Keberadaan sinema elektronik atau sinetron semakin banyak mendapat sorotan di masyarakat. Kisah ceritanya ditampilkan dengan puluhan atau bahkan ratusan episode hanya untuk mengisahkan seorang gadis malang yang tiba-tiba dicintai banyak pihak, terutama kaum lelaki. Semua itu dikisahkan berputar-putar, klasik, tak masuk akal, bahkan terkesan lebay. Ada-ada saja yang diarahkan oleh sang sutradara untuk membuat cerita menguras emosi penonton, tapi lebih banyak sumbang.
Pihak yang berkepentingan atau tidak, mengecam keberadaan sinetron yang dinilai merusak moral anak bangsa. Unsur edukasi diabaikan hanya karena demi memperoleh rating tertinggi. Unsur hiburan pun terabaikan. Karena sinetron tak lagi menghibur penonton dengan kisah-kisahnya yang dibuat-buat rumit dan melelahkan. Sinetron, film-film picisan produk dalam negeri, pun menuai berbagai kritik. Isinya bermacam-macam, ada yang ingin mengatur jam tayang sinetron, tak lagi prime time, ada yang mencemooh dan mengolok-olok dengan berbagai cara; lukisan, teaterikal, tulisan, dan sebagainya, namun yang lebih parah mengharamkan sinetron tayang pada tivi-tivi masyarakat dalam negeri.
Walaupun demikian, sinetron tetap saja mendapat tempat hati masyarakat di Tanah Air. Setiap si gadis malang mulai tayang, masyarakat terutama kaum ibu dan remaja putri sudah duduk manis di depan televisi mereka hingga dua atau tiga jam ke depan. Mereka merasa ada yang kurang menjelang tidur dan esok hari jika tidak menyaksikan bagaimana kelanjutan kisah kehidupan si gadis malang malam itu. Tidak sampai di situ, acapkali kisah si gadis malang dibawa-bawa ke kehidupan nyata. Mulai dari mengisahkan ulang kehidupan si gadis di beranda-beranda rumah pada tengah hari hingga mencoba meniru dan melakukan hal-hal yang dilakukan si gadis malang di dalam televisi.
Sepertinya, semakin banyak pihak yang mencoba ‘membumihanguskan’ sinetron, semakin banyak pula pihak-pihak yang menyuburkan salah satu lahan usaha ini. Para remaja digaet untuk ambil tempat dalam dunia sinetron Tanah Air. Remaja-remaja ini dijanjikan dan diperkenalkan dengan kehidupan kota, hedon, dan tentunya bebas. Tak jarang, bagi seorang artis besar dan tersohor, sinetron merupakan salah gerbang menapaki kehidupan yang lebih makmur.
Masyarakat semakin terbuai dengan keberadaan sinetron setiap malam di rumah mereka. Sinetron bagi mereka menjadi peri tidur guna meninabobokan masyarakat yang telah lelah bekerja dari pagi hingga petang bahkan malam, namun kelak uang mereka dijarah penguasa. Masyarakat tak sadar lagi telah dibodohi dan diiming-imingi kehidupan super dupel mewah dan megah. Mereka hanya tahu bagaimana menghilangkan kepenatan dengan mempelototi body-body cantik, seksi, dan gagah tanpa pernah mendalami apa maksud dari cerita yang dikisahkan.
Kondisi ini memang memprihatinkan. Masyarakat kita dibodohi oleh orang-orang sebangsa dan setanah air hanya demi kepentingan kelompok dan golongan dengan dalih hiburan serta tren masa kini. Dan semakin banyak orang-orang sebangsa yang berbuat seperti itu. Atau jangan-jangan masyarakat kita paham dan bosan dengan kehidupan yang serba pahit di Bumi Pertiwi ini kemudian beralih menggandrungi lakon-lakon fiksi namun sempurna dan mampu melupakan kepahitan hidup walau sesaat.
Pihak yang berkepentingan atau tidak, mengecam keberadaan sinetron yang dinilai merusak moral anak bangsa. Unsur edukasi diabaikan hanya karena demi memperoleh rating tertinggi. Unsur hiburan pun terabaikan. Karena sinetron tak lagi menghibur penonton dengan kisah-kisahnya yang dibuat-buat rumit dan melelahkan. Sinetron, film-film picisan produk dalam negeri, pun menuai berbagai kritik. Isinya bermacam-macam, ada yang ingin mengatur jam tayang sinetron, tak lagi prime time, ada yang mencemooh dan mengolok-olok dengan berbagai cara; lukisan, teaterikal, tulisan, dan sebagainya, namun yang lebih parah mengharamkan sinetron tayang pada tivi-tivi masyarakat dalam negeri.
Walaupun demikian, sinetron tetap saja mendapat tempat hati masyarakat di Tanah Air. Setiap si gadis malang mulai tayang, masyarakat terutama kaum ibu dan remaja putri sudah duduk manis di depan televisi mereka hingga dua atau tiga jam ke depan. Mereka merasa ada yang kurang menjelang tidur dan esok hari jika tidak menyaksikan bagaimana kelanjutan kisah kehidupan si gadis malang malam itu. Tidak sampai di situ, acapkali kisah si gadis malang dibawa-bawa ke kehidupan nyata. Mulai dari mengisahkan ulang kehidupan si gadis di beranda-beranda rumah pada tengah hari hingga mencoba meniru dan melakukan hal-hal yang dilakukan si gadis malang di dalam televisi.
Sepertinya, semakin banyak pihak yang mencoba ‘membumihanguskan’ sinetron, semakin banyak pula pihak-pihak yang menyuburkan salah satu lahan usaha ini. Para remaja digaet untuk ambil tempat dalam dunia sinetron Tanah Air. Remaja-remaja ini dijanjikan dan diperkenalkan dengan kehidupan kota, hedon, dan tentunya bebas. Tak jarang, bagi seorang artis besar dan tersohor, sinetron merupakan salah gerbang menapaki kehidupan yang lebih makmur.
Masyarakat semakin terbuai dengan keberadaan sinetron setiap malam di rumah mereka. Sinetron bagi mereka menjadi peri tidur guna meninabobokan masyarakat yang telah lelah bekerja dari pagi hingga petang bahkan malam, namun kelak uang mereka dijarah penguasa. Masyarakat tak sadar lagi telah dibodohi dan diiming-imingi kehidupan super dupel mewah dan megah. Mereka hanya tahu bagaimana menghilangkan kepenatan dengan mempelototi body-body cantik, seksi, dan gagah tanpa pernah mendalami apa maksud dari cerita yang dikisahkan.
Kondisi ini memang memprihatinkan. Masyarakat kita dibodohi oleh orang-orang sebangsa dan setanah air hanya demi kepentingan kelompok dan golongan dengan dalih hiburan serta tren masa kini. Dan semakin banyak orang-orang sebangsa yang berbuat seperti itu. Atau jangan-jangan masyarakat kita paham dan bosan dengan kehidupan yang serba pahit di Bumi Pertiwi ini kemudian beralih menggandrungi lakon-lakon fiksi namun sempurna dan mampu melupakan kepahitan hidup walau sesaat.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^