Skip to main content

Paham Berita dan Kode Etik Jurnalistik


Seorang wartawan dituntut paham dengan konsep berita serta mampu menuliskannya dengan baik kepada pembaca. Selain itu, sebagai pengemban profesi jurnalis ia harus bekerja secara profesional dan menjunjung tinggi etika profesi sebagai landasan ia berpijak. Hal ini menjadi topik utama pembicaraan pada pelatihan jurnalistik di Harian Umum Haluan, Senin (7/3) lalu.
Nilai berita berkaitan dengan rasa ingin tahu khalayak atau seseorang terhadap suatu peristiwa, informasi, atau apapun yang berkaitan dengan diri, kehidupan, lingkungan, pekerjaan, sejarah masa lalu, hobi atau kegemarannya. Hal ini disampaikan H. Hasril Chaniago, Konsultan Pengembangan Media di depan sekitar 30 peserta Pelatihan Jurnalistik Haluan Media Group Angkatan 1 tahun 2011, Senin (7/3) lalu di kantor Harian Umum Haluan Kompleks Lanud, Tabing, Kota Padang.
Ia menambahkan nilai berita terdiri atas beberapa hal, seperti kebaruan, daya kejut, pengaruh atau cakupan, kedekatan, keanehan, ketokohan, kemanusiaan serta nilai bisnis. Dalam perusahaan pers, tambah Hasril, idealisme suatu koran harus dijaga dengan baik. Nilai bisnis dalam berita bukan untuk mengaburkan atau menghilangkan idealisme, tapi justru menguatkan. “Idealisme harus disokong dengan nilai ekonomi agar koran kita tetap dibaca orang,” jelas Hasril.
Dalam pelatihan itu juga hadir Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Sumatera Barat, Basril Basar. Ia memberikan materi seputar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta menampilkan berbagai permasalahan seputar media. KEJ merupakan sekumpulan aturan yang akan menuntun wartawan dalam bersikap dan berbuat ketika menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Beberapa pasal pun disampaikan Basril sebagai salah satu contoh aturan yang harus ditaati baik oleh media pers maupun wartawan sendiri.
Basril menambahkan, persuratkabaran pada dasarnya tidak hanya memiliki peran sebagai penyampai informasi, namun juga memiliki peran lain yang lebih utama. Pers juga berperan sebagai media pendidikan, hiburan, perekonomian, serta kontrol sosial bagi pemerintah ataupun masyarakat. “Peran ini harus seimbang dijalankan,” jelasnya, Senin (7/3) sore lalu.
Ia juga menyinggung tentang kebebasan pers di Tanah Air. Kebebasan pers merupakan hak asasi manusia. Pemerintah tak boleh campur tangan atau mengintervensi pers dengan cara apapun. “Apalagi membredel pers,” tegasnya. Walaupun demikian, bukan berarti pers memiliki kebebasan mutlak. Pers tetap memperhatikan norma-norma agama, adat, sosial, serta menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dalam pemberitaannya.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...