'Hai Ken, darimanakah ilham kisah tak bersudut ini bermula?'
Sepanjang jalan lingkar kota ini, kau kenalkan aku pada Saun yang dulu kau ceritakan. Waktu itu, hampir setiap malam kau berkisah akan diri, spiritual, dan bunga-bunga layu. Apapun itu, bagimu akan lebih mudah jika dilihat dengan mata menyala dan penuh harap. Karena yang demikian akan jauh lebih menenangkan dan menghibur kelana.
Waktu itu, kau bercerita tentang masa remaja. Dan waktu itu, sang ayah masih setia menemani. Di tengah kota metropolitan kau tumbuh bersama Saun dan rerumputan beton. Hingga kau mengira, kalau masa depan adalah hari-hari yang dilalui bersama karib dan keluarga. Selebihnya, adalah milik para penguasa beton dan suara itu. Dan kau sebagai bocah waktu itu, tak dibiarkan melihat banyak dari semestinya.
Kemudian, tiba-tiba ayah tercintamu mangkat dalam usia yang sangat muda sebagai kepala keluarga dan pria teladan. Kau pun menjadi kepala keluarga dengan modal mental dan materi yang tidak pas-pasan. Kurang malah. Namun, kau tak bisa menampik. Pekerjaanmu yang banyak bergulat di tengah ibu kota memahatmu menjadi laki-laki kuat seperti Hulk. Akan tetapi kau penuh dengan sentimentil asmara. Kau sangat tidak laki-laki jika berjodoh dengan yang satu ini. Buktinya kau cukup 'mati rasa' dalam beberapa waktu. Bagimu, kekasih atau jodoh tak sebanding dengan kelahiran serta kematian, yang kata orang sudah garis tangan.
Kau pun membuktikan hal itu. Ternyata memang iya. Jodoh atau kekasih hanya bisa kaudapatakan jika kau berusaha menggaetnya. Sedangkan kelahiran dan kematian tentu dengan hipotesa berbeda untuk memperoleh atau mendapatinya. Detik per detik kau terus mengayuh roda kehidupan. Hingga mampir ke berbagai kota di Bumi Ibu Pertiwi, kau tak pernah lelah.
Dengan alur yang sangat panjang, berbelit-belit, maju mundur, serta campur tak karuan, kau akhirnya menghantarkan aku pada jalan lingkar yang kerap kau ceritakan dulu. Jalan lingkar yang memudahkan kau berkelana di tengah rimba kota ini. Dijamin sayang, kau takkan tersesat. Dan takkan ada lelaki brengsek atau perempuan culas yang menipumu di kota ini. Sedangkan jalan lingkar ini adalah pintu rahmat dan keadilan bagi orang-orang yang gemar bermurah hati ini. Posisimu adalah objek yang masuk dari pintu itu, dan kamu adalah sumber rahmat bagi mereka. Kau mengerti apa yang aku katakan bukan? Begitu kau kerap mengingatkanku pada jalan lingkar yang bersih dan berkelok-kelok ini.
Acap pula, ketika pulang mengadu nasib seharian di kampung jauh, kau memboncengku berputar-putar jalan lingkar. Di sepanjang jalan, kau perkenalkan padaku garmen-garmen, rumah sakit, sekolah, terminal, hotel, dan studio musik sebagai bangunan yang menyaksikan perjalanan kita. Baik malam maupun siang, kerap kau sebutkan satu-satu bangunan itu padaku. Dan sialnya, selalu saja aku lupa bahwa kau telah membisikkan seribu kali perihal itu. Namun, tentu saja kau tak pernah bosan. Karena kau memang tidak pembosan, apalagi pada hujan yang kerap, baik kau dan aku, hadiahkan sebagai curahan jiwa pada perjalanan hidup yang mungkin tidak akan panjang dan tidak selalu mengundang tawa.
Begitulah. Kadang, hanya dengan melihat rambutmu yang belum disampo, aku terhenyak. Kadang, hanya dengan melihat kau begitu lelah di dalam tidur, aku tercekat. Kadang, hanya dengan melihat kau dengan matamu yang berkantung karena begadang, aku meringis. Henyak, cekat, dan ringis ini cepat sekali mengundang sejuta alasan untuk kita saling menitikkan air mata dan enggan untuk bercakap banyak. Betapa bodohnya kita waktu itu kan? Seperti remaja yang tengah dilanda api asmara membara saja, dan tiba-tiba mereka dipisahkan oleh orang tua yang pindah bekerja.
Dan, sekarang kau kembali membawaku berkeliling jalan lingkar di sore hari. Bau aspal yang sedikit amis karena disiram hujan sesaat, ikut serta menambah warna dari perjalanan ini. Kau kadang tak peduli dengan bau amis itu, karena makna terbesar bagimu adalah bagaimana aku nyaman di boncenganmu hingga magrib menjelang. Selebihnya hanyalah khayalanku yang bejibun. Begitu katamu.
Memang, kadang kau sangat puitis dan sangat Gibranis. Apapun akan kau ubah menjadi makna lebih dengan kata-kata sederhana. Itu membuatku menjadi tidak tenang dan kerap tersimpul geli. Karena, ternyata kau sangat 70-an dan aku sangat 2000-an. Ah itu hanya keterangan waktu yang tak perlu kau perdebatkan. Begitu katamu perihal batasan usia itu.
Ya, namanya orang sedang dilanda virus merah jambu, baik 70-an maupun 2000-an, sepertinya sama saja. Tak jadi soal dan tak perlu membuang waktu untuk hal kecil itu.
Setelah kau hantarkan aku berkeliling jalan lingkar, dengan nada berat aku harus menerima kau pulangkan ke rumah, yang kadang sangat membuatku gerah. Entah kenapa. Akan tetapi, cepat-cepat kau membujukku dengan sepotong kata, seulas senyuman, dan seberkas harapan akan hari esok yang lebih cerah, panjang, dan penuh warna. Aku langsung percaya. Karena hanya dengan percaya aku dapat menatap hari esok dengan tidak kembali gamang serta berkeliling jalan lingkar seperti yang kerap kau suguhkan padaku.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^