Skip to main content

Yang Warna-warni di Topi Pelindung


Usaha topi pelindung atau helm semakin diminati banyak orang. Omsetnya cukup tinggi hingga menembus jutaan rupiah per hari. Namun, masih ada beberapa penjual yang menjual helm tidak ber-Standar Nasional Indonesia (SNI).

Di lingkungan kampus sendiri, kebutuhan helm semakin banyak setiap tahun. Setiap tahun ajaran baru, mahasiswa baru di kampus-kampus semakin bertambah dan pengguna helm pun meningkat. Peluang ini pun ditangkap oleh Syafrizal, warga Jalan Cendrawasih, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang.

Bermodalkan seadanya, ia menjual helm yang sesuai dengan kantung mahasiswa. Setiap bulan, lelaki 48 tahun ini pun membeli berkoli-koli helm. Satu koli berisi 40 helm dengan jenis dan harga yang sama.

“Rata-rata harganya di bawah seratus ribu rupiah,” jelas Syafrizal, Selasa (22/3) siang lalu.

Lelaki dengan dua putri ini, menjual helm sejak tahun 2003 silam. Ia menjual helm dengan harga Rp 50-75 ribu. Setiap hari ia mampu menjual 3 sampai 5 helm dengan beragam harga. Syafrizal butuh waktu satu hingga tiga bulan untuk menjual satu koli helm. Ia membelinya di beberapa grosiran helm di daerah Tabing.

“Walaupun murah sudah ber-SNI kok,” ungkapnya, sambil duduk merokok di depan kedai helmnya. Namun, jika ada yang menginginkan harga lebih mahal, ia pun menerima pesanan dengan kesepakatan yang dibuat sebelumnya.

Tidak hanya helm, Syafrizal juga menjual spare part dan membuka bengkel motor.

Grosiran helm seperti ruko RMM yang terletak di Jalan Prof. Dr. Hamka, Air Tawar, Kota Padang, menyediakan berbagai model, ukuran, serta harga helm. Ruko ini juga mendistribusikan helm ke beberapa toko eceran di sekitar Kota Padang.

Susilo, 24 tahun, karyawan RMM mengaku usaha helm di Kota Padang sedang berkembang jika dibandingkan dengan kota-kota besar seperti Jakarta atawa Bandung yang lebih dahulu memulainya. Rata-rata pembelinya mahasiswa, biker, serta umum dengan harga kebanyakan di atas seratus ribu rupiah.

“Kebutuhan helm semakin meningkat setiap tahun,” ujar lelaki asal Jawa Tengah ini, Selasa (22/3) lalu.

Setiap hari ruko yang dimiliki oleh urang awak ini bisa menjual enam hingga sepuluh helm dengan beragam merek dan harga. Hasil penjualan itu berkisar satu hingga tiga juta rupiah setiap hari. Belum lagi jika ditambah dengan hasil penjualan grosiran. Walaupun demikian, kadang-kadang ruko ini juga sepi oleh pembeli.

“Ya tergantung bulan dan tahun juga,” ungkapnya.

Menurut Susilo, semakin banyaknya kebutuhan helm semakin banyak pula dijual helm-helm yang tidak ber-SNI. Di Kota Padang banyak helm-helm dijual dari produk home industry.

“Memang setiap helm bertuliskan SNI, tapi belum tentu asli,” ujarnya.

Ia menambahkan, untuk membuktikan helm tersebut asli atau tidak harus teliti ketika membeli. “Helm yang asli tidak akan pecah kaca pelindungnya jika dibanting,” kata Susilo.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...