Skip to main content

Kerjakan 'Batu Besar' Pertama Kali dalam Hidupmu!



'Did you know, it's fervency to run towards the sun'

Sepanjang perjalanan waktu, kita disibukkan dengan beragam hal yang menyita waktu, tenaga, dan perasaan. Acap kali kita lupa dan tidak sadar bahwa banyak hal dari semua itu tidak penting dan tidak perlu dikerjakan atau ditunda sementara waktu. Namun, manajemen yang buruk membuat kita menjalaninya tanpa beban dan tanpa rencana yang matang. Padahal ini bisa merugikan kuantitas dan kualitas dalam hidup kita.

Mengerjakan 'batu besar' pertama kali dalam hidup, maksudnya mengerjakan hal-hal pokok yang membuat hidup jauh berkualitas. Bukan sebaliknya, terjebak pada rutinitas kecil yang menjadikan hidup biasa-biasa saja. Kita kerap menilai, apa-apa yang kita kerjakan adalah hal yang paling luar biasa dan penting. Padahal belum tentu begitu.

Ya, menjalani hidup apa adanya banyak dielu-elukan orang. Filosofi menjalani hidup seperti air mengalir tidak hanya banyak dianut orang, namun juga dikampanyekan pagi dan petang dengan cara mereka masing-masing. Pledoinya, mengapa harus menjebak diri dengan beragam angan-angan? Yang justru hanya terukir di dalam mimpi dan agenda sehari-hari. Jalani saja, maka kau akan merasakannya. Begitu kata orang banyak.

Terlahir dari latar belakang keluarga kebanyakan serta lingkungan masyarakat dengan kesosialan yang tinggi, kerap membuat kita tidak banyak menuntut dalam hidup. Bukan apa-apa, karena budaya tuntut dan target masih belum terbiasa di tengah kampung kelahiran kita. Belum lagi ditambah dengan budaya masyarakat yang enggan untuk berpikir lebih dan pelik tentang hidup. Manajemen waktu dan tenaga pun tidak dihiraukan dan tidak menentukan.

Namun, setelah kesana kemari, setelah mendengar ini itu, setelah berjumpa dengan si A, si B, dan seterusnya, manajemen waktu dan tenaga menjadi penting. Baik untuk dituliskan maupun untuk dikerjakan. Dan melakukan hal-hal penting dalam hidup adalah menjadi perlu. Karena itu merupakan modal, aset, dan jaminan hari esok.

Menurut sumber suara yang disimak, banyak 'batu besar' yang mesti dikerjakan terlebih dahulu, misalnya, anak-anak bagi para orang tua, pasangan bagi yang telah berpasangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Manajemenlah hal-hal itu dengan apik dan rancak. Karena dengan begitu, hidup akan menjadi lebih hidup dan berkualitas. Kita tak lagi terjebak dengan hal-hal kecil yang melenakan sekaligus mematikan.

Kerap memang, kita tersentuh oleh pihak lain yang padahaln kita juga sering disentuh oleh orang-orang terdekat kita. Sentuhan dari pihak lain menjadi berbeda dan lebih berkesan daripada oleh orang-orang terdekat. Begitu juga dengan manajemen waktu yang dimaksudkan ini. Jika kutilik-tilik dan menyusuri memori masa lalu, manajemen waktu telah diajarkan oleh Ayah ketika beliau masih sangat sehat. Tentu saja berbeda baik dari cara penyampaian, kondisi psikis kami waktu itu dan seterusnya.

Aku masih ingat sampai sekarang, "Bahwa pendidikan, jika kau mampu, maka kejarlah," kata Ayah. Ungkapan ini diulang-ulang dan aku sudah lupa berapa kali diulang. Aku dan saudara kandung, kerap dipasak kupingnya agar tidak mengesampingkan pendidikan. Bagaimanapun juga, pendidikan menjadi eskalator bagimu untuk maju dan mulia.

Bukan menafikan, bahwa pekerjaan juga sama pentingnya. Namun, posisi pendidikan belum ada yang menggantikan urutannya. Dan menurut suara-suara yang kusimak pagi ini, memang tak ada kata menyesal -karena pada hakikatnya kata ini sangat menyayat, kawan- namun jika kita terus bermain-main dengan waktu dan 'batu besar atau batu kecil' sesal itu juga akan menghampiri. Trust Me!

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he