Skip to main content

Komunitas, Perkumpulan, dan Asosiasi

Keinginan dan kebutuhan akan berkumpul, sejak memasuki era reformasi, semakin banyak dan subur bak cendawan di musim hujan. Apalagi, kebebasan akan berkumpul atau berkomunitas ini dijamin oleh pemerintah di dalam undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semakin banyaklah orang-orang berkumpul, mendirikan suatu lembaga, dan menjalankan semacam visi misi sesuai dengan cita-cita perkumpulan mereka.

Keinginan dan kebutuhan akan berkumpul kemudian membentuk suatu nama, apakah namanya komunitas, asosiasi, grup, persatuan, dan sederatan nama lainnya, cukup marak berkembang di masyarakat kota Padang ini. Beragam perkumpulan, mulai dari perkumpulan para pedagang, perkumpulan jurnalis, perkumpulan pecinta motor, perkumpulan pemerhati sastra, perkumpulan pemerhati pendidikan, perkumpulan pecinta makanan, dan ratusan bahkan ribuan perkumpulan lainnya yang tak bisa disebutkan. Kota Padang pun dipenuhi dengan berbagai perkumpulan, sebagai simbol, nuansa dialektika kita tak pernah padam.

Memasuki era digital ini, tingkat perkumpulan semakin melebar, tak hanya pada dunia nyata namun di dunia maya juga demikian. Sebut saja pada jejaring sosial Facebook, blog-blog, situs-situs, dan lainnya. Bahkan perkumpulan ini semakin masif dan memiliki banyak anggota di belahan bumi lainnya. Tak harus bertatap muka langsung, melalui berbagai fitur yang tersedia di dunia maya, hal itu bukanlah hambatan. Fantastik dan sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Di balik banyaknya perkumpulan yang muncul, sejauh mana perkumpulan-perkumpulan tersebut berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di kota Padang? Dan bagaimana jika seseorang atau suatu kampung tidak memiliki dan tergabung di dalam satu perkumpulan?

Kebutuhan akan perkumpulan tentu sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat. Perkumpulan yang beranggotakan banyak orang itu dinilai lebih efektif dan kuat dalam menyuarakan pendapat dan kebutuhan untuk kehidupan lebih bermartabat. Melalui perkumpulan pula, seperti yang sudah-sudah, dapat melakukan pembelaan (advokasi) terhadap masalah yang sedang dialami. Dengan perkumpulan diharapkan mampu memperoleh keadilan kehidupan yang semakin terciderai ini.

Walaupun demikian, perjalanan perkumpulan yang tumbuh hampir setara dengan semakin meredup bahkan terkuburnya suatu perkumpulan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Tapi, kebanyaan faktor internal di dalam perkumpulan yang tak dapat diatasi oleh para awak perkumpulan. Semangat membentuk perkumpulan sangat besar dan menggebu-gebu. Namun setelah perkumpulan dibentuk, setelah berjalan beberapa minggu atau bulan, semangat itu mulai pudar dan berakhir tragis, para awak pergi dan perkumpulan tinggal nama.

Hal ini banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Penyebab utamanya, belum adanya niat yang kokoh serta visi misi yang jelas dalam menjalankan perkumpulan tersebut. Memang pada hari-hari pertama, perkumpulan akan diramaikan oleh para anggota yang waktu itu benar-benar ingin mewujudkan cita-cita yang diidamkan. Seiring waktu, tak asing, jika perkumpulan tersebut hanya diisi oleh orang-orang yang menjabat sebagai ketua, wakil ketua, dan sekretaris semata. Sedangkan anggota sibuk dengan kegiatan masing-masing bahkan kabur tanpa meninggalkan pesan.

Kendala lainnya adalah sumber dana dalam menjalankan roda perkumpulan. Ketersediaan dana kerap membuat perkumpulan berjalan mandek dan tak terarah. Bagaimanapun juga, ketersediaan dana merupakan faktor pertama yang jika tak dipenuhi mampu memicu keadaan kepada instabilitas, tak tenang bahkan kacau. Dalam mensiasati hal ini kerap pula para anggota dan pengurus merogoh kocek masing-masing untuk keberlangsungan perkumpulan tersebut. Awalnya tentu berat. Namun seiring waktu, perkumpulan yang ditangani dengan cermat dan serius tentu lebih mandiri dan tak lagi membebani pengurus secara finansial.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...