“Sikap masa bodoh hanya akan membuat diri kita bodoh dan tak berarti apa-apa.
Sikap ini jauhkan dari diri kalian. Kalian anak cerdas yang punya masa depan jauh lebih
baik daripada Bapak. Ingat selalu kebaikan-kebaikan orang tua yang sekarang di sawah,
di pasar, dan dimana saja. Tak ada alasan bagi kita, anak-anakku, untuk membuat
mereka sedih dan kecewa.” Begitulah sepenggal ceramah dari guru kelasku sewaktu di
SD dulu. Ceramah ini akan selalu beliau berikan kepada kami, murid-muridnya,
sebelum sekolah bubar.
Beliau adalah Pak Wama. Guru muda dengan perawakan tinggi semampai,
rambut hitam lurus, kulit sawo matang, khas orang khatulistiwa, namun telah beristri.
Hingga sekarang aku masih gelap, Pak Wama tamatan sekolah tinggi mana. Namun,
sekitar 11 tahun lalu, beliau menurutku adalah guru tercerdas serta baik hati yang
pernah ku’miliki’ di sekolah. Beliau berbeda dari guru lainnya. Cara beliau menegur,
mengajar, terbahak, dan tersenyum, adalah hal luar biasa bagiku dan bagi masa depanku
saat ini.
Pak Wama merupakan putra pribumi dimana aku dan orang tua merantau. Aku
yang dibesarkan di salah satu kawasan transmigrasi di provinsi Bengkulu, sudah
terbiasa hidup berbaur dengan suku lain. Di sekeliling tempat tinggalku ada beberapa
suku bangsa, yakni Minang, Batak, Jawa, dan penduduk asli di sana. Penduduk asli ini
berada di perbatasan provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat. Secara administrasi
mereka berada di provinsi Bengkulu, namun bahasa yang mereka gunakan bercampur.
Pun demikian dengan budaya mereka.
Pada waktu itu, perbedaan latar belakang budaya dan negeri asal menjadi
penting. Penting ketika orang tua mengurus KTP. Penting ketika keluarga menginduk
ke kaum mana. Penting ketika mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah apa. Di
tengah masyarakat yang beragam, heterogen, kampung tempat tinggalku berubah
menjadi kampung yang tidak hanya ramai, tetapi jauh lebih maju dari kampung
induk, kampung dimana dominan dihuni penduduk asli setempat. Perbedaan ini
menimbulkan ‘strata’ sosial yang tidak kumengerti waktu itu.
Aku yang dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga pedagang bersekolah di SDN
58. Dua orang temanku, yang orang tuanya petani dan penambal ban, juga bersekolah
di sana. SDN 58 menjadi SD satu-satunya bagi anak pedagang, petani, dan buruh,
namun tidak untuk anak guru dan putra pribumi. Di SD ini siswa-siswinya kebanyakan
dipenuhi oleh anak-anak petani transmigrasi, biasanya dari Jawa, serta anak-anak
pedagang rantau, dari Minang dan Batak. Hanya hitungan jari SDN 58 memiliki anak
didik dari masyarakat pribumi. Orang tua anak pribumi ini mungkin ketinggalan berita
kampung. Dan Pak Wama tampil di antara kami. Beliau mengajarkan mengenal huruf,
mengeja, membaca, dan berhitung kepada setiap anak dari Jawa, Minang, dan Batak,
tentu juga putra pribumi.
Pak Wama pada waktu itu tidak egois. Kupikir bisa saja beliau tidak mengajar
di SDN 58 dan pindah ke SD sebelah, yang kebanyakan dipenuhi oleh para guru dan
anak didik dari kampungnya sendiri. Di SD itu tampaknya beliau bisa lebih leluasa dan
tak perlu banyak trik untuk mengajar putra putri yang sebuyut dengan beliau. Beliau
bisa saja menggunakan bahasa asli daerah itu untuk mengajar dan membuat anak
didik beliau mudah mengerti pelajaran. Pun demikian dengan para guru yang kurasa
bertetangga dengan Pak Wama. Interaksi antarguru akan jauh lebih mudah dan lancar.
Sehingga Pak Wama tak perlu pusing dan semaput menghadapi aku dan teman-teman
ketika tiba-tiba sibuk dengan perangai serta bahasa kami masing-masing, yang mungkin
aneh di telinga beliau.
Namun, Pak Wama tak melakukan semua itu. Beliau memilih SDN 58 sebagai
tempat mengabdi. Beliau memutuskan diri untuk berjumpa denganku dan temanteman
dari budaya dan negeri asal yang berbeda. Beliau mengorbankan banyak waktu
untuk mendidikku dan teman-teman dengan cara beliau sendiri. Tak perlu neko-neko.
Tak perlu sangsi akan kemampuan sendiri. Toh, pada akhirnya Pak Wama mampu
menikmati kebersamaan denganku dan teman-teman.
Pak Wama menjadi guru kelasku. Beliau mengajarkan berbagai pelajaran, selain
mata pelajaran agama Islam dan kesenian. Untuk dua mata pelajaran ini, diajarkan
langsung oleh Pak Abu. Guru senior dari Pak Wama ini kerap menegur ulahku di kelas.
Pak Abu di mataku tidak semenarik Pak Wama ketika mengajar. Mungkin beliau capek
menghadapi anak-anak SD yang tidak hanya susah diatur, tetapi juga bau amis. Karena
itu pula mungkin Pak Abu tidak memilih menjadi guru kelas. Beliau menjadi penjaga
sekolah dan hanya memegang dua mata pelajaran di SD ku dulu.
Seingatku, waktu SD hingga kelas tiga, aku hanya memiliki empat mata
pelajaran. Ada Bahasa Indonesia, Matematika, Agama Islam, dan Kesenian. Sedangkan
menginjak kelas empat hingga kelas enam, mata pelajaranku pun bertambah. Kalau
tidak salah aku dan teman-teman juga dibekali dengan mata pelajaran PMP, IPA,
IPS, Olahraga, dan tentu tak ketinggalan mata pelajaran terdahulu. Nah, semua mata
pelajaran dari kelas empat hingga kelas enam ini, diajarkan langsung oleh Pak Wama.
“Pak Wama benar-benar hebat,” pikirku dari balik meja waktu itu.
Aku pun semakin kagum dan hormat kepada beliau, Pak Wama. Kepintaran
beliau memotivasiku agar pada suatu hari kelak, aku pun bisa seperti beliau. Berdiri di
depan banyak anak, menyampaikan pelajaran dengan suara teratur, berjalan hilir mudik
menghampiri meja para siswa, dan sekali-sekali diselingi senyum dan tawa. Aku dan
teman-teman sangat menikmati ketika belajar dengan Pak Wama. Ada-ada saja yang
disampaikan Pak Wama agar kami selalu memperhatikan setiap ujaran yang beliau
keluarkan.
Jika salah satu temanku mengantuk ketika jam pelajaran, dengan sabar Pak
Wama menghampiri temanku, mengusap bahunya dan mempersilahkan temanku keluar
untuk mencuci muka. Jika mata pelajaran PMP, IPA, atau IPS, beliau kerap menyuruh
kami membacakan materi dari buku panduan, membetulkan bacaan kami yang salah,
dan kadang menertawai bacaan cadel yang dibuat-buat siswa.
“Ucaha-ucaha (aslinya usaha-usaha) apa?” kata Pak Wama menirukan ucapan
teman yang lidahnya keseleo ketika membaca.
Kontan saja seisi kelas juga ikut tertawa. Namun, aku dan teman-teman tidak
marah kepada beliau. Paling-paling teman yang diledeki memberengut dan melanjutkan
bahan bacaannya. Aku dan teman-teman tahu dan paham bagaimana Pak Wama dalam
keseharian bersama kami. Beliau tak pernah marah dengan kasar. Teguran yang beliau
sampaikan, bukan membuat kami meradang justru membuat kami malu dan merasa
bersalah. Di sinilah letak keistimewaan guru SD ku ini.
Ketika aku dan teman-teman menginjak kelas enam, artinya bulan-bulan terakhir
kami di sekolah itu, Pak Wama semakin dekat dengan kami. Seperti kebanyakan
sekolah, sekolahku juga memberlakukan kelas tambahan pada siang hingga sore hari.
Biasanya kelas ini dimulai pada Senin hingga Kamis. Selepas sekolah pagi, aku dan
teman-teman kembali bersemangat ke sekolah dengan jarak hampir mencapai 1,5 km
dari kampung kami. Sedangkan Pak Wama harus menempuh jarak 2 km dari rumahnya
ke SDN 58 yang letaknya di pelosok kampung. Kadang beliau menempuh jarak itu
dengan bersepeda, dan tak jarang pula berjalan kaki.
Dari sini, pikiranku kembali berkata-kata. Pak Wama setelah sekian tahun
mengabdi ke SDN 58, tampaknya beliau tak pernah jenuh dan bad mood menghadapi
aku dan teman-teman, baik pada pagi hari maupun pada siang hingga sore hari. Kadang
kala, pada sekolah sore, beliau juga mengikutsertakan anak sulung beliau, seingatku
namanya Yoga. Yoga kadang didudukkan di atas meja, atau sengaja diajak bermain
keluar oleh murid lain yang tidak sekolah sore. Pada jam istirahat, aku dan temanteman
bergantian menggendong Yoga yang pada waktu itu usianya sekitar tiga tahun.
Sekarang, mungkin bocah laki-laki itu telah menginjak masa paling indah di SMA.
Hampir disetiap kesempatan Pak Wama selalu memberi nasehat-nasehat.
Nasehat dari beliau jauh berbeda dari nasehat yang diberikan oleh guru-guru lain di SD
ku. Pak Wama, di mataku sangat menentang cita-citaku dan mungkin juga kebanyakan
cita-cita temanku serta orang tua kami. Pak Wama mewanti-wanti agar jika kelak kami
dewasa dan bisa menentukan jalan hidup sendiri, janganlah sekali-sekali memimpikan
menjadi pegawai negeri. Janganlah memimpikan menjadi dirinya yang terikat profesi
sebagai guru.
“Mandirilah anak muridku! Jangan berharap besar pada pegawai negeri, jika
kelak kau tak ingin menyesal,” ungkap Pak Wama di suatu sore sebelum kelas bubar.
Aku terheran-heran. Kenapa kami dilarang menjadi seperti Pak Wama? Padahal
beliau sendiri memilih menjadi guru, dan sungguh, hingga sekarang aku tak tahu,
apakah Pak Wama seorang pegawai negeri sipil atau bagaimana. Yang jelas, kata-kata
beliau, ‘Buang jauh-jauh memimpikan pegawai negeri’ sudah mewakili kalau beliau
berada dalam kehidupan yang pelik. Mungkin pelik secara keuangan, dan juga pelik
secara kebijakan, dalam hal ini relasi antara atasan dan bawahan.
Aku dan teman-teman yang berlatar belakang dari keluarga pedagang,
petani, dan buruh, entah mengapa, kerap menjadi pujian. Beberapa kali Pak Wama
membanggakan para orang tua kami yang bertahan hidup dengan tidak menjadi ‘anak
buah’ negara atau menggantungkan hidup dari pendapatan negara. Pak Wama pun
kerap mengambil salah satu orang tua kami sebagai contoh yang perlu diteladani kelak.
Teladani semangat mereka, teladani keberanian mereka, dan teladani cara kerja mereka
yang mandiri.
“Bapak Tutri wiraswasta kan? Selain uangnya banyak, juga tak perlu kerja
seharian seperti Bapak ini,” ujar Pak Wama mencontohkan pekerjaan orang tua dari
Tutri, salah satu temanku.
“Kalian, anak-anakku akan memiliki kehidupan jauh lebih bebas, mandiri,
tak diatur-atur orang jika mampu berwiraswasta. Mau ini ayo! Mau itu ayo! Maka
belajarlah yang rajin dan bagus. Cari ilmu sebanyak-banyaknya. Jika telah banyak
ilmu, kita yang akan ciptakan lapangan kerja. Mulai sekarang, tegakkan kepalamu
Nak, berlarilah yang kencang. Jangan seperti Bapak ini,” ungkap Pak Wama dengan
semangat berapi-api.
Biasanya, aku dan teman-teman hanya terdiam dan terpana-pana. Apa benar
orang tua kami yang pedagang, petani, serta buruh itu jauh lebih hebat dari guru? Apa
benar orang tua kami yang kurang perhatian atas sekolah kami itu jauh lebih cerdas
dari para pegawai negeri di kampung ini? Apa benar? Pertanyaan-pertanyaan ini kerap
menghinggapi benakku. Dan jika terlampau banyak Pak Wama berceramah perihal
pegawai negeri, tidak sedikit pula dari kami diam, belum dan mungkin tak mengerti.
Begitulah Pak Wama. Terserah. Apakah anak didiknya mengerti, setengah
mengerti, atau bahkan belum mengerti apa yang beliau utarakan tentang hidup mandiri,
tak ambil pusing. Dalam pikiranku, waktu itu sepertinya Pak Wama menanamkan
sebuah dogma ke dalam kepalaku dan teman-teman perihal jangan mau jadi orang
gajian. Walaupun beliau merupakan salah satu dari golongan tersebut, tampaknya beliau
tak ingin apa yang beliau rasakan juga terjadi pada anak didik beliau kelaknya.
Dogma ini sepertinya singgah pada diriku, setidaknya hingga SMA lalu. Ketika
teman-temanku membicarakan cita-cita, seiring dengan jurusan dan kampus mana yang
akan dimasuki selepas SMA, dominan mereka memilih jurusan keguruan. Tak lain
dan tak bukan karena tenaga guru sangat amat banyak dibutuhkan oleh bangsa ini ke
depan. Sayup-sayup suara dan seraut wajah Pak Wama membayangiku ketika memilihmilih
jurusan apa yang akan diambil ketika kuliah kelak. Ketika teman-teman lebih
banyak memutuskan memasuki keguruan, akhirnya aku berani memutuskan mengambil
sastra. Jurusan yang notabene jauh melenceng dari apa yang kuharapkan, teman-teman
harapkan, dan mungkin Pak Wama harapkan. Tak apa. Akan kujalani dengan semangat
yang tidak sedikit pun surut.
Itulah Pak Wama. Guru muda yang menjadi idolaku hingga sekarang. Walaupun
selepas SD, ketika aku memasuki SMP, SMA, dan bahkan kuliah di kota lain, tak
sampai lima kali aku berjumpa beliau. Namun, Pak Wama menjadi satu-satunya guru
yang tak bisa kulupakan dengan mudah. Tak jarang, ketika aku membuat email, salah
satu pertanyaan kunci tentang guru favorit, nama Pak Wama selalu menghiasi jawaban
pertanyaan itu. Aku bangga sekaligus puas.
Sosok Pak Wama berkesan di hatiku, mungkin juga dikarenakan ada kemiripan
karakter dengan mendiang Ayah yang telah tiada. Ayah yang menjadi sosok inspirasiku
dengan karakternya yang kuat, konsisten, dan mandiri, kadang terlihat juga pada diri
Pak Wama. Imbauan-imbauan Pak Wama agar tak menjadi orang gajian, acap kali
dilontarkan mendiang Ayah kepadaku dulu. Agar aku dan saudara-saudaraku mandiri,
merupakan bahan utama perbincangan di tengah makan malam keluarga. Agar aku dan
saudara-saudaraku menjadi orang yang mampu menciptakan lapangan kerja buat orang
lain, juga topik hangat yang tak habis-habisnya dibincangkan mendiang Ayah. Aku pun
tumbuh dengan karakter sedikit liberal dan lebih berani.
Demikianlah cerita tentang Pak Wama, the unforgetable teacher of my life.
Beliau, sekarang mulai senja dengan beberapa orang putra putri yang menginjak remaja.
Kehidupan beliau yang sederhana dan apa adanya menjadi teladan tersendiri bagiku.
Aku senang menulis cerita ini. Ada sesuatu yang kembali bersemi di dalam sanubari,
yakni masa kanak-kanakku yang penuh makna dan cerita. Dan Pak Wama adalah salah
seorang yang menyaksikan bagaimana aku tumbuh dan berkembang. Jika ada waktu,
ingin sekali aku mengirimkan cerita ini kepada beliau yang sangat kuhormati. Akhir
kata, terima kasih guruku Pak Wama.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^