Skip to main content

Pada Gadis Kecil dan Rintik Hujan di Pagi Buta (1)




Mungkin ia tak punya teman di rumah, atau sang ibu tidak mempercayakan gadis kecilnya di rumah sendirian. Oleh karena, dibawalah gadis mungil itu berkeliling desa berjualan sate tusuk. Bukan tak peduli pada kesehatannya sehingga rintik-rintik gerimis ini, gadis kecilnya tetap sedia berjalan, sesekali melompat dan berlari kecil di depan sang ibu yang tengah menjunjung sate-sate tusuk dan perlengkapan jualan lainnya.

Rambut yang dikepang dua berpita kuning muda itu ikut pula meloncat-loncat ketika ia meloncat dan berlari kecil menghindari genangan air bekas hujan tadi sore. Sembari memainkan kancing jaketnya, ia pun berkata-kata, entah bernyanyi, entah bercerita. Yang jelas tampaknya gadis kecil ini tak rewel pada ibunya yang tengah berjualan keliling sate tusuk itu. Sesekali ia pun ditanyai oleh langganan ibunya. Sudah makan belom? Tadi di sekolah buat gambar apa aja? Si gadis kecil, mungkin malu, dan mungkin lebih sibuk dengan kancing jaketnya, ia tetap saja berkata-kata, entah bernyanyi, entah bercerita, tak menghiraukan tanya tadi.

Ibunya hanya tersenyum, dan gantian menjawab pertanyaan pelanggan. Kalau di sekolah tadi, gadis kecil menggambar kupu-kupu, makhluk kesukaannya. Wah pintar, balas ibu penanya sembari mengecup pipinya yang penuh.

Berjualan pun keliling diteruskan. Sang ibu terlebih dahulu menggulung kain yang akan dijadikan alas kepala untuk menjunjung nampan besar berisi sate tusuk. Kemudian merapikan sarung di pinggang dan jilbabnya. Ia pun membawa nampan besar itu ke kepala dan menjinjing satu keranjang di tangan kirinya yang berisi bangku kecil. Bangku ini ia gunakan ketika meladeni pembeli sebagai tempat duduknya. Dan gadis kecil masih saja sibuk dengan kancing jaketnya.

Kedua ibu dan anak ini pun berjalan menyusuri jalan kampung dan hilang di kegelapan. Hati saya mulai berkata-kata. Seperti biasa, ia kadang sok tahu dan sok suci dari saya sendiri. Ia mulai mengaitkan-ngaitkan perihal ibu muda dan gadis kecil itu dengan kehidupan saya. Bagaimana jika saya adalah ibu muda itu? Saya yang punya suami pemalas hingga bekerja larut malam begini dengan anak sebagai kawan berjualan. Bagaimana? Bagaimana? Saya benar-benar kesal. Ia pun mulai menyusun kalimat demi kalimat dan menancapkan di pikiran saya tentang hidup dan kehidupan perempuan di tengah semakin majunya zaman dan peradaban. Bermacam-macam. Mulai dari nikah muda, punya anak muda, kawin cerai, kawin siri, kawin lari. Pikiran saya pun mulai tak sehat, segala kawin dibahas hanya karena melihat ibu muda dan gadis kecil tadi.

Saya kesal sekali jika diajak berpikir aneh-aneh begitu oleh hati dan pikiran saya. Hendak rasanya saya menampar mereka dan menceburkannya ke dalam bak mandi atau membawanya ke dalam masjid untuk dirukiyah. Ada-ada saja. Malam-malam begini ngomongin segala kawin dan emansipasi. Ah saya malas. Saya capek. Saya lapar. Benar-benar gila mereka berdua itu. Saya tinggalkan mereka dengan kesal dan mulai menyendok nasi dan menyeruput teh anget racikan ibu baik di pertigaan jalan ini. Bodoh! Sergah saya pada mereka.

30 menit kemudian,

Benar saja, hati dan pikiranku kembali meraung-raung tak tentu arah. Mereka meracau agar aku memikirkan dan memahami ibu muda dan gadis kecil itu. Mereka adalah korban dari zaman yang tidak selalu akrab dan baik hati kawan, kata hatiku perlahan. Ia mulai meracuni, gumamku. Mereka adalah subyek yang menjadi obyek dari budaya yang sangat patriarki di lingkungan dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Sekali lagi, mereka adalah kekejaman dunia dan tingginya hasrat yang membara. Sekalipun mereka memang mendapatkan cinta yang besar dan sekalipun mereka tetap ingin mati di tanah yang patriarki itu.

Namun, kau di sana, kata pikiranku mulai mengada-ada, bahwa kau sejak setahun lalu fokus memikirkan bagaimana peran perempuan serta anak perempuan, betapa mereka telah dinomorduakan karena hidup kawan. Pikiranku yang kejam kembali meracau tentang dunia perempuan, kekuatan perempuan Jawa bahkan Indonesia dan dunia, kelemahan mereka, serta welas asih mereka yang kerap membuat mereka ditindas.

Aku berang dan segera membayar uang makan. Segera kuambil payung yang tergeletak. Kutinggalkan warung makan itu dengan hati dan pikiran risau. Apalagi kalau bukan ulah pikiranku yang kacau ini. Sejak dua hari lalu, sejak kedatanganku di sini, hati dan pikiranku hampir setiap jam berkutbah. Entah apa yang mereka kutbahkan. Seperti bibir tetangga saja. Omong sana sini. Obral ini itu. Yang entah apa yang mereka dapat dari obrolan tak jelas itu.

Aku benar-benar jengkel dan kesal. Apakah mereka tengah dilanda galau, sehingga begitu berhasratnya membicarakan dunia perempuan, ekonomi, serta perihal kawin. Entahlah aku tak tahu.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he