Skip to main content

Memoar Pengrajin Sepatu



Di tengah semakin maraknya industri rumahan yang memproduksi sepatu dengan memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi, Jasrizal, 52 th, tetap memberdayagunakan peralatan dan kemampuan seadanya. Di kiosnya yang berukuran sekitar 3m x 3m di Jalan Prof. Dr. Hamka No 75, Air Tawar Barat, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, pria asal Padang Pariaman ini mengerjakan semua tahap pembuatan sepatu secara manual dengan perlengkapan seadanya. Di sekitar ia duduk, berserakan perlengkapan pembuatan sepatu, seperti gunting, obeng, lem sepatu, benang, paku-paku kecil, serta peralatan lainnya. Tak jauh darinya, berdiri mesin jahit Singer yang telah berumur puluhan tahun.
Sejak 25 tahun lalu, Jas, begitu akrabnya, sudah menghuni kios itu. Warga Siteba ini menyewa kios tersebut sebesar Rp 3,5 juta setiap tahun. Kios itu merupakan ‘sawah dan ladang’ Jas serta keluarga. Dengan kios dan usaha pembuatan sepatunya, Jas telah menamatkan sekolah lima dari tujuh anaknya. Kebanyakan anak-anak Jas lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sebagian telah menikah dan bekerja. “Dua orang lagi sedang (menempuh) SMP (Sekolah Menengah Pertama),” ungkap Jas, Minggu pagi (27/2) lalu.
Setiap hari, rata-rata Jas memperoleh Rp 200 ribu dari hasil pembuatan serta perbaikan sepatu dari orang-orang yang berkunjung ke kiosnya. Ia pun selalu mengusahakan membuka kiosnya setiap hari, mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB. “Semakin sore dan malam, semakin ramai,” jelas Jas sambil mengganti beberapa alas sepatu pelanggannya.
Keterampilan membuat sepatu diturunkan oleh sang ayah kepada Jas sejak ia berumur belasan tahun. Anak-anak Jas pun mahir membuat serta memperbaiki sepatu yang rusak. Namun, tak satu pun dari anak-anaknya yang mewarisi usaha Jas. Anak-anak Jas lebih memilih bekerja di bidang lain, seperti dua anaknya yang bekerja pada proyek pembangunan masjid di Kota Padang. “Dan saya tak pernah memaksa mereka (mewarisi usaha ini,red),” katanya. Lagi pula, tambah Jas, terlalu banyak yang mengelola usaha yang sederhana ini juga tidak baik. Membiarkan mereka bekerja di tempat lain, tentu akan menambah pengalaman mereka.
Melakoni pekerjaan membuat dan memperbaiki sepatu tak pernah membuat Jas rendah diri. Ia bangga dengan pekerjaannya yang selalu bertemu dengan orang-orang yang baru dikenal serta ‘penting’. “Yang ngesol sepatu di sini, rata-rata polisi, tentara, guru, dosen, serta mahasiswa,” ungkapnya sambil tertawa. Selain itu, Jas merasa kehidupannya lebih bermakna dengan lebih banyak menjalin keakraban daripada hanya mencari uang melulu. “Beberapa kali saya tidak meminta upah dari pelanggan,” jelasnya.
Namun, Jas juga mempunyai angan-angan untuk membesarkan usahanya. Dua tahun lalu ia menderita kecelakaan. Operasi di kepalanya yang memakan biaya puluhan juta pun tak dapat dielakkan. Jas kekurangan modal untuk membangun usahanya kembali. Hingga sekarang ia hanya mengandalkan modal usaha yang tersisa. Tiga lelaki yang sering membantu Jas di kios juga tak bekerja lagi.
Suami dari Silvia, 47 th, ini enggan untuk meminjam modal usaha pada bank ataupun koperasi. Baginya, selain urusan yang berbelit-belit, juga disebabkan bunga peminjaman yang besar. Ia merasa justru semakin diberatkan dengan sistem peminjaman tersebut. Hingga sekarang, Jas melakoni usahanya dengan modal dan keadaan seadanya. “Modal usaha selalu jadi kendala. Ya, semoga ada yang berniat membantu dengan cara yang lebih mudah,” terangnya sambil menyelesaikan sol sepatu.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...

Gilby Mohammad