Skip to main content

Ngayogjazz = Pertunjukan Seni di Societet?



PAGELARAN Ngayogjazz 2012 di desa wisata Brayut tempo hari lumayan membuat saya terkagum-kagum. Selain konsep yang ditawarkan panitia penyelenggara yang tak biasa dan terkesan kontradiktif, antusias penonton juga menjadi poin penting yang tak bisa saya kesampingkan. Penonton iven akbar setiap tahun di Yogyakarta ini memang didominasi oleh anak muda.

Hari itu sejak siang hingga malam hujan tak kunjung berhenti mengguyur kota Yogyakarta. Sementara penyelenggara acara tak mungkin membatalkan pagelaran musik yang kata banyak orang adalah musik bernapaskan perlawanan. Ngayogjazz harus tetap diselenggarakan. Karena anak muda yang banyak itu tak mungkin dihalau kembali pulang.
Pemandangan yang menarik bagi saya adalah langkah-langkah anak muda yang dibalut mantel hujan, berpayung jaket, atau merelakan diri basah kuyup di malam dingin itu. Saya pikir ini pengorbanan yang tak mudah. Ketika diri direlakan terancam pilek esok hari namun logika mengundurkan diri tak terbersit disana, agaknya semangat menonton ini yang berhasil panitia penyelenggara tanamkan dengan cukup baik. Maka, penonton Ngayogjazz malam itu adalah anak muda yang riang gembira nyeker di tengah kampung dan di depan idola mereka.

Anak Muda di Depan Panggung

Di depan panggung keprak, panggung luku, panggung caping, panggung pacul, panggung lesung, dan panggung ani-ani yang terlihat hanyalah deretan anak muda berdiri dengan baik, sesekali menggeleng-geleng atau mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki, melambaikan tangan, serta sorak tepuk tangan di tengah hujan malam. Meski telapak tangan dan jari mengeriput karena basah dan kedinginan selama tiga hingga lima jam, jari-jari itu tetap saja tak berhenti melentik-lentik sebagai ekspresi kegirangan. Begitulah reaksi penonton di bawah guyuran hujan akhir tahun 2012 itu.

Jari-jari yang melentik kegirangan itu adalah jari-jari anak muda atau jari-jari yang bersemangat muda. Jari-jari yang kata teman saya adalah jari-jari anak muda dari kelas menengah dan selera musik berbeda. Jari-jari yang datang ke desa brayut itu dengan honda jazz atau skooter matic, meski kendaraan bukan penentu segalanya. Dan jari-jari yang tengah melawan terhadap arus musik dominan baik di kota ataupun negeri ini.

Anak muda memang tak bisa dilepaskan dengan musik dan tetek bengeknya. Pun begitu dengan musik yang mustahil lepas dari anak muda. Hanya saja dalam kotak Ngayogjazz anak muda ini bukanlah anak muda seperti terlihat pada konser-konser musik kebanyakan. Ada beberapa hal yang dapat dilihat dari kriteria anak muda yang datang ke pagelaran Ngayogjazz ini. Selain kendaraan dan penampilan dari anak muda, cara anak muda menonton Ngayogjazz juga berbeda.

Anak muda penonton Ngayogjazz biasanya lebih nyaman berdiri dan beraksi kecil-kecilan di bumi yang mereka pijak, yakni di atas tanah dua telapak kaki itu saja. Tak menyerempet kemana-mana dan tak ugal-ugalan. Anak muda ini juga tidak berteriak-teriak. Sesekali mereka tertawa dan bersorak kecil sebagai ungkapan kegembiraan. Suasana menonton aksi panggung idola ini saya pikir juga menarik. Mereka lebih ‘rapi’ dan ‘tertib’ dalam menonton –saya tidak menyebut ‘rapi’ dan ‘tertib’ itu dalam konsep menyandingkan baik dan buruk. Tapi suasana ini saya cermati sebagai keinginan yang hanya untuk ‘menonton’ –bisa jadi juga belajar bagaimana beraksi di atas panggung bagi mereka musisi muda.

Panggung Ngayogjazz saya umpamakan seperti panggung dimana kesenian tinggi ditampilkan. Pada kesenian tinggi, misal penampilan taeter di panggung-panggung gedung kesenian Societet (nama gedung kesenian di Taman Budaya Yogyakarta), penonton ‘diajarkan’ untuk tidak sembarang melakukan aksi ketika pertunjukan berlangsung. Ada aturan main yang dimainkan oleh aktor di atas panggung ataupun penonton sendiri. Aturan ini sebenarnya sudah dipahami bersama-sama. Tidak lagi disampaikan dalam setiap pertunjukkan.

Saya pikir ada kesamaan dalam pagelaran Ngayogjazz baru-baru ini. Penonton Ngayogjazz memang tidak reaksional ketimbang penonton konser musik pop, rock, atau dangdut. Mereka lebih adem dan tenang. Bukan berarti mereka pasif. Sama halnya dengan penonton konser musik lainnya, aktif. Aturan main yang saya umpamakan dengan pertunjukan kesenian di atas panggung tadi saya gunakan sebagai melihat ada kemiripan dengan pagelaran Ngayogjazz.

Perbedaannya terletak pada ruang. Ngayogjazz di tempat terbuka dan penonton bebas menonton dari sudut mana saja. Bebas berpindah-pindah. Sementara kesenian di gedung-gedung kesenian penonton diharuskan menonton pada sudut pandang tertentu. Misal hanya dari depan, dari awal hingga akhir pertunjukan, penonton berada pada posisi tetap.
Apa arti di balik kecenderungan penonton dan cara mereka menonton?

Menurut saya, meski musik jazz diramu sedemikian rupa di tangan seniman Yogyakarta, keberadaan dan perkembangan musik ini masih berada pada kelas menengah dan atas. Mulai dari siapa yang menonton, cara mereka menonton, ekspresi penonton – meski tontonan ini gratis semacam tontonan rakyat. Tontonan rakyat, tapi rakyat yang mana dulu? Ialah rakyat dari kelas sosial, selera musik yang kata orang tidak dominan –meski jazz mulai mendominan di tengah masyarakat (kelas menengah dan atas baru).
Pun faktor seniman atau budayawan juga tak dapat ditampik dalam hal ini. Si penonton jika bukan dari anak muda kuliahan, eksekutif muda dengan selera musik jazz, pastilah juga mereka yang asyik masyuk berkecimpung dalam dunia kesenian; musik, tari, lukis, sastra, dll. Dunia seniman dan budayawan yang akrab dengan dunia literer atau literacy ini tak dapat dipungkiri masih kurang dipahami oleh masyarakat dominan.

Faktor tempat Ngayogjazz digelar hemat saya hanya berdampak secara ekonomi dan pariwisata kepada penduduk di sana. Di desa wisata Brayut ketika Ngayogjazz digelar, kampung ini memang mendapat pemasukan cukup besar. Ini bisa terlihat dari aktivitas masyarakat desa berjualan sampai tengah malam, losmen-losmen atau penginapan penuh terisi, tukang parkir kebanjiran pendapatan, dan sebagai ajang promosi kampung kepada pengunjung yang menonton. Sementara pada sisi budaya atau kesenian, Ngayogjazz tidak berpengaruh. Karena Ngayogjazz tidak menampilkan ‘pure’ kesenian daerah Brayut meski ada beberapa alat musik tradisi dipakai dalam pertunjukan. Menurut saya, bisa jadi semangat Ngayogjazz –hanya- untuk membantu perkembangan kampung dalam hal pariwisata dan promosi kearifan lokal. Sementara perkara apakah masyarakat setempat menikmati musik jazz atau tidak, bukanlah soal utama.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he