Skip to main content

Jangan di Bumi, Hiduplah di Langit!




Karena apa? Karena di bumi kau hanya akan menerima segala dosa. Dosa dengan segala ketidakenakan terhadap dirimu. Karena dosa, seperti yang diceritakan oleh para tetua dulu, adalah laknat bagi mereka yang melawan. Dan ternyata, dosa tidak selalu datang dari dirimu sendiri, namun juga dari orang-orang yang kadang sangat kau cintai. Begitulah.

Dan pikiran ini terkristalisasi, jika tak ingin menyebutnya terinspirasi, dari tentu saja pengalaman yang sudah-sudah kawan.

Pada inginnya, seseorang tak berniat mencaci dan memaki. Namun, ekspresi ini, sengaja atau tidak, tercurahkan begitu saja ketika melihat 'penampakan' yang mengakibatkan dia harus mencaci dan memaki. Tak tertutup bagi Saun. Awalnya sangat tak ingin, namun ada semacam request, terpaksalah harus memaki dan mencaci. Dengan rasa penyesalan belakangan. Sadis memang, jika harus mencaci dan memaki kepada orang-orang yang seharusnya tidak demikian.

Katakanlah ia seorang gay dan teman karib. Gay, tidak menjadi masalah. Karena memang orientasi kami berbeda. Dan itu merupakan haknya sebagai ciptaan Sang Khalik. Lagi, Saun tak merasa memiliki masalah dengan mereka yang memutuskan hidup sementara sebagai gay, kaum homo, dan sejenisnya.

Dan sebagai karib, ini menjadi masalah. Kenapa? Karena kita berteman, bercengkerama banyak hal-yang kerap kali itu dusta belaka-serta menikmati beragam tontonan dengan terpingkal-pingkal. Tentu saja Saun tak ingin mengatakan apa yang kita alami hanyalah sebuah kicauan tak berharga dan mudahnya disapu angin sore. Ketika ia memberi banyak janji dan nasihat bak seorang tua kepada anak, ini menjadi faktor kedua, untuk memaki dan mencaci. Tentu saja tidak begitu teman.

Dan bukan karena ia gay, sekali lagi, menyebabkan Saun harus memaki dan mencaci. Karena ia terlalu banyak cakap dan semuanya hampa belaka. Benar kata teman yang Saun ceritakan tempo hari. Tidak semua orang atau teman yang sudi diperbanyakcakapkan. Tidak semua orang mau menikmati kebohongan-kebohongan yang sangat kentara kalau itu dusta belaka. Karena kamu, Saun dan kita, terlahir sebagai manusia cerdas. Cerdas untuk tidak dikibuli, dikampanyekan dengan banyak janji. Dan kemudian dengan seperti tak bersalah, mengeluarkan air mata tersedu-sedu dan tiba-tiba memeluk dengan sesenggukan.

Ah, hantu belau lah itu semua!

Masalahnya, Saun tak sanggu lagi harus mendengar berbagai ocehan yang penuh dengan ketimpangan dan dusta semua. Cerita di sana sini, ketika ditanyakan ulang menghasilkan jawaban yang tak terduga dan ngawur semua. Ini fiktif yang dibungkus dengan sangat buruk dan jorok. Tak semua Saun ikhlas dibohongi dan dijadikan kambing hitam dari segala kemunafikan dan kebusukan.

Oke, oke, oke kita memang teman dan karib. Tapi sebagai karib, Saun memiliki hak untuk menolak dan berkronfontasi dengan dusta itu.

Kisah-kisah cinta, petualangan birahi yang binal, dan 'Apel Malang' sekali dua kalau diceritakan mungkin masih menarik dan enak di telingan. Tapi jika setiap hari dan itu hanya sebagai pengisi kekosongan jiwa yang renta, maaf, Saun tentu tak bisa. Mata Saun telah terbuka lebar pada kampung ini dan kota ini. Mata Saun, sejak lima tahun terakhir, bukanlah mata remaja apalagi mata kanak-kanak. Mata Suan telah dewasa dan penuh dengan 'nano-nano' hidup. Tak mudah dan tak rela jika Saun harus menerima segala ketidakenakan itu dengan ia tersenyum manja.

Ah, otak kotor apalagi memenuhi rongga kepalanya?

Dan karena itulah Saun, rasanya ingin tinggal di bumi dengan belahan lain. Karena pada belahan ini, Saun tidak menggenggam kebebasan hidup dengan sempurna. Jajahan demi jajahan dengan cara yang sangat busuk, masih membekas. Saun tak lagi sanggup menikmati jajahan kerdil itu.

Kemudian topeng hanyalah topeng dengan jutaan makna.

Jangan di bumi, hiduplah di langit! Dengan catatan, langit yang berbeda.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...