Skip to main content

Dari Pasal ‘Karet’ hingga KPU

Kriminalisasi atau terpidananya seorang wartawan semata-mata dikarenakan ketidakprofesionalan mereka bekerja dalam memberitakan suatu perkara dan sebagainya. Kejahatan penghinaan ini disebutkan pada pasal 310, 311, dan 315 dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). “Tidak hanya wartawan, penerbit dan percetakannya pun bisa dijerat,” jelas Rusdi Zen, SH, pengacara serta Ketua DPD KAI Sumatera Barat, Jumat (25/2) lalu, di kantor Harian Umum Haluan Kompleks Lanud, Tabing, Kota Padang.
Rusdi menambahkan, kejahatan atau delik yang dilakukan melalui media massa merupakan delik umum. Sebagai delik umum, pasal-pasal yang digunakan pun bebas untuk menjerat si pelaku. “ Jadi para wartawan ini dijerat tidak selalu dengan UU Pers No 40 itu,” ungkapnya. Agar wartawan ataupun profesi lainnya tak terpidanakan, kepatuhan terhadap kode etik atau profesi sangat diutamakan.
Pemberian materi dalam Pelatihan Jurnalistik Haluan Media Group Angkatan 1 tahun 2011 ini tidak hanya tentang delik pers tetapi juga menghadirkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Barat, Marzul Veri. Ia menyampaikan materi tentang sosialisasi atau pendidikan politik bagi masyarakat untuk memilih presiden, anggota dewan, serta kepala-kepala daerah.
Marzul menyayangkan masih adanya bias Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK dan BKK) di kampus-kampus yang pernah diterapkan, tidak hanya di Sumatera Barat tapi juga di daerah lain. NKK dan BKK menuntut kampus bersih dari segala aktivitas perpolitikan. Hal ini menyebabkan mahasiswa tidak peduli dengan politik serta pemilihan-pemilihan kepala daerah di daerahnya. “Dan tingkat tertinggi golput itu ada pada mahasiswa,” ungkapnya di depan 26 peserta pelatihan.
KPU, tambah Marzul, bertindak sebagai pelaksana, mengikuti aturan perundangan serta menyukseskan pemilihan umum. Kesuksesan ini tentu harus dibantu oleh masyarakat sebagai partisipan terbesar. Dalam menjalankan tugasnya, KPU harus bersikap netral, tidak memihak salah satu calon atau partai. “Kasus ada anggota KPU dari partai politik, wah saya tidak ikut-ikut,” ujarnya sambil tertawa.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...