Skip to main content

Kepada Angin di Februari Kabisat





Sejak Februari ini angin sepoi-sepoi semakin berhasrat menimpa wajahku. Wajah yang dilanda beribu-ribu kebingungan ini semakin dekil dan tak terurus. Di tengah terpaan itu kusampaikan pula salam kebebasan dan kejayaan. Mungkin ini waktu dimana aku menghindar dari kemapanan. Kami, aku dan teman di Andalas, pernah berseloroh bahwa kami adalah generasi anti kemapanan. Sembari terkekeh, temanku mengiyakan gombalanku yang gila dan garing itu. Pada waktu itu memang hanya sebagai obrolan biasa lewat telepon genggam. Generasi digital yang mudah hilang kendali.

Kepada angin di Februari Kabisat, entah iya kabisat atau tidak, hanya saja saya sangat menyukai menuliskannya. Februari ini, angin-angin kadang garang kadang juga sepoi mengiringi pagi kami hingga malam merangkak. Hujan hanya sekali-sekali. Itu pun tak lama. Namun selalu diikuti angin, kadang angin kencang, kadang juga tidak. Kepada angin Februari Kabisat ini pula ingin kubisikkan seribu kata dan helaan napas. Kepada angin ini pula, kutuangkan segala cerita dari pagi ke pagi. Andainya angin Februari ini merentangkan segala untaian kalimat dariku, entah bagaimana jadinya.

Kepercayaanku kepada angin, tak pernah pudar. Angin-angin ini pun kadang berbisik manja padaku. Mereka cukup senang bisa terbang kemana-mana dan membawa berbagai hal yang akan disinggahkan pada tempat berbeda. Termasuk menyinggahkan debu-debu di wajahku yang membuatnya semakin kusam. Tak apalah, kata mereka, toh kami selalu merelakan kekuasaan kami menyimpan segala rahasia yang kau rentangkan setiap pagi, kata angin. Aku mengangguk, sepakat. Wajahku pun berlumpur debu setebal telunjuk.

Angin Februari Kabisat ini kurasakan cukup panas dan menggerahkan. Sama ketika aku menonton televisi yang isinya lebih banyak membuat gerah ketimbang menghibur diri. Kuakui, hampir setiap hari, pagi dan petang, tontonanku tak lepas dari Spongebob dan Shaun serta teman-teman mereka. Kemudian tontonan ini, jika tak membosankan, berlanjut ke hal-hal yang menggelitik perut. Aku tak bisa lagi memilih tontonan yang lain, katakanlah itu semacam 'Dunia Dalam Berita' yang pernah kita tonton di zaman Orde Baru bahkan Reformasi setiap hari pukul 7 dan 9 malam, bukan? Bagiku itu membosankan dan membuat kesal.

Nah, tontonan macam begini semakin menjamur dan dapat kau temui disetiap chanel tevemu. Begitu juga chanel teve di rumah tempatku bernaung. Hanya saja, lama-lama, tontonan itu membuat resah dan geram. Bagaimana tidak, sebanyak aku tahu kalau negara ini semakin digerogoti koruptor dan keadilan sangat susah didapatkan, aku semakin lesu dan tak bernafsu makan. Agar aku tak lesu dan tetap sehat, maka aku menghindarkan tontonan itu sebisa aku. Jika sudah kepepet, dalam artian hanya ingin mengetahui apa kabar terhangat hari itu, maka tak lebih dari tiga menit, boleh aku menyimak kabar-kabar itu. Sungguh, sangat susah lebih dari tiga menit. Karena kehilangan tiga menit menonton Spongebob atau Shaun, aku bisa bertanya-tanya hingga mata terpejam di larut malam. Aneh dan lebay ya. Ya, begitulah.

Menulis cerita ini, aku ditemani oleh Sandaran Hatinya Letto. Suara vokalisnya yang serak dan lembut itu, membawaku pada nuansa yang sangat amat menyayat. Lirik-lirik lagunya yang jika ditilik-tilik lagi adalah ungkapan kepada Sang Khalik. Hal ini berkaitan dengan acara Cak Nun dan orkes Kiai Kanjeng baru-baru ini yang aku hadiri di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Cak Nun yang terkenal dengan religiutasnya, mampu membuatku terpesona dan kagum. Acap pula Cak Nun dan Kian Kanjeng membawakan lagu-lagu Letto, tidak hanya sebagai hiburan, namun kedalaman makna, coba kau hayati, dan tunggulah hatimu bergetar hebat. Dasarnya, hakikat Tuhan, dapat kau peroleh kapan dan dimana saja kawan. Tanpa tedeng aling-aling aku memaknainya begitu.

Dan kepada angin pula, ia tidak hanya berwujud, seperti yang kita kenal sebagai angin. Namun ia lebih dari sekedar angin. Ia tak hanya sebagai penyejuk, namun kerap pula sebagai penolong sebagai perpanjangan tangan (kuasa) Sang Pencipta kepada kita. Dan kepada angin aku berterima kasih karena telah mempu menuliskan cerita singkat ini sebagai ungkapan hatiku, yang untuk kesekian kalinya kadang sok tahu dan sering nyebelin.

Kepada angin di Februari Kabisat, ketahuilah cerah dan gembiranya hantarkan beragam kupu-kupu beterbangan di atas kepalaku ketika menuliskan kisah ini. Oh, untuk berbahagia, buatlah peristiwa bahagia kecil itu menjadi besar dan maknai lebih. Karena hanya dengan demikian kita dapat tersenyum tanpa berharap lebih pada orang.

Kepada angin di Februari Kabisat, sampai jumpa lagi. Tetaplah ayunkan dedaunan pepohonan di atas kepalaku ini tanpa kau pernah berharap lebih, karena aku selalu tahu apa yang kau bisikkan.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he