Skip to main content

Pada Gadis Kecil dan Rintik Hujan di Pagi Buta (2)




Memang, kalau dilihat-lihat, sang ibu sebaya denganku yang tengah mengadu nasib di tanah seberang pulau ini. Di wajahnya, sangat jelas sekali gurat-gurat wajah yang belum aus dimakan usia. Ia masih sangat hijau untuk berkeliling kampung dan memiliki gadis kecil yang lincah dan riang gembira itu. Dari guratan jemari tangannya yang lemah dan hati-hati meracik sate tusuk serta kuah kacang juga menampilkan kemudaan yang tak kalah kuatnya. Toh, jika ada beberapa flek hitam di kuku-kuku tangannya, itu mungkin hanya dikarenakan bumbu-bumbu sate tusuk atau bumbu masak yang menempel di sana. Namun, darah kemudaan masih sangat membekas kawan.

Akan tetapi, dari jauh kau akan melihatnya persis seperti perempuan-perempuan setengah abad yang perlahan-lahan susut dimakan waktu. Karena perawakan ibu muda ini memang tinggi semampai dengan tubuh padat berisi. Selain itu, cara ia berpakaian juga ikut serta dan memaksa ia untuk terlihat lebih tua beberapa tahun dari usia aslinya. Mulai dari kebaya serta sarung yang ia kenakan. Memang sangat asli, baik model maupun warna pakaian tersebut. Jilbab yang membungkus kepala hingga dadanya juga biasa-biasa saja. Tak jauh beda dengan jilbab yang banyak dikenakan oleh ibu-ibu lain di kampung ini. Dan karena hidup tak memberimu banyak pilihan kawan, kata hatiku.

Dan benar saja, selain mata yang tak bisa kupalingkan dari ibu muda dan gadis kecil di bawah gerimis malam itu, hati dan pikiran ini juga tak kuasa dikendalikan untuk tidak banyak mengoceh. Namun, ia tetap mengoceh dan kembali, aku kalah. Sembari membungkus empat tusuk sate seharga Rp 2000, ia sesekali memandangku dengan senyum tak lepas dibibirnya yang masih menyisakan pewarna bibir tadi sore. Pun ketika ia harus menjawab beberapa pertanyaan seputar gadis kecilnya yang sangat manis itu. Tak banyak bacot (baca;tak suka mengoceh) ia menjawab seperlunya tanpa mengurangi keakraban dengan pelanggannya.

Hati dan pikiranku kembali mengoceh, kalau keikutsertaan gadis kecil itu merupakan pemanis jualan ibunya. Pemanis ini beragam maknanya kawan. Pemanis sebagai penambah topik pembicaraan ketika sang ibu melayani pembeli. Serta pemanis agar pembeli semakin banyak membeli sate tusuk. Mereka tentu banyak sedikitnya akan merasa kasihan, dan membeli sate tusuk. Dengan membeli sate tusuk barang seribu atau dua ribu, setidaknya mereka, para pembeli, telah menunaikan rasa kewajiban mereka meneruskan dan pikiranku yang benar-benar sok tahu ini.

Dengan berat hati, aku pun menuruti apa yang dimau hati dan pikiranku ini. Bagaimana tidak sepanjang malam, mereka mengoceh tak karuan hingga dini hari. Dengan gaya mereka yang khas, bayang-bayang ibu muda dan gadis kecil diputar kembali dengan nuansa hitam putih. Bak film-film tempo dulu yang penuh dengan pesakitan. Bagaimana aku tidak terjaga dan terganjal untuk tak kembali menautkan kelopak mata. Rasa-rasanya, di tengah hujan rintik-rintik malam ini, ibu anak itu masih saja berkeliling kampung yang mulai larut dan sepi. Apalagi hujan-hujan begini, orang-orang lebih memilih meringkuk di dalam rumah dan menutup semua pintu dan jendela. Dan toh jika ada yang nekat mencari camilan malam, lebih banyak dari mereka tentu memilih makanan atau minuman yang anget-anget. Katakanlah itu bakso, mi ayam, mi pangsit, miso, serta sejenisnya. Jarang sekalilah di tengah malam dingin-dingin begini orang memilih sate tusuk yang tidak anget sama sekali.

Akan tetapi, ibu muda ini tak patah semangat kawan. Terlepas ia meniti sebuah rumah tangga yang sulit, namun ia adalah ibu yang sangat amat peduli terhadap diri dan gadis kecilnya itu. Mungkin saja ia mengalami kehidupan dengan kondisi ekonomi yang susah. Mungkin saja ia adalah sosok perempuan mandiri dan tak ingin diam duduk di rumah sepanjang hari dan malam. Atau jangan-jangan ia adalah seorang istri yang belum beruntung dalam berumah tangga. Ia harus menghidupi gadis kecilnya sendirian karena sang suami tidak di sampingnya lagi. Dan masih banyak kemungkinan tentang dirinya jika ingin dituliskan di sini.

Lagi-lagi ini hanyalah ocehan hati dan pikiranku yang tak menentu. Kadang ia sok arif dan peduli dengan lingkungan yang ia tidak tahu semuanya. Aku tak bisa banyak berbuat untuk menghentikan mereka mengoceh yang tak karuan. Persis kali ini, aku hanya menuruti arus dan jalinan permainan mereka yang garing dan di luar koridor yang pernah kami sepakati. Tapi, lagi-lagi aku tak berdaya.

Seiring banyaknya kata-kata yang kutuangkan sesuai keinginan hati dan pikiran, aku mulai gerah dan sulit berkonsentrasi. Dari pada mereka terus mengoceh hal yang aneh-aneh dan tak disensor, lebih baik aku sudahi obrolan mereka itu.

Kisah gadis kecil dan ibu muda pun kubiarkan beterbangan bersama angin. Satu-satunya hal yang dapat aku perbuat untuk mereka adalah mendoakan gadis kecil semoga tidak kehilangan masa kecil yang sangat bahagia. Dan bagi ibu muda, ketabahan, kata orang bijak, merupakan kunci untuk menghadapi hidup yang sangat keras untuk orang-orang seperti dia, aku, dan mungkin Saun sekalian.

Amin, kata hati dan pikiranku serempak. Benar bukan? Mereka selalu saja mencampuri urusanku, termasuk dalam berdoa.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...