan memenuhi ruangan. Begitu juga dengan orang-orang yang bekerja di lembaga kearsipan, arsip masih menjadi barang biasa-biasa saja. “Padahal melalui arsiplah suatu bangsa dapat direkonstruksi sesuai keinginan masyarakatnya. Karena di Leiden, orang juga mengarsipkan CD, VCD, koran, majalah, dan sebagainya sebagai sumber ilmu,” ungkap alumnus Jurusan Sastra Daerah Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau Universitas Andalas ini kepada sekitar 50 peserta diskusi.
Selain pentingnya budaya mengarsipkan, Suryadi juga menegaskan betapa pentingnya membaca yang kemudian diikuti dengan budaya menulis. Membaca masih menjadi sesuatu yang belum akrab pada masyarakat Indonesia, pun masyarakat Sumbar atau kota Padang. Bagi Suryadi, budaya membaca, menulis, mengarsipkan merupakan budaya yang jauh lebih penting untuk masa depan bangsa ini. “Apa yang akan kita wariskan atau berikan kepada anak cucu kelak jika generasi sekarang malam membaca, menulis, apalagi mengarsipkan segala sesuatunya? Hal ini jauh sekali berbeda dengan negeri Belanda sana,” jelas Suryadi.
Diskusi ini juga diselingi dengan musikalisasi puisi oleh Teater Nan Tumpah. Beberapa anggota KPM juga mewakafkan buku koleksi pribadi untuk disalurkan kepada taman-taman bacaan yang menjadi relasi KPM di Sumatera Barat dan kota Padang. Diskusi ini tak hanya dihadiri oleh para pecinta buku dari mahasiswa atau pelajar, namun juga oleh sastrawan dan penulis seperi Darman Moenir, Hasril Chaniago, para dosen, para guru, serta pihak lainnya. KPM sebagai penyelenggara juga bekerja sama dengan toko-toko buku di kota Padang, pihak-pihak donatur, serta sastrawan atau para penulis yang membantu kegiatan komunitas yang diketuai oleh Yusrizal KW ini.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...

Gilby Mohammad