Skip to main content

Petualangan Lain di Jurnalistik


Judul : Mencari Tepi Langit
Penulis : Fauzan Mukrim
Penerbit : Gagas Media
Genre : Novel
Tebal : viii + 284 halaman
Cetakan : Pertama 2010
Harga : Rp 37.000,-
Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP


Jika selama ini kita banyak membaca karya sastra yang ceritanya bergelut pada titik percintaan, adat, perang, agama, maupun filsafat, mungkin takkan membosankan ketika menyelami karya sastra, novel, dengan sedikit pergeseran ke arah lain, dunia jurnalistik atau kewartawanan. Tak banyak memang, karya fiktif yang mengangkat persoalan utama di dalam cerita tersebut berkutat dengan dunia media cetak atau pers. Di Tanah Air pun karya serupa masih tergolong jarang ditemukan yang bisa dinikmati oleh ‘penggila novel’.
Dunia jurnalistik, tak jauh berbeda dengan bidang lainnya, memiliki keunikan dan keasyikan tersendiri di dalamnya. Pun ketakenakan dan kesewenang-wenangan kerap membayangi awak-awak yang bergiat di lembaga tersebut. Semua hambatan itu tentu bisa dicarikan solusinya, apakah dengan cara-cara beradab ataupun ‘konyol’ dengan menertawai nasib sendiri. Di dunia nyata hal tersebut lumrah, tetapi bagaimana jika dunia kewartawan digarap dengan fiktif dan style bercerita yang berbeda dengan novel lainnya? Hal inilah yang dilakukan oleh Firman Mukrim, lelaki kelahiran Sulawesi Selatan dengan riwayat hidup jurnalis.
Novel Mencari Tepi Langit mengisahkan kehidupan dua jurnalis muda dengan berbagai pengalaman liputan di daerah bencana dan tempat lainnya. Tak hanya itu, pencarian siapa sebenarnya Horizon Santi, gadis adopsi keluarga ber-ada di Ibu Kota, juga menyemarakkan cerita ini plus gelora-gelora cinta dari sang jurnalis yang kadang tengik minta ampun. Memang, pembaca akan lebih banyak disuguhi dengan cerita pengalaman liputan tokoh utama, Senja Utama Senantiasa kepada teman perempuannya.
Buku bersampul daun ditimpa mentari ini pada hakikatnya menyampaikan pesan kepada pembaca, bahwa kehidupan seseorang akan bergantung dan berpengaruh kepada orang lain, baik langsung ataupun tidak. Pengarang menganalogikan dengan teori turbulensi dan menyontohkan jika kepak sayap kupu-kupu di Kirgistan dapat menyebabkan badai di Pantura. Lebay? Pembaca akan segera tahu dengan menyimak novel tersebut.
Novel jurnalistik dengan gaya bahasa popular ini menyajikan dua cerita dengan latar dan tokoh yang berbeda. Pengalaman liputan menghadapi GAM di Aceh, kriminal dan teroris di kota-kota besar Tanah Air, kuliner di tempat-tempat wisata, serta lainnya menambah warna bacaan pembaca tentang dunia jurnalistik yang mungkin tidak mudah dipahami. Pada beberapa bab, penulis sengaja menyisipkan guyonan-guyonan ala jurnalis di tempat ia bekerja dengan melibatkan etnis-etnis di nusantara. Suku, agama, ras, dan antargolongan cukup dimaknai sebagai kepanjang dari SARA. Jadi, tak ada pembicaraan yang sensitif dan sakit hati jika nama-nama jurnalis itu diganti begitu saja, tulis penulis.
Novel ini selain menarik dibaca oleh ‘penggila novel’ juga akan menambah ‘pengalaman fiktif’ bagi jurnalis sendiri dimanapun berada. Buku ini tak hanya sebatas hiburan, tetapi juga sebagai salah satu cara pembuka diri, jika tak ingin dikatakan curhat, bagi (sebagian) jurnalis kepada publik, kalau pekerjaan yang dilakukan menjanjikan resiko yang tidak kecil yakni keselamatan hidup. Dengan latar beragam di Nusantara, pembaca juga diperkenalkan dengan istilah-istilah daerah di beberapa tempat yang masih asing. Sangat menginpirasi dan selamat membaca.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...