Skip to main content

Perfect Vibe: Perjalanan dan Perpindahan



Menginjak setahun bermukim di Jakarta, saya memutuskan untuk pindah tempat tinggal meski masih dalam wilayah yang sama. 2018 pun dimulai dengan menghuni kamar baru, ibu-bapak kos baru, teman-teman kos baru, asisten rumah tangga yang baru, dan kesibukan yang baru juga. Saya sengaja mengambil kamar yang menghadap ke atap-atap rumah penduduk, langsung bertatapan dengan langit, awan, dan matahari. Efeknya, sepanjang hari dan hampir tengah malam pintu kamar dan jendela selalu terbuka lebar menampung semua yang datang dari luar: udara dari empat penjuru, debu dari genteng-genteng, sinar mentari-bulan-bintang, suara nakal dari atap plastik tetangga yang lepas pakunya, serta semilir angin yang menjalar hingga ke lantai di bawah meja.

Suasana ini tidak didapatkan setahun belakangan. Pernah terpikirkan tapi tak kunjung diwujudkan karena hari-hari penuh diisi dengan mengabdi kepada visi misi lembaga tempat bekerja. Jadi, pulang dari kerja diisi dengan istirahat, bermain game di bawah sinar lampu neon, siang dan malam. Baru akan berjumpa langit, sengatan mentari, dan kecupan-kecupan lembut angin jika datang waktu makan, jalan puluhan meter keluar dari kos. Selebihnya menghabiskan usia di dalam kamar dengan pemandangan dan udara yang sama.

Detik-detik akan pindah ke kosan baru, sempat bimbang dan tak nyaman meninggalkan kamar lama. Takut kamar baru nanti tidak seadem kamar lama. Takut ibu kos baru nanti tidak sebaik ibu kos lama. Takut teman kos baru nanti tidak sehangat di kos yang lama. Takut aturan kos baru nanti tidak sefleksibel kos lama. Takut ART yang baru nanti tidak semurah hati yang lama, serta ketakutan tak beralasan lainnya. Keringat dingin, deg-degan, merasa dikuntit oleh orang bertangan jahil, merasa dijadikan dongkrak bagi orang suka menang sendiri, merasa keliru menghadap kiblat ketika sholat, serta merasa-rasa negatif lainnya.

Akan tetapi, woilaaaaa..... banyak baik dan senangnya. Sedikit cemas banyak rindunya, hehehe.

Hampir setiap pagi dan sore dibuat tersanjung oleh sinar mentari, oleh hujan pada kesorean, oleh semilir angin di bawah birunya langit. Seperti yang pernah kuceritakan kepada seseorang bahwa tinggal di Jakarta dan memiliki kamar dilengkapi dengan pemandangan deretan atap rumah penduduk sudah merupakan keberkahan hidup yang sujud syukur saking berterimakasihnya. Tidak muluk-muluk mesti bertempat persis di jantung kota DKI, misal dengan pemandangan Monas atau menara-menara menjulang. Dengan deretan genteng saja sudah bahagia tak terkira. Sang seseorang pun terkekeh karena ini kontradiksi dengan tempat tinggal masa lalu di Jogja yang penuh hijau dan perbukitan.

Jauh yang menarik tentang hakikat berterima kasih ini adalah sosok ibu kos baru yang hampir setiap hari mengeluh dengan tabiat dan kinerja asisten rumah tangganya namun pada menit berikut mengucap syukur dalam kepada Tuhan Jesus atas segala rahmat yang sudah diberikan kepada sang ibu dan keluarganya. Saya kadang hanya tersenyum simpul, kadang terkekeh, dan tentu saja saya sepakat dengan wujud syukur beliau. Mengutip beliau, “Tak ada lagi kebahagiaan selain ujud terima kasih atas segala yang kita miliki saat ini, Dek”. Saya mengangguk-angguk sepakat. Konon, itulah obat satu-satunya sang ibu dan bapak kos agar mereka tidak terjebak pada emosi yang labil yang bermuara kepada kegiatan marah-marah nantinya. Lagi-lagi saya tertawa, mengiyakan sekaligus mengingatkan diri sendiri.

Kembali kepada ketakutan-ketakutan saya di awal. Menginjak sebulan menjadi anggota baru di kos baru, saya lagi-lagi belajar tentang perjalanan dan berpindah. Meski kali ini saya hanya berjalan dan berpindah yang tidak begitu jauh dari kos lama, tetapi saya merasakan pengalaman yang begitu dalam, meski tidak dapat dikatakan baru. Sepanjang pengalaman saya berjalan dan berpindah: Mukomuko, mulai ngekos di Padang, menumpang di kontrakan teman lalu kemudian ngekos lagi di Bantul, pindah ngekos di Sleman, ngekos singkat di Pare-Kediri, balik lagi ngekos di Sleman, pindah ngekos di Jakarta tahun pertama, pindah lagi ngekos di Jakarta tahun kedua. Cukup panjang ya? Hehehe.

Pengalaman yang dominan dicatat ya punya tetangga baru, punya kehidupan masyarakat yang baru, pengalaman kuliner, pengalaman mendatangi pasar-pasar tradisional yang berbeda seperti Pasar Godean di Bantul, pasar pagi di Mantrijeron-Prawirotaman, bakul sayur tiap pagi di kosan, pasar pagi di Godean, Pasar Manggis-Rumput di Jakarta, melihat-lihat sayur-buah-jajanan pasar atau cuci mata gratis. Tidak ketinggalan mendatangi lapak-lapak koran dan majalah di jalan utama di kota Padang sembari lari pagi, mengelilingi Masjid Gede di Pemukiman Raja-raja Mataram, menelusuri jalan-jalan desa yang dipenuhi mural, mengenal model pemakaman penduduk, belajar untuk rajin menyapa penduduk desa, akrab dengan makanan-minuman angkringan, kuliner khas Jogja, kuliner Jawa Timur, kuliner tempo dulu dari keraton Jogja dan Solo, naik-turun kereta api, menelusuri jalan-jalan di mana raktik tanam paksa dan rodi pernah terjadi di Jawa, melihat-melihat perkebunan dan pabrik gula, tentu saja tersenyum-senyum melihat berbagai candi dengan latar belakang agama yang tersebar di Jogja, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tidak lupa menepuk-nepuk punggung pantai-pantai, menyicipi daging-daging ikan dari pantai utara pulau Jawa, dan berkenalan, berteman, bersahabat, hingga berpacaran dengan orang-orang berlatang belakang budaya berbeda, hahaha.

Dari setiap perjalanan dan perpindahan pasti selalu ada yang baru yang menjadi hobi atau yang dicoba dilakukan. Mulai dari menulis cerita pendek, novel, belajar keuangan-akutansi-pembukuan, belajar desain grafis-seni rupa-sablon, belajar memainkan alat musik, menonton dan berjoget ria pada konser band-band indie di Jogja, mulai belajar dunia perbatuan, mengenal dunia perselingkuhan dan simpanan, berhadapan dengan kasus KDRT, terlibat dengan kebangkitan orang-orang entrepreneurship, mengikuti banyak diskusi-seminar-training-workshop di kampus dan luar kampus, melihat ibu-ibu membuat wingko-kerupuk beras-pempek-membatik-menguruk lahar gunung merapi-merawat kucing, hingga ikut merawat nenek-nenek.

Tapi saya tidak pernah menimbang efek dari setiap perpindahan ini. Baru kali ini pikiran itu muncul. Merasa yang lama jauh lebih baik ketimbang yang akan dihadapi di depan. Nyatanya, tidak selamanya yang lama selalu lebih baik dan kecemasan yang menganggap yang akan datang tidak lebih baik adalah kekacauan yang bisa jadi fatal. Persis seperti yang saya hadapi awal tahun 2018 ini. Kenyataannya justru yang baru jauh lebih baik daripada yang lama. Mungkin mirip ketika kita menonton film, ketimbang memutar film yang sama berkali-kali alangkah jauh lebih menarik jika kita mencari film yang baru. Kata orang, menonton film yang sama berulang-ulang bisa saja kita menemukan adegan atau pengalaman yang baru akan tetapi akhir cerita akan tetap sama. Ini berbeda jika kita menonton film yang baru.

Cara pandang ini bisa dipakai pada banyak hal lain misalnya mencoba menerima orang yang baru sebagai teman baru, atasan yang baru, relasi kerja yang baru, warung makan yang baru, tempat perbelanjaan yang baru, bahkan pacar atau pasangan yang baru. Membuka diri, optimis bahwa yang baru akan lebih baik dari yang lama cukup membantu saya menikmati perjalanan demi perjalanan dan perpindahan demi perpindahan dari kota satu ke kota yang lain di dalam negeri. Aneh dan lucunya, rasa ini baru muncul baru satu tahun belakangan. Padahal saya sudah melakukan perjalanan dan perpindahan sejak 2007, 10 tahun, satu dekade yang lalu, cukup lama bukan? Hahaha.

Ternyata, saya butuh waktu 10 tahun untuk mengerti apa yang berharga dari sebuah perpindahan dan perjalanan. Dan bisa jadi, pengalaman satu tahun ini belumlah lengkap dan berhenti. Akan ada pengalaman-pengalaman yang lain, yang mungkin akan lebih dahsyat lagi, misalnya tinggal di luar Indonesia, hehehe. Seperti yang dijelaskan oleh seorang penulis perempuan kenamaan, bahwa menjadi perempuan tidak melulu menjadi warga negara di mana ia dilahir-besarkan. Menjadi perempuan ya menjadi penduduk bumi, penduduk dunia, melampaui batas dan garis teritori negara-bangsanya. Luas seluas imajinasinya tentang dunia dan kehidupan. Persoalan identitas pada KTP atau paspor yang terbatas itu, ya itu soal lain. Menjadi penduduk dunia secara substansi ya menjadi penduduk yang melebihi batas fisik teritori. Hidup dari satu kota ke kota yang lain. Hidup dari satu budaya ke budaya yang lain.

Satu dan yang terpenting dari kehidupan yang penuh perjalanan dan perpindahan ini ialah, saya belajar lebih banyak tentang kerelaan, melupakan, meninggalkan, dan semakin suka dengan hal-hal sederhana. Ini terlihat dari seberapa dan berapa banyak bahan material yang mau tidak mau harus saya relakan, tinggalkan, donasikan, dan sejenisnya mulai dari buku, pakaian, perlengkapan dapur-kasur-sumur, dan tentu saja pengalaman dan kenangan. Karena, ketika kita melakukan perjalanan dan perpindahan mustahil membawa semua yang ada bersama kita. Biasanya, sejak melakukan perjalanan dan perpindahan pertama kali pada 2007 silam, saya hanya membawa barang sebanyak 3-4 potong. Itu sudah termasuk pakaian, buku, perlengkapan yang paling dekat dengan diri. Pun ketika melakukan perjalanan selanjutnya. Pelan-pelan saya belajar menjadi irit, tepat guna, sesuai kebutuhan, dan tidak berlebihan baik soal uang yang dikeluarkan maupun ruang yang akan digunakan kelak.

Setiap melakukan perjalanan dan perpindahan hati dan pikiran silih berganti diisi oleh berbagai cerita dan visualisasi kota-kota, desa-desa, jalan-jalan, pasar-pasar, orang-orang, warna-warna, suara-suara, dan tatapan-tatapan. Orang menyebut model hidup begini adalah hidup kosmopolit. Tentu saja ini levelnya masih sangat muda dan pemula. Berbeda dengan orang-orang yang melakukan perjalanan dan perpindahan antarnegara, antarbenua di dunia. Hidup menahun, bekerja tetap, bahkan mengajukan sebagai warganegara asing yang menandai sebagai warga negara dunia yang kosmopolitanisme. Begitu terus, berputar paling tidak setiap satu dekade atau per lima tahun. Beberapa orang yang saya kenal sudah demikian. Diam-diam, curi-curi cerita dari pengalaman mereka. Beberapa ada yang mirip, beberapa ada yang baru saya tahu. Akhirnya, tetap, hidup tak lebih dari satu perjalanan ke perjalanan yang lain, satu perpindahan ke perpindahan yang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Bisnis Laundry di Tengah Mahasiswa

Menjamurnya usaha jasa cuci pakaian kiloan atau laundry di sekitar kampus mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit serta mampu menyerap tenaga kerja di daerah sekitar. Usaha ini pun semakin diminati oleh berbagai kalangan. Kebanyakan para pemilik hanya mengandalkan modal usaha pribadi. Arif Sepri Novan, pemilik Mega Wash Laundry , mengungkapkan mahasiswa merupakan pangsa pasar terbesarnya saat ini. Mahasiswa memiliki banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menyita waktu serta tenaga. Untuk itu peluang membuka usaha laundry di sekitar kampus baginya sangat menjanjikan. “Pasarnya cukup luas dan jelas,” ungkap Arif, Selasa (22/3) siang lalu. Arif pun merintis usaha laundry sejak September 2010 lalu di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP), di Jalan Gajah VII No.15, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ia mempekerjakan dua karyawan untuk mencuci, mengeringkan, menyetrika, serta mengepak pakaian-pakaian tersebut. Setiap hari Mega Wash Laundry menerima hingg