Tanah Air kembali berduka dengan kepergian KH. Zaenuddin MZ, dai sejuta umat yang amat dicintai di negeri ini. Beliau pergi untuk selama-lamanya setelah serangan jantung yang dideritanya. Persis dengan sastrawan dan budayawan Wisran Hadi yang meninggal beberapa minggu lalu. Dai ini juga menderita yang sama.
Kepergian Dai ini cukup mengagetkan dan membuatku sedih. Kaget karena tak disangka sebelumnya, bahwa Dai yang luar biasa ini, energik, dan selalu menghibur jemaahnya dengan kotbah-kotbah memiliki riwayat penyakit jantung. Seperti yang diketahui bersama, penyakit ini sudah menjadi pembunuh nomor satu di negeri ini. Penyakit jantung pun menjadi penyakit yang populer di tengah-tengah masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan.
Sedih, ya siapa yang tak sedih ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintai, walaupun secara langsung saya belum pernah bertemu dengan beliau. Merasa kehilangan dan nelangsa, ketika mendengar Dai ini tutup usia karena serangan jantung. Sedikit cerita tentang Dai ini. Ketika menjalani pendidikan di perguruan tinggi negeri di kota Padang, Sumatera Barat, yang kental dengan nuansa Islaminya, kotbah-kotbah Dai semakin saya minati. Hampir empat tahun dan hampir setiap sore menjelang Maghrib kami, saya beserta teman-teman di kos menyimak kultum-kultum KH. Zaenuddin MZ melalui radio.Berbagai kebajikan dan teladan dari Rasulullah Saw dan para sahabat yang dapat kita ambil hikmahnya yang disampaikan oleh sang Dai. Dengan suaranya yang khas dan gaya berkotbah yang unik, saya merasakan ada kenyamanan, ketentraman, dan sangat terhibur dengan kultum beliau.
Kami mendengarkan kultum itu hanya tujuh hingga sepuluh menit sebelum azan Maghrib bergumandang di kota ini. Sesekali Dai menyisipkan kelucuan di antara kultum-kultumnya. Setiap kelucuan tentu saja diikuti dengan suara gelak tawa para jemaah, cukup khas, dengan suara-suara jemaah laki-laki muda. Beliau tak merasa terganggu. Saya berpikir, beliau memang memiliki konsep, menyampaikan kebajikan dan keteladanan di dalam ajaran agama sebaiknya tidak memberatkan para jemaah yang akan memikulnya. Saya membuat kesimpulan seperti ini bukan tanpa alasan. Alasannya, ketika para jemaah merasa terhibur dengan kultum-kultum beliau, secara tak sadar jemaah akan selalu mengingat kebajikan itu dalam kehidupannya sehari-hari. Jika telah diingat, Insyaallah akan lebih mudah melakukannya.
KH. Zaenuddin MZ melakukan itu semua penuh dengan perhitungan yang matang, saya yakin itu. Hal ini bisa dilihat dari setiap hari, pengikutnya semakin banyak. Orang-orang yang berguru dan menjadi jemaahnya ribuan bahkan jutaan umat. Sehingga tak heran beliau digelari sebagai Dai Sejuta Umat, luar biasa. Gelar yang tak mudah diperoleh oleh para dai dan ustadz-ustadz di negeri ini. Ini bukti kalau beliau sangat dicintai dan dibanggakan oleh anak bangsa dimana beliau lahir, tumbuh, kemudian wafat.
Sejak kecil, Abak (almarhum), ayah saya, kerap memberikan pengetahuan melalui kaset atau VCD yang memuat kultum-kultum seperti KH. Zaenuddin MZ, Aa Gym, UJe, dan sebagainya. VCD-VCD itu kerap diputar di ruang tengah (TV) menjelang salat Maghrib. Apalagi memasuki bulan suci Ramadan. Rumah kami akan diramaikan dengan suara-suara kultum serta tak ketinggalan nyanyian-nyanyian rohani, untuk ini Amak lebih banyak mendapat tempat. Amak sangat menyukai lagu-lagu qasidah dan nuansa Timur Tengah, gambus. Kami, para anak merupakan pendengar sejati.
Perlakuan seperti ini yang saya dapatkan dari kedua orang tua menyebabkan saya sangat menyukai pidato-pidato agama. Cukup menarik, saya tumbuh menjadi anak yang cukup pintar berpidato, baik di sekolah-sekolah maupun di dalam masjid. Ini masa lalu yang sangat Abak dan Amak banggakan dari saya. Setiap tahun, saya pasti ikut serta memberikan kultum kepada para jemaah salat Tarawih di masjid pada bulan suci Ramadan. Setelah kepergiaan Abak, saya gamang melanjutkannya. Namun, Amak tetap mendukung.
KH. Zaenuddin MZ, bagi saya guru berpidato yang sangat hebat. Walaupun, sekali lagi, saya tak pernah bersua secara langsung beliau dan memang beliau pasti tak kenal saya. Namun, melalui VCD dan menonton di TV saya banyak belajar bagaimana berpidato yang baik dan mencerdaskan pendengar. Sekarang beliau telah tiada, sama seperti Abak dan Pak Wis. Saya merasakan kehilangan sosok ayah untuk kesekian kalinya. Tetapi angin siang ini akan berhembus ke setiap penjuru dan kehidupan memang harus dilanjutkan, meskipun tak lagi ditemani oleh orang-orang hebat seperti Abak, Pak Wis, dan KH. Zaenuddin MZ. Selamat jalan kepada para sang teladan.
Kepergian Dai ini cukup mengagetkan dan membuatku sedih. Kaget karena tak disangka sebelumnya, bahwa Dai yang luar biasa ini, energik, dan selalu menghibur jemaahnya dengan kotbah-kotbah memiliki riwayat penyakit jantung. Seperti yang diketahui bersama, penyakit ini sudah menjadi pembunuh nomor satu di negeri ini. Penyakit jantung pun menjadi penyakit yang populer di tengah-tengah masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan.
Sedih, ya siapa yang tak sedih ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintai, walaupun secara langsung saya belum pernah bertemu dengan beliau. Merasa kehilangan dan nelangsa, ketika mendengar Dai ini tutup usia karena serangan jantung. Sedikit cerita tentang Dai ini. Ketika menjalani pendidikan di perguruan tinggi negeri di kota Padang, Sumatera Barat, yang kental dengan nuansa Islaminya, kotbah-kotbah Dai semakin saya minati. Hampir empat tahun dan hampir setiap sore menjelang Maghrib kami, saya beserta teman-teman di kos menyimak kultum-kultum KH. Zaenuddin MZ melalui radio.Berbagai kebajikan dan teladan dari Rasulullah Saw dan para sahabat yang dapat kita ambil hikmahnya yang disampaikan oleh sang Dai. Dengan suaranya yang khas dan gaya berkotbah yang unik, saya merasakan ada kenyamanan, ketentraman, dan sangat terhibur dengan kultum beliau.
Kami mendengarkan kultum itu hanya tujuh hingga sepuluh menit sebelum azan Maghrib bergumandang di kota ini. Sesekali Dai menyisipkan kelucuan di antara kultum-kultumnya. Setiap kelucuan tentu saja diikuti dengan suara gelak tawa para jemaah, cukup khas, dengan suara-suara jemaah laki-laki muda. Beliau tak merasa terganggu. Saya berpikir, beliau memang memiliki konsep, menyampaikan kebajikan dan keteladanan di dalam ajaran agama sebaiknya tidak memberatkan para jemaah yang akan memikulnya. Saya membuat kesimpulan seperti ini bukan tanpa alasan. Alasannya, ketika para jemaah merasa terhibur dengan kultum-kultum beliau, secara tak sadar jemaah akan selalu mengingat kebajikan itu dalam kehidupannya sehari-hari. Jika telah diingat, Insyaallah akan lebih mudah melakukannya.
KH. Zaenuddin MZ melakukan itu semua penuh dengan perhitungan yang matang, saya yakin itu. Hal ini bisa dilihat dari setiap hari, pengikutnya semakin banyak. Orang-orang yang berguru dan menjadi jemaahnya ribuan bahkan jutaan umat. Sehingga tak heran beliau digelari sebagai Dai Sejuta Umat, luar biasa. Gelar yang tak mudah diperoleh oleh para dai dan ustadz-ustadz di negeri ini. Ini bukti kalau beliau sangat dicintai dan dibanggakan oleh anak bangsa dimana beliau lahir, tumbuh, kemudian wafat.
Sejak kecil, Abak (almarhum), ayah saya, kerap memberikan pengetahuan melalui kaset atau VCD yang memuat kultum-kultum seperti KH. Zaenuddin MZ, Aa Gym, UJe, dan sebagainya. VCD-VCD itu kerap diputar di ruang tengah (TV) menjelang salat Maghrib. Apalagi memasuki bulan suci Ramadan. Rumah kami akan diramaikan dengan suara-suara kultum serta tak ketinggalan nyanyian-nyanyian rohani, untuk ini Amak lebih banyak mendapat tempat. Amak sangat menyukai lagu-lagu qasidah dan nuansa Timur Tengah, gambus. Kami, para anak merupakan pendengar sejati.
Perlakuan seperti ini yang saya dapatkan dari kedua orang tua menyebabkan saya sangat menyukai pidato-pidato agama. Cukup menarik, saya tumbuh menjadi anak yang cukup pintar berpidato, baik di sekolah-sekolah maupun di dalam masjid. Ini masa lalu yang sangat Abak dan Amak banggakan dari saya. Setiap tahun, saya pasti ikut serta memberikan kultum kepada para jemaah salat Tarawih di masjid pada bulan suci Ramadan. Setelah kepergiaan Abak, saya gamang melanjutkannya. Namun, Amak tetap mendukung.
KH. Zaenuddin MZ, bagi saya guru berpidato yang sangat hebat. Walaupun, sekali lagi, saya tak pernah bersua secara langsung beliau dan memang beliau pasti tak kenal saya. Namun, melalui VCD dan menonton di TV saya banyak belajar bagaimana berpidato yang baik dan mencerdaskan pendengar. Sekarang beliau telah tiada, sama seperti Abak dan Pak Wis. Saya merasakan kehilangan sosok ayah untuk kesekian kalinya. Tetapi angin siang ini akan berhembus ke setiap penjuru dan kehidupan memang harus dilanjutkan, meskipun tak lagi ditemani oleh orang-orang hebat seperti Abak, Pak Wis, dan KH. Zaenuddin MZ. Selamat jalan kepada para sang teladan.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^