Skip to main content

Deretan Barak di Politeknik Negeri Padang

Kafetaria menjadi tujuan pertama pelepas penat setelah disibukkan dengan berbagai kegiatan perkuliahan. Kafetaria tidak hanya sebagai tempat memesan dan mengisi perut dengan berbagai jajanan. Tetapi, juga sebagai berkumpul, bersenda gurau, berdiskusi, ataupun sebagai tempat pacaran. Begitu juga dengan kafetaria-kafetaria di Politeknik Negeri Padang (PNP). Mahasiswa di sini menyebutnya dengan barak.
Sejak pukul 07.00 WIB, kafetaria-kafetaria ini telah menjajakan berbagai makanan serta minuman yang diminati mahasiswa. Harganya pun tentu disesuaikan dengan kantung mahasiswa. Walaupun sederhana dan bahkan seadanya, tetap saja kafetaria-kafetaria ini diramaikan oleh mahasiswa menjelang sore.
Rosna (52), warga Kelurahan Koto Tuo, kompleks Universitas Andalas, setelah azan subuh berkumandang segera mendatangi baraknya. Ditemani oleh suami atau anak gadisnya, Rosna pun memulai beraktivitas, seperti memasak nasi, membuat gulai atau sambal, menyiapkan bahan-bahan lotek, memasak lontong sayur, serta makanan lainnya.
Ni Ros, begitu akrabnya, telah berjualan di PNP sejak tahun 1993. Ia bersama beberapa penjual makanan lainnya telah dua kali digusur oleh pihak PNP selama berjualan di kampus itu. Terakhir, pihak PNP menyiapkan tempat berjualan dalam bentuk deretan kios seukuran 5m x 4m per orang bagi masyarakat di sekitar PNP sebagai bentuk penertiban. Setiap pedagang dikenakan sewa barak Rp 7000 per hari. “Tapi saya hanya membayar Rp 5000,” ujarnya sambil tertawa, Selasa (1/3) lalu.
Bagi Ni Ros dan teman-temannya, barak yang disediakan PNP belum mencukupi untuk menampung barang-barang mereka. Secara serempak mereka pun memperpanjang luas barak menjadi sekitar 10m x 4m ke arah belakang dan beberapa meter ke depan. Alhasil barak mereka pun semakin luas, siap menampung ratusan mahasiswa PNP yang datang ke sana.
Barak ini bagi Ni Ros merupakan sumber pertama mata pencaharian keluarga mereka. Keberadaan mahasiswa pun cukup menentukan pendapatan mereka setiap hari. Jika musim libur, Ni Ros dan teman-teman pun sepi penghasilan, karena kebanyakan mahasiswa tidak ke kampus. Begitu juga jika perkuliahan kembali normal. Setiap hari Ni Ros bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp 500 ribu. “Dan barak ini hampir setiap hari dibuka,” jelasnya sambil mengulek cabe.
Menghadapi berbagai ulah mahasiswa, yang kadang tidak membayar setelah makan di baraknya, Ibu tiga anak ini pun merelakan semua itu. Baginya, kelak si mahasiswa akan merasa berdosa kemudian melunasinya. Sebuah foto kelas mahasiswa PNP berukuran 10R terpampang di gerobak nasi Ni Ros. Hal ini menandakan mahasiswa-mahasiswa tersebut dulu akrab Ni Ros. “Setiap barak memiliki pelanggan dari berbagai jurusan,” tutupnya.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...