Skip to main content

Di Sini, Jiwa Dagang Itu Membludak





Sejak langkah pertama menginjakkan kaki di kota budaya ini, dimana-mana orang berjualan selalu lebih banyak. Apa saja. Mulai dari makanan, ini yang paling banyak, kemudian merembes ke produk-produk kreatif seperti kaos oblong, pernak pernik, tas, sepatu, dan masih banyak lagi. Orang muda dan tua di sini memang suka berjualan. Awalnya memang kecil-kecilan dulu, setelahnya bakal lebih besar lagi jika mampu menakklukan kendala.

Beberapa teman dekat, sangat membabi buta untuk membuka berbagai bidang usaha. Misal, mulai dari makanan, jasa, penerbit, usaha foto copy, dan tak ketinggalan order ini itu kecil-kecilan yang berbuah besar. Pokoknya apa saja diharapkan mampu menghasilkan uang. Tak pikir lama-lama, apa saja. Tentu saja dominan dari teman saya harus mengkaji ulang kembali jenis dan ketersediaan modal dalam menjalankan ritual itu.

Tiga menit lalu, ketika saya menuliskan uneg-uneg ini, saya berkenalan dengan laki-laki padat berisi yang menurut saya, hampir sebagian besar masa dewasanya dihabiskan dengan usaha ini itu. Kalau di sini orang-orang muda sini menyebut dengan mudairs yang enterpreneur. Sumpah deh, mati-matian orang sini menjadi mudairs yang enterpreneur itu.

Ya, saya bukan menyindir bahkan tidak berniat menertawai. Tidak sama sekali. Bahkan saya salut dengan jiwa dagang itu. Jujur, tidak mau sombong, sejak saya mengenal dunia, saya sudah berkubang dengan dagang-dagang itu. Jadi saya tak heran jika mudairs ini ngebet banget menjadi enterpreneur muda yang sukses luar biasa. Yang bikin saya tertantang menuliskan uneg-uneg ini karena, ternyata, setelah kuliah 4, 5, 6, bahkan 7 tahun, para mudairs ini lebih enjoy dengan dagang-dagang sana sini. Itu yang bikin saya berpikir puluhan kali. Banak saya cenat cenut dan menuliskan kata-kata, "Apa enaknya dagang sana sini?" Hahaha, saya jadi nggak enak kalau-kalau teman saya yang suka dagang baca uneg-uneg ini.

Sumpah bro, gua nggak mikir macem-macem kok. Gua cuma ingin menuliskan apa yang gua pikir dan rasakan. Gua nggak niat bikin niat mulia dagang kalian terhambat dan merasa direndahkan. Sumpah gua nggak niat begitu. Karena lu-lu pada tahu kan kalau nyokap gua di Lubuk Sanai, Bengkulu sana juga dagang. Dan, lu-lu pada tahu, kalau gua dibesarkan dengan duit hasil dagang. Maap kalau gua, nyinggung. Tapi, gua mau nerusin tulisan ini, hee.

Sejak wirausaha muda digembar gemborkan tahun 2009 dan 2010, setiap kampus dan anak muda berlomba-lomba pulalah membangun wirausaha dengan cara mereka sendiri-sendiri. Tak tanggung-tanggung, milyaran rupiah dikucurkan oleh pemerintah untuk menyukseskan program ini. Memang ada para muda yang menjalankan dengan baik. Namun, tak sedikit pula yang menjadikannya aji mumpung, ya nambah kantung kuliah. Ini kelemahan dan menjadi tak sehat bagi mudairs yang lain.

Nah, teman-teman saya yang suka dagang ini memang pinter banget ngomong. Kalau soal omong, mereka nomor uno, nggak ada tandingnya. Rasa-rasanya semua yang direncanakan bakal berjalan semua dan lancar-lancar saja. Jika berada di depannya dan mendengar mereka bercakap-cakap, rasanya masa depan hidup itu akan sangat bagus dan tidak membuat hidup susah. Tak punya uang pensiun, dengan dagang kalian akan memperoleh lebih dari pensiun. Tak punya asuransi, dengan dagang, penyedia jasa asuransi akan lebih pede dan semangat memberikan asuransi kepada mereka yang dagang ketimbang pada mereka yang pegawai negeri, hee. Entah benar, entah tidak, simpulan ini saya petik dari percakapan selama waktu Ashar itu.

Ciri-cirinya, ngomongnya cepat, matanya nanar kemana-mana, tangan berayun-ayun kiri kanan, dan kadang kaki naik ke atas sebelah, ya setingkat dagulah. Tentu tak ketinggalan tekanan suara yang sangat stabil dan padat berisi. Sumpah, kalau jumpa orang begini, kau punya uang Rp 100 ribu saja, kau takkan pikir panjang untuk ikut serta membantu dan bahasa merekanya, berinvestasi. Teman, kalau kau tidak jeli, bisa saja ini adalah penipuan. Uangmu ditilap di depan matamu dan kau tersenyum menyaksinkannya.

Begitulah mereka. Namun, sekali lagi, tidak semua mereka sama dan keji. Masih banyak juga yang pure membantu dan berwirausaha dengan baik dan tak menyakitkan. Dan teman-temanku di sini tidak begitu.

Berdagang, sudah sangat lama diungguli dan digadang-gadangkan oleh orang Minang. Dimana mereka hidup dan tinggal, di sana mereka akan berdagang untuk bertahan hidup. Namun, tak dinyana, filosofi berdagang ini merebak ke bidang pemerintah dan dibuatlah sebuah program untuk berdagang. Jujur, saya bangga. Karena saya orang Minang, dan saya saat ini kurang untuk berdagang. Tapi, tentu saja saya tidak menampik jika suatu saat nanti saya justru dibesarkan untuk kedua kalinya dengan berbagai bidang usaha berdagang. Siapa tahu kan?

Kenapa tertarik berdagang? Alasannya, lagi-lagi menurut saya yang kurang pandai berdagang ini, ketika memperoleh uang, kamu akan merasakan betapa nikmatnya. Uang hasil dari kristalisasi keringat sendiri. Luar biasa rasanya. Perolehan uang ini menjadi candu yang susah untuk diputuskan. Kau bisa lihat betapa Tn. Krabs di Bikini Bottom tergila-gila pada uang dan memutuskan untuk tak menikah lagi. Sedangkan anaknya tidak dibiarkan tinggal bersamanya, hanya akan menyusutkan uang-uang simpanannya. Bagi Tn. Krept, kawan terbaik adalah uang-uang itu. Tidak Spongebob. Tidak Squidward Tentakel. Dan tidak pula Nyonya Puff. Ini bukti teman, yang walaupun fiktif dan animasi, kita dapat belajar dari sana. Bukankah dunia kartun, animasi, maya, dan atau hiper realitas ini sudah menjadi dunia kita sehari-hari, yang kita tak sadar kita paksakan untuk kita cocokkan dan sangat amat kita nikmati.

Untuk itu, teman-teman yang ingin berdagang, teruskanlah. Saya tak berniat dan takkan sanggup menghadang. Karena saya bukan pemilik modal dan bukan Tuhan .

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...