Skip to main content

Aku dan Witer Bercerita Tentang Kutu di Bibir Saun




Awalnya, tak pernah terpikirkan akan secepat ini. Apa-apa yang diinginkan tentu saja harus dengan kerja keras yang bercucuran keringat. Jika tidak di badan, maka di otak keringat itu akan bercucuran. Itu harus, karena sukses adalah 10+1. Artinya, engkau harus sakit setelah banyak bekerja atau berusaha, barulah berhak menerima imbalan sesuai dari usaha dan sakit ini. Tentu saja, teori ini bukan penulis yang merumuskannya, tapi Mbah Mario Teguh yang super duper serta luar biasa.

Suatu senja di awal musim hujan di kota ini, ketika menguakkan pintu kamar kos, seonggok netbok terbungkus plastik putih, enak saja tidur di kasur lusuh itu. Kebetulan, kamar kos ini juga baru untuk aku dan Saun. Sejurus kuperhatikan, tentu saja sangat baru dan aneh. Kok bisa? Ya bisa, buktinya ada, tidak absurd seperti yang aku dan Saun dengung-dengungkan selama ini tentang janji-janji dan alamat-alamat palsu. Soal janji dan alamat palsu itu, tak perlulah dibahas dalam cerita baru ini. Cukup aku, Saun, dan Tuhan yang alami.

Karena piranti ini berada di dalam kamar kami, maka segeralah aku membuka, lahan demi perlahan. Takut kalau-kalau meledak dan menggosongkan kedua sisi muka yang sudah berantakan. Saun, tentu saja tak berani menyentuh barang ini. Dia menyerahkan segalanya padaku. Dasar cemen! Ucapku padanya yang hanya telentang itu. Dan, benar saja. Sebuah netbok lengkap dengan tagihan perbulan yang akan disetor. Gila! Masa aku -kali ini tidak kami lagi, karena Saun parasit padaku- dirayu berutang, dan, aku tersenyum simpul, seperti tengah ditaksir. Benar-benar gila! Jualan macam apa ini?

Ya, kami tidak bisa menolak begitu saja. Karena memang, kami masih membutuhkan satu teman lagi di kamar ini. Aku dan Saun, akan sangat garing dalam menghabiskan malam-malam. Karena aku, seharian tidak di kosan. Makanya, ketika Saun tahu ada teman baru, cepat-cepat ia memeriksa dan menyunggingkan senyum penuh sensi. Maknanya, bahwa aku harus menerima dengan lapang dada, jika tidak, Saun gila ini akan menceburkan diri ke dalam sumur tua di sebelah kamar kami. Aku pun merangkul piranti ini dengan darah berhenti mengalir, karena terbayang nominal rupiah yang akan disetor dengan nama 'Dana Sosial'.

Ya sudahlah, aku menerima, walau rasanya seperti kehilangan harga diri. Dan secepat kilat dan petir menyambar, Saun memberi nama piranti ini yakni Witer. Terpaksalah aku memanggilnya Witer dan harus lebih banyak dipangku. Karena begitu cara memakainya. Jika tidak, ia akan mematahkan lehermu dan membuat jumlah lemak katarak semakin ramai di matamu. Percayalah!

Sebagai partner, kami memperlakukannya profesional. Saun dan aku memperlakukannya bak pelengkap yang harus sedia setiap saat. Hanya dengan satu syarat, asupan gizi harus dipenuhi setiap hari. Tenang saja, soal ini kami tak punya kendala apa-apa. Bahkan bisa dikatakan lebih, jika hanya untuk urusan sejengkal perut.

Saun dan aku menemani Witer hampir setiap malam dan jam-jam kosong di kantor. Tak pandang bulu, ini kerja teman, dan dunia yang sangat amat nyata, kau harus tahu diri dan diri orang lain. Ungkapan ini, hanya sebagai reminder, karena Saun telah berteriak-teriak pada Witer perihal ini.

Dan ternyata banyak benar manfaatnya. Witer tak banyak perangai. Ia tentu saja, tak beda jauh dengan teman-teman kotaknya, harus patuh padaku dan pada Saun. Karena bagi dua makluk ini, urusan perut adalah segalanya. Mereka benar-benar primitif dan sepertinya kurang cocok dijadikan sebagai team work. Saya tak ambil pusing. Yang penting mereka selalu baik hati dan sedia menemani saya beristirahat dan bercengkerama tentang apa saja. Sungguh susah melepaskan diri dari hutang piutang ini.

Apa boleh buat, saya telah berjanji pada Saun dan Witer, jika tak lunas-lunas juga dalam tempo 10 tahun, mereka berdualah sebagai tebusan dan melengkapi kepercayaan diri.

'Si Witer, kau harus tahu, bahwa kau bersama aku dan Saun akan melewati hari-hari sulit di Tanah Java ini. Ingat itu!'

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he