Skip to main content

Akhir Pekan Dipenuhi oleh Mereka dari Padang




'Hai, para saudariku yang di Padang, hingga kapan kita selalu mencari-cari seperti ini?'

Sejak pagi sekali, pesan singkat membangunkanku. Pesan pertama ini datang dari para sahabat yang masih bermukim di pulau seberang, Sumatera. Tepatnya Kota Padang yang pernah kutinggali sekitar empat tahun lebih. Entah apa gerangan, tiba-tiba pesan kedua, ketiga, keempat, dan selanjutnya terkirim dari mereka yang tak mungkin dilupakan.

Pesan dari rumah pertama -kos- datang dari adik-adik yang sekonyong-konyong menanyakan banyak hal tentang aku di perantauan. Kalau hanya pertanyaan kapan makan bersama lagi, ini pertanyaan mudah dengan jawaban yang mudah pula. Kujawab saja, 'Kapan aja boleh', sembari menyisipkan kata-kata 'Hehehe' di akhir pesan.

Namun, dari sekian banyak tanya, tentu saja pertanyaan yang amat sulit dijawab adalah tanya 'Kapan lagi menginap di kamar-kamar mereka yang sumpek dan berantakan?' Aku kembali mencoba dewasa dan berwibawa. 'Insyallah ya cinta, kita akan kumpul-kumpul lagi'.

Itu bukan jawaban yang mudah kuketik dan kirimkan pada mereka. Namun, tentu aku harus menjawab tanya itu dengan tidak menunda waktu. Ada semacam hutang yang harus kulunasi ketika menuliskan jawaban itu. Tak tahu kenapa. Oleh karenanyalah, aku pun memberikan jawaban yang benar-benar terbuka untuk didebatkusirkan, bagi siapa yang mau.

Di tengah rantau begini, hidup -khususnya hidupku- tidak senyaman ketika menjadi mahasiswa, ataupun masa remaja SMA dulu. Peran keluarga besar, Ibu, Ayah, serta para saudara sekandung, sangat terasa dan lengket sekali. Apa-apa tentu saja mereka tahu dan ikut merasakan. Termasuk ketika aku baru mengenal cinta -cinta monyet- serta pergaulan anak remaja. Tak ada yang luput dari mereka, meskipun itu tidak pernah mereka utarakan langsung kepadaku.

Pun demikian ketika aku di Padang. Rasanya, kota itu memang jauh berbeda dari kota asal dimana aku dibesarkan dan banyak mendapat cinta. Kota yang penuh dengan hiruk pikuk perdagangan, rebut sana sini jabatan, dan dialog-dialog kebudayaan yang tak tahu ujung pangkalnya. Kota yang memberiku banyak ilmu, kenangan, keluarga, cemburu, dan rasa sakit.

Walau begitu, kota itu adalah kota yang menyaksikan bagaimana seorang bungsu yang keras kepala dan ceroboh dengan emosi tumbuh, berkembang, hingga mampu memutuskan untuk kembali terbang ke langit berbeda. Kota itu, kini menjadi kota dengan jutaan kenangan. Kau merasakan ini setelah kau meninggalkannya. Begitulah, setiap waktu akan digantikan dengan waktu berikutnya. Bak lumut, setiap musim banyak yang busuk dan mati, namun setiap musim pula banyak yang bersemi dan menghijaukan kembali.

Pesan pendek dua gadis kecil dari kos di Padang, telah membawaku menguliti kembali kenangan itu.

Pesan pendek selanjutnya, masih dari gadis kecil di Padang, yang satu guru menulis denganku. Sore itu, ia mengagetkanku dengan pesannya yang akrab dan rasanya hendak memelukku jika saja kami berhadapan. Dengan hati-hati -tak ingin mengabaikan pesan dari siapa saja- aku membalas dengan tidak mengurangi kehangatan pesan darinya. Bertukar kabar, sebelumnya juga berkenalan -lagi, mungkin takut aku tak mengenalinya- kemudian mengundangku dalam acara pelatihan jurnalistik. Ia dari kampus. Tentu saja, pelatihan yang akan diadakan khas dengan pelatihan jurnalistik yang kerap sangat aku ikuti dulu.

Kubalaslah pesan itu dengan tak lupa mengabari keberadaanku sekarang yang jauh dari tanah Minang. Ia terpana -sepertinya begitu menurut pesan yang kuterima- dan sepertinya juga senang. Kembali aku membalas dengan sehangat mungkin. Ia dan aku senang.

Kenangannya dengannya merupakan kenalan yang istimewa. Kami diperkenalkan oleh seorang budayawan -yang cukup besar- dari tanah Minang, Wisran Hadi (alm), semoga beliau mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Sejak perkenalan hingga usai acara pelatihan menulis dengan sang guru, kami kerap berjumpa dan bertukar cerita. Cerita apa saja. Ia begitu cerdik, karena kerap mencuri ilmuku. Dan aku tidak keberatan.

Ini kenangan dari dia yang sepertinya sangat senang kepadaku. Terima kasih. Aku pun begitu.

Kemudian masuk lagi pesan pendek. Kali ini dari seorang lelaki, sekaligus teman baru bagiku. Ia telah bekerja dan sepertinya sangat menyukai pekerjaannya. Memberiku pesan pendek yang hanya dengan satu kata, 'Ciangk'. Aku geli, dan tak lekas membalas pesannya. Sengaja kutunda, karena ada sesuatu hal yang dikerjakan. Seperti biasa, ketika malam menjelang, aku akan membalas pesan-pesan pendek yang tak terbalas tepat waktu. Hal ini kulakukan, karena aku tengah belajar menghormati hakikat dasar sebuah pesan pendek di telepon genggam.

Pesan ini merupakan sapaan dari seseorang yang baik, dan ingin menjadi teman baik bagimu. Walaupun itu hanya dalam bentuk pesan pendek -bagiku- tidak mengurangi maknanya ketika ia berpapasan dan menyapamu langsung. Sekali lagi, aku tengah belajar cara menyapa di telepon genggam. Sayang, malam itu ia tak langsung membalas pesan balasanku, mungkin sudah beristirahat dan sibuk pada esok harinya.

Dan masih banyak ternyata pesan pendek yang masuk pada akhir pekan lalu ke telepon genggamku. Yang justru datang dari para sahabat dan saudara di kota tempatku menimba ilmu dulu, kota Padang.

Aku sangat senang dan akhir pekan ini menjadi sangat singkat. Moga di akhir pekan ke depan, ada lagi cerita yang mewarnai langkah di rantau ini. Terima kasih. Aku senang menerima pesan pendek kalian.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he