Skip to main content

Gus Dur

Ia telah wafat akhir tahun lalu. Kesedihan yang mendalam melanda bangsa ini. Bapak bangsa yang dibanggakan, diagungkan, sekaligus menggelitik, telah berpulang ke haribaan-Nya. Ia pemimpin yang meninggalkan jejak dalam, tidak hanya untuk golongan namun juga untuk nasional.
Latar belakang pesantren mengantarkannya sebagai pemikir umat yang beda dari kebanyakan. Tokoh civil society ini ditakdirkan sebagai pendidik, pemikir, dan penulis ide-ide bernas, cemerleng, sekaligus ‘liar’. Penggodokan dari pesantren, yang sarat islami, tidak membuatnya stagnan di sana. Namun, seiring waktu, pemikirannya berkembang merambah ke arah demokrasi, hak-hak asasi, problem mayoritas-minoritas, pluralisme, serta pemerintahan dan kedudukan agama-agama dalam kehidupan dunia. Begitu kompleks dan itu didalami dengan baik olehnya.
Perjalanan hidup Gus Dur dari Pesantren Tebuireng hingga kursi kepresidenan berjalan tidak begitu mulus. Keterlibatan penuhnya di NU juga mendapat sorotan yang tidak sedikit. Hal ini penting, mengingat selama tiga periode, 15 tahun, ia menduduki pucuk pimpinan NU dan menghembuskan napas-napas baru ke dalam organisasi ini. Napas-napas baru yang ia hembuskan tidak selamanya di setujui oleh petinggi-petinggi NU. Seperti pada tahun 1987, masa jabatan pertama, ia berani mengusulkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi”. Alhasil ia pun menuai kritik tajam dari pihak-pihak tertentu.
Pelan-pelan Gus Dur merangkak ke ranah politik dengan membentuk forum Demokrasi, pembentukan PKB, dan lebih luas memberikan akses kepada generasi muda untuk memasuki dunia politik. Walaupun PKB didominasi oleh orang-orang NU, namun Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang. Berkoalisi dengan Amien Rais, Megawati, dan Sultan Hamengkubuwono X, Gus Dur pun mampu menggapai kursi kepresidenan dalam Pemilu 1999. Walau masa jabatan itu singkat dan berakhir sedikit sad ending, bukan berarti Gus Dur tidak berbuat apa-apa.
Selama masa jabatannya, gaya hidup dan gaya pemikiran Gus Dur banyak membawa perubahan dan perkembangan ke arah yang lebih sedikit ‘santai’ dan prosais, tidak lagi sakral dalam formalitas yang meng-agonia. Ia menampilkan gaya yang mampu menyulap pemikiran orang-orang di sekitarnya, bahkan masyarakat luas dengan pameo politik ‘gitu aja kok repot’. Kalimat ini menarasikan bahwa politik itu tidak harus dilaksanakan dengan gaya citra agung dan mulia. Namun di sisi lain Gus Dur mencoba menyerukan bahwa politik harus diketahui, dipahami, dan boleh dilakukan oleh setiap lapisan masyarakat. Tidak lagi terbatas pada kalangan elit dan beruang.
Gus Dur tampil dengan perilaku dan kepribadian apa adanya. Ia maju tanpa menjadikan dirinya sebagai orang yang harus dibanggakan dan disanjung. Justru pada akhirnya inilah yang membuat orang-orang menyanjung dan membanggakan Gus Dur. Citra yang ia bangun sedemikian apik, elok, dan berciri khas tersendiri. Hal ini justru membuat suasana politik negeri ini mudah dipahami, tetap mengandung kecerdasan sekaligus populis.
Sayang, ia dipanggil ketika bangsa ini masih dalam pesakitan yang akut. Dan justru kita masih sangat membutuhkan buah pikirannya. Ikhlaskan saja dan selamat jalan Gus Dur.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Gilby Mohammad

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...