Skip to main content

Industry + Life Style = Prestige?



KETIKA maskapai Garuda Indonesia menggandeng brand sebesar Liverpool sebagai rekan kerja mereka, kira-kira apa yang terbayang oleh segenap jajaran Garuda dan rakyat Indonesia yang menonton ketika The Reds berlaga? Satu bayangan yang tak mungkin disangkal adalah logo dan tulisan Garuda Indonesia menari-nari di papan Light Emitting Diode (LED) yang mewarnai tepi lapangan di Stadion Anfield. Bukan main kembang kempisnya hidung! Bangga?

Dunia bola (baca; sepak bola) sudah menjadi rahasia umum bukanlah dunia olahraga dan industri semata. Dunia bola telah bertransformasi menjadi gaya hidup atau life style -dan tengah bertransformasi entah akan menjadi apa lagi setelah ini. Ia adalah dunia yang addict sekaligus dengan peminat terbanyak sebagai primadona di bumi. Hampir genap seratus persen penduduk bumi ini -barangkali termasuk setan dan malaikatnya- mengelu-elukan agar jagoan mereka mencetak gol sebanyak mungkin di karpet hijau. Dunia yang tak bisa diterima dengan akal sehat jika anda duduk di kursi reliji sekalipun.

Kembali ke Garuda. Kenapa Garuda menggaet Liverpool? Sementara Barcelona, Chelsea, Real Madrid, MU, dan banyak lainnya justru tak dilirik? Faktor ekonomi sepertinya tak bisa disangkal dalam urusan gaet-menggaet ini. Liverpool adalah klub yang cukup tua dan terbesar di Britania Raya. Tentu Garuda melihat ini tidak semata tua dan besar. Tapi pasar The Reds (baca; fans) di Asia dan bahkan merembes ke Australia -tempat Garuda jeda setelah capek hilir mudik terbang- tak kalah besar dibanding dengan di Benua Biru, Amerika, serta Afrika. Nominal ini tak boleh Garuda abaikan setelah riset panjang hingga memutuskan kontrak dengan Liverpool untuk tiga tahun mendatang.

Lalu, kemudian muncul sentimentil dari dalam negeri kepada Garuda seperti dari PSSI, Tim Nasional -baik anak asuhan maupun pelatih asuhannya- serta persi-persi lainnya. Kenapa tidak kami? Sembari menunjuk hidung dengan nada agak cemburu. Jika begitu, saya juga bisa sentimentil dengan gugatan bernada lokalis-nasionalis. Kenapa Garuda tidak menggaet Semen Padang FC saja? Itu kan klub bola dilengkapi sejuta rasa khas makanannya yang sudah diakui oleh seluruh lidah penghuhi jagat ini bahwa maknyuss! Dengan maknyuss apakah Garuda tidak melihat peluang pasar yang jauh lebih besar, menjanjikan, dan sangat nasionalis?

Ehm! Jawabnya, boleh jadi agak sedikit sinis dan membuat gerah para pejuang sepak bola negeri ini. Ketika Garuda menggaet klub anak negeri artinya sama saja ia ‘dipaksa’ bertransformasi menjadi transportasi darat. Maka akan ada Garuda Busway, Garuda Oplet, Garuda Tranex, atau bahkan Garuda Bajaj. Tentu ini tidak lucu, mengingat secara kualitas, Indonesia memang tak punya maskapai yang diandalkan selain burung besi satu ini. Jadi, perhitungan matematisnya tidak sesederhana itu.


Prestise akan Barat

Dalam konteks asuhan, Garuda memang tidak lahir yatim piatu. Ia anak kandung negeri ini yang selalu disuapi 4 sehat 5 sempurna plus disekolahkan dengan sebaik-baiknya sekolah (baca; perusahaan BUMN). Sebagai anak yang lahir di negeri ini, cita-cita memajukan dan meng-internasionalkan tanah air memang agak wajib hukumnya. Di sini prestise atau gengsi dimulai dan dipertahankan.

Kembali ke paragraf pembuka tadi. Jika logo dan tulisan Garuda menari-nari di depan jutaan pasang mata anak negeri di Stadion Gelora Bung Karno, bandingkan dengan di Anfield yang katanya sangat internasional itu, hampir tak ada prestisenya. Bukan lantas tidak nasionalis. Alasannya, suporter bola yang justru ramai di teve karena berita sumbang ini hampir-hampir jarang duduk di kursi Garuda, itu pertama. Dan kedua, sangat dipercaya mereka tidak akan menghadiri tanding Liverpool di Anfield kecuali di layar kaca. Faktor utama tentu saja perihal biaya. So, secara tak tik ekonomi saja option ini tak memperlihatkan statistik menanjak. Apalagi prestise. Maka pikir-pikir lagi.

Di sini, keputusan Garuda menggaet The Reds menjadi partnership tak sebatas mengharapkan keuntungan ekonomi, tapi agaknya juga mengangkat wibawa -agar lebih internasional- sebagai maskapai penerbang nomor wahid di Indonesia. Sekedar pengingat, sebagai bekas jajahan Barat (Eropa), kebanyakan kita (lapisan bawah, menengah, atas) serta lembaga swasta dan pemerintah di negeri ini menganggap Barat masih agung dan patut dicontoh sedetil-detilnya. Bangsa ini masih menjadikan Barat sebagai kiblat ekonomi, politik, dan budaya hingga abad dan detik ini. Ini tidak kebetulan, ini adalah warisan tuan-tuan majikan sejak berabad lalu.

Ketika Garuda Indonesia disebut-sebut di tengah ribuan pasang telinga orang Barat menjelang laga tanding Liverpool, saat itu mungkin Garuda tengah bernostalgia akan masa silam dengan bangsa Eropa. Atau jangan-jangan ini strategi cerdas Garuda ingin memberikan ‘pengaruh’ dan pelan-pelan memasang ‘candu’ kepada Barat agar ‘equal nation’ itu semakin jelas terbentuk. Apakah cara halus berbungkus industri ini mengusung semangat untuk kedigdayaan Indonesia kelak? Entahlah. Tapi, jika semestinya memajukan bangsa ini masih dengan gengsi akan Barat, cara Garuda layak diberi applause meski gemeretak gigi tak sanggup disurukkan.

#foto dari internet

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he