Skip to main content

Belanja Buku dan Manipulasi Dirimu




Perhelatan pesta buku di kota Jogja awal tahun 2012 ini akan segera berakhir. Detik-detik terakhir pesta buku yang oleh dihelat Ikatan Penerbit Buku Yogyakarta (IKAPI DIY) ini mengundang banyak pengunjung. Hampir setiap hari iven akbar ini diramaikan oleh mereka-mereka yang buku holic. Tentu saja hal ini ditunjang dengan peran kota Jogja sebagai kota pelajar dan budaya di Tanah Air.

Setiap hari saya mengunjungi iven buku ini karena tak tahu lagi akan kemana, serta teman-teman tercinta memang mangkal di sana. Selama tujuh hari, beragam orang yang dating berkunjung, melihat-lihat, dan syukur-syukur berbelanja buku. Paling banyak yang datang memang para mahasiswa dan orang dewasa. Apalagi pada stand buku yang kami tunggui beramai-ramai. Selain harga miring, diskon hampir 80 persen, para pengunjung juga akan dimanjakan dengan tema-tema buku yang lebih bebas (liberal) serta berani. Koleksi buku dari penerbit ini memang rada-rada kiri. Kiri, apakah itu pancasilanya, apakah itu Islamnya, dan kebudayaannya. Semua hampir kiri, jika tak ingin mengatakan kafir.

Nah, pada hari ke empat, buku-buku pada stand ini diborong oleh dua perempuan setengah baya. Dari penampilan serta merek gadget yang mereka kenakan tampak sekali kalau mereka berasal dari kalangan beruang. Beruang dan banyak membeli buku, tentu tidak menjamin bahwa mereka suka dan cinta kepada buku. Bisa saja mereka membeli buku-buku dengan total jutaan rupiah itu sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Ya, hal ini terlihat ketika mereka mimilah-milah buku yang hendak dibeli. Tak lihat lama-lama, ambil kumpulkan, ambil kumpulkan, ambil kumpulkan, kemudian membayar.

Pikiran ini tidak berburuk sangka kawan. Pikiran ini lahir dari pada apa yang tampak dan bisa diuraikan dengan tidak memfitnah. Alhasil memang tidak meleset. Dua perempuan setengah baya itu, memang jualan buku di kota lain dengan kelipatan harga yang sangat manis. Tak perlu ditanya, sembari senyum-senyum ketika membayar, mereka berucap, “Lumayan dijual di luar kota jadi mahal lho mba,” katanya kepada kami. Benar kan?

Selanjutnya datang pula berkunjung Guruh Sukarno Putra memborong banyak buku di setiap stand. Tak tanggung-tanggung, putra sang proklamator ini membawa ajudan, katakanlah begitu, sekitar sepuluh orang. Kesepuluh pria tinggi besar dan berstelan batik ini mengawasi sang pujangga-menurut saya Guruh itu pujangga-ketika memilih-milih buku. Beberapa ajudan juga membantu memilihkan buku-buku yang layak masuk ke perpustakaan Guruh. Konon, kata temen yang iseng bertanya, bahwa Guruh memiliki sekitar 30 ribu koleksi buku di tempat tinggalnya. Entah iya entah tidak. Dan jika iya, entah dibaca semua atau hanya judul yang dibaca. Itu urusan Guruh dan buku-bukunya.

Ketika Guruh mampir ke stand buku teman saya, saya iseng menyempatkan berfoto bareng dengan sang pujangga. Ya, awalnya saya kurang berminat, tapi tak pikir-pikir lagi, kenapa tak dicoba ya, gimana sih rasanya bersapaan dengan Guruh yang nyentrik itu. Waktu itu, Guruh memakai batik lengan panjang dan bercelana jeans hitam. Pasti bermeraklah, dan dalam asumsi saya keluaran luar negeri itu. Tak apa-apa. Setiap orang memiliki hak asasi untuk mengenakan produk dalam negeri maupun luar negeri.

Guruh kembali memilih-milih buku tanpa menoleh kiri kanan. Yang dipandang cukup apa yang di depan matanya. Melirik sebentar, memutuskan, dan memberikan kepada ajudan yang mengikutinya dari belakang, tepatnya si pengumpul buku untuk Guruh. Melihat banyaknya buku yang dibeli Guruh, kata seorang teman yang sama-sama menunggu stand buku, Guruh berbelanja buku tak kurang dari satu juta pada setiap stand. Jika ada 40 stand pada pesta buku itu, berarti sebanyak minimal 40 juta Guruh berbelanja buku di hari itu. Maka bayangkanlah berapa jumlah eksemplar buku yang dibeli Guruh. Kemudian banyangkanlah Guruh membaca-baca buku itu, baik ketika sedang di mobil, di meja makan, di depan laptop, di kamar mandi bahkan mungkin di toilet. Wajar kan?

Selanjutnya pada kejadian ini, beberapa stand yang dikunjungi Guruh, pastilah stand itu lengang. Tak ada pengunjung lain yang dekat-dekat dan berdesakan memilih buku di sekitar Guruh, ketika seperti biasanya. Barangkali mereka terpana dan terpesona melihat Guruh secara live sekitar satu meter di depan mata kepala mereka. Sebenarnya yang terpesona tidak hanya pengunjung, saya dan teman-teman juga demikian. Bahkan sang komisaris penerbit juga terpesona dan menyempatkan foto bareng bersama Guruh.

Melihat kejadian ini, saya teringat pada ucapan seorang teman dari pulau di Timur sana, buku dan membeli buku mencirikan dua karakter dan gaya hidup. Pertama, memang sangat membutuhkan dan menunjang pekerjaan atau profesi, katakanlah itu kebutuhan. Sedangkan yang kedua, saat ini buku cenderung mengarah kepada kehidupan pamer dan hedonisme. Buku menjadi penambah pernak pernik kehidupan kelas elit atau kelas menengah ke atas. Dengan buku mereka 'meningkatkan' identitas dan jati diri kepada jenjang yang jauh lebih tinggi, katakanlah buku sebagai simbol masyarakat postmodern dan kelas industri teranyar.

Nah, dalam kaca mata saya, teman-teman yang berlebihan membeli buku termasuk Guruh, cenderung kepada artian kedua. Kenapa? Lihat saja para cendekiawan kita di teve-teve, di koran, dan di poster-poster, pasti memilih berfoto dengan latar belakang buku tersusun rapi di rak buku. Kemudian foto itu disebarkan ke publik, apakah itu untuk kampanye, untuk wawancara ekslusif, atau hanya sebagai profile picture di jejaring sosial. Budaya narsis dan pamer, menuju sombong, sudah mulai wajar di negeri ini.

Ini baru satu contoh tentang buku dan membeli buku banyak-banyak. Saya menulis demikian tidak iri, karena bisa saja pembaca mengira saya tidak mampu membeli banyak buku seperti Guruh, itu memang benar. Alasan lainnya, di mata saya bukan kepada membeli buku, namun kepada konstruksi masyarakat sosial kita tentang kecerdasan dan kesuksesan. Jangan salah, masyarakat awam, ketika melihat seseorang menenteng buku kemana-mana, mereka akan menilai si penenteng buku pastilah cerdas dan berkarakter sukses. Bullshit itu semua. Tak menjamin. Kebodohan tetaplah kebodohan, tak ada sangkut pautnya dengan banyak membeli buku. Saya sendiri, beberapa tahun lalu tergila-gila dengan buku dan hingga sekarang, ketika saya perturutkan nafsu membeli buku, buku dengan skala kebutuhan pada no 2 dan 3, ternyata memang banyak disusun saja di atas lemari. Akan tetapi berbeda dengan buku pada skala kebutuhan no 1, tentu sangat berbeda.

Pertanyaannya, apakah anda membeli buku sesuai skala kebutuhan no 1, atau skala no 2, 3, dan 4 yang anda beli? Jika iya, saya akui bahwa anda memiliki cukup duit dan lemari buku di rumah. Namun, saya tidak percaya begitu saja jika anda dengan enteng menamatkan buku-buku no 2, 3, 4 itu dengan segera dan paham. Teman saya yang gila buku, hanya gila mengoleksi, sedangkan membacan masih jauh. Alasannya, buku hanya sebagai hiasan karena di rumah tidak ada pigura. Ini sebuah keprihatinan.

Keprihatinan ini dilihat juga oleh pak sopir taksi. Ketika taksi melaju ke Pesta Buku Jogja, pak sopir becerita panjang lebar tentang orang-orang besar yang kerap muncul di televisi dengan buku-bukunya. “Baca koran tiap hari saja tak siap semuanya mba, ini baca buku sekardus. Ya, gaya-gayaan saja mba, he he he,” ungkap pak sopir. Menurut pria 55 tahun ini, banyak buku tak menjamin para pemimpin bangsa lebih cerdas dan mulia. Tetap saja bangsa ini digrogoti korupsi dan tindak kriminal lainnya. Begitu pendapat pak sopir taksi dengan bahasa Indonesia dicampur bahasa Jawa. Saya mengiyakan dan tersenyum kecut.

Tulisan ini hanya merekam apa yang ada di kepala setelah apa yang dilihat dan didengar.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...