Skip to main content

Dan Semua Bintang Berseru Nakal




Malam itu kau membelikan aku boneka Shaun, tidak yang gembrot itu, sedanglah ukurannya untuk pelukanku yang mungil. Tentu aku tertawa-tawa senang memeluknya. "Andai aku yang jadi Shaun, bakal seru nih," katamu waktu itu. Dasar pacar jelek, jawabku dengan sebal dibuat-buat. Kita pun makan malam di tempat biasa. Itu, angkringan yang super ramai dengan dinding ditempeli kalimat perintah 'Mohon Bayar Dimuka'. Setiap kami makan malam di angkringan itu, pacar saya yang super jelek tadi, mengusili mba-mba yang menghitung harga makan kami. "Mana mukanya mba, sini tak tempelin duit," katanya sambil terkekeh. Si mba-mba pun tak dapat menyurukkan muka merah padamnya di malam temaran itu.

Begitulah, walau namanya angkringan, engkau akan berjumpa banyak orang, baik masyarakat pribumi maupun anak-anak muda perantauan, ya seperti kami. Tak sedikit pula si londo-londo yang belajar makan masakan Jawa yang super manis pedas di sana. Semuanya berbaur di bawah temaran lampu neon kekuningan. Satu-satunya sudut dimana kau dapat memandang tanpa rasa takut adalah teve usang 17 in yang selalu menayangkan gambar-gambar bergerak. Selebihnya adalah para orang dewasa yang sedang makan, minum, berbincang, tertawa atau pun bermain gaplek dengan beragam minuman panas mengelilingi mereka.

Aku dan pacarku menempati kursi kayu panjang tak jauh dari teve usang itu. Duduk berhadapan dan saling menyantap makanan masing-masing. Sesekali suapan kami diikuti dengan perbincangan seputar hari tadi dan akan dilakukan esok hari. Tak jarang pula kami berdebat pendapat tentang suatu hal yang menurutku atau baginya sepele. Ya, apalagi kerjaan kami ketika berjumpa selain berdebat dan kekeuh dengan pendapat masing-masing. Namun, semua harus usai, karena kejanggalan itu membuat kesal dan tidak enak.

Di kota ini, kau akan menemukan tidak hanya beragam manusia, namun juga budaya malam hari yang bisa penuh dengan kenakalan, dan juga bisa penuh hukum-hukum positif lainnya. Di sini kau akan menemukan setiap malam adalah malam minggu, kata pacarku dengan pedenya. Apa iya? Jawabku. Saksikan saja sendiri. Setiap malam kita mengeliling kota ini, apakah kau melihat kesunyian dan ke-sepi-an? Tidak bukan? Jawabmu sendiri. Kota ini memang selalu ramai. Apalagi di pusat-pusat keramaian dan jalan-jalan perempatan. Jika kau ke kota ini, dari pagi ke pagi, coba kau berdiri di kawasan Nol Kilometer, perempatan jalan, salah satunya Jalan Malioboro yang sangat fenomenal itu.

Di ujung jalan itu, tepatnya Jalan A. Yani, sangat amat diramaikan oleh pengunjung. Orang-orang tidak takut duduk-duduk di pinggir jalan, berfoto ria dan berburu foto di bibir jalan ini. Dan sepertinya, tragedi Suzuki Xenia yang menelan 9 korban jiwa di trotoar Jakarta itu tidak berlaku di kota ini. Semua serba sibuk dengan urusan wisata masing-masing. Dan jangan kau heran dengan para pramuwisma yang mereka juga heran melihat sikapmu nanti yang sangat ceria melihat keramaian unik itu. Mereka, para pramuwisma itu, juga akan menemanimu duduk-duduk di tempat-tempat santai terbuat dari beton di sekitar kawasan sini. Coba saja nanti ya.

Dan jika senja tiba, dan kau masih duduk di sana, kau akan menyaksikan puluhan ribu burung gereja terbang di atas kawasan ini. Arah Timur dari kawasan ini adalah Istana Presiden yang berpagar besi. Kau hanya bisa melihat dari seberang jalan. Di depan bangunan tua dan besar ini tertancap pohon-pohon besar tempat bersarangnya burung-burung tadi. Sore itu kau akan menyaksikan para burung ini urban ke tengah-tengah kota setelah sekian jam mereka terbang dan hinggap di mana-mana. Suara mereka cukup mengalahkan bisingnya kendaraan yang lalu lalang di depanmu.

Di tengah kota yang penuh dengan bangunan tua ini, kau seolah-olah berada pada zaman sewaktu kota ini dibangun. Kau tahu kantor Bank BNI? Jika kau singgah di sini, usahakanlah memotret dirimu di bangunan tua dan eksotis ini. Percayalah, dari kajauhan gedung ini seolah-olah mewakili para menir Holand yang pernah berkunjung atau berkuasa di kota ini.

Dan ketika malam perlahan merangkak menghampiri kaki-kakimu, maka bertengadahlah, di layar jagat raya Andromeda itu akan kau lihat betapa bintang-bintang juga tak ingin melewatkan keramaian dan kesempurnaan malam di kawasan Nol Kilometer itu. Percayalah padaku, jika kau kesini, kau akan menyaksikan hal itu dengan sempurna. Galaksi terbesar ini menyuguhkan pemandangan langit malam membentang dengan luar biasa. "Hal semacam ini yang menguatkan kalau setiap malam di kota ini adalah malam minggu, jelek," kata pacarku yang jelek tadi. Memang ia sengaja menekankan kata jelek kapadaku. Itu telah menjadi panggilan yang kurang kusuka, namun akrab di telingku.

Cerita ini memang jauh melenceng dari judul yang kugoreskan. Acap kali aku memberi judul tulisan tidak sesuai dengan isi yang disampaikan. Ya, itulah aku. Kegalauan dan ketakjelasan masih saja membayangi. Bersama bintang yang juga kerap kupandangi lama-lama, membuatku hilang akal dan kendali. Dan semua bintang berseru nakal adalah kata-kata yang kuselipkan tidak sengaja di hatimu.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...