Alunan saluang menyayat dari kejauhan. Suaranya berkejaran dengan deru sepeda motor dan mobil yang lewat. Seakan tak mau tahu, Rizal dengan khusyuk memainkan saluang dan suliangnya bergantian. Berharap kepada siapa saja yang datang dan berkenan memberinya uang barang seribu atau berapa pun. Selembar ribuan pun dimasukkan oleh seorang pemuda ke dalam kardus bekas di depan Jasril.
“Mokasih (terima kasih_red),” katanya sambil memamerkan senyum terindah yang ia miliki.
Hembusan angin sore ikut serta mengabarkan alunan saluang dan suliang itu kepada siapa saja yang berlalu lalang di sekitar lapangan sepak bola Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Padang sore itu, Rabu (15/3) lalu. Sesekali beberapa mahasiswa yang sedang jogging ataupun bermain bola kaki melempar pandang ke arah Rizal. Ada juga dari kejauhan beberapa mahasiswa memperhatikan laki-laki berusia 35 tahun itu memainkan alat-alat musik yang dibawanya.
Rizal telah 19 tahun menghabiskan hidupnya dengan saluang. Sejak berhenti dari sekolah dasar kelas empat, ia pun menekuni dan menggantungkan hidup dengan saluang hingga sekarang. Dari Alahan Panjang, Solok, Rizal berhenti di beberapa rumah makan guna memperlihatkan kehebatannya memainkan saluang. Tak puas dengan saluang, beberapa bulan ini ia pun menekuni bermain suliang.
Pendapatan Rizal setiap hari tidaklah banyak. Ia mengantongi sekitar Rp 60 ribu per hari. Dan tiap hari pula ia harus mengeluarkan Rp 30 ribu untuk ongkos pulang pergi dari Alahan Panjang ke Kota Padang. Sisanya untuk belanja lelaki lajang ini sehari-hari.
“Awak alun punyo bini (saya belum beristri_red),” ujarnya sambil membuang pandang ke mahasiswa-mahasiswa yang sedang berolahraga. Saban hari ia bertolak dari Alahan Panjang sekitar pukul 11.00 WIB dan kembali ke rumah peninggalan orang tuanya di kampung larut malam.
Bagi Rizal, mengamen dengan saluang dan suliang lebih menarik dan mulia daripada meminta-minta. Ia tidak tertarik sama sekali jika hanya meminta sedekah kepada orang-orang untuk hidup. Memberikan keindahan bunyi dan menghibur orang yang berseliweran di sekitarnya melahirkan keasyikan dan ketenangan tersendiri bagi Rizal.
“Ndak masuak doh kalau mamintak-mintak di pasa (tidak sesuai bagi saya kalau meminta-minta di pasar),” ujarnya.
Untuk itu, Rizal pun tidak melulu ngamen di tempat yang sama setiap hari. Ia akan beranjak dari satu daerah ke daerah lain secara bergantian.
“Biasonyo limo hari awak baaliah lai (setelah lima hari saya berpindah tempat ngamen_red),” pungkasnya. Hal ini menurutnya agar orang-orang di daerah itu tidak bosan dengan permainan saluang dan suliang serta dirinya.
Rizal mengaku baru pertama kali ngamen di kampus, tepatnya di UNP. Pengalaman ngamen di kampus, diakuinya tidak mendapatkan banyak penghasilan dibanding ngamen di rumah makan ataupun di trotoar-trotoar.
“Mungkin bisuak ndak kamari lai (mungkin besok tidak ke sini lagi_red), ” jelasnya sambil mengelus-elus saluang di pangkuannya.
Kali ini ia sengaja datang ke Kota Padang untuk bermain saluang. Biasanya ia ngamen di rumah makan di Sungai Rumbai, Bungo, Gunuang Medan, dan daerah lainnya. Ketika ditanya Haluan apakah ia berniat menikah, Rizal hanya menggeleng lemah sambil berujar, “Alun ado jodoh lai (belum jodohnya_red),” diiringi gelak renyah Rizal.
Asing dengan tulisan sendiri :(
ReplyDeletesungguh miris melihat para musisi negeri ini..
ReplyDelete