Skip to main content

Politik UKM di Sekolah Pascasarjana



UNIT Kegiatan Mahasiswa pada tataran Pascasarjana agak berbeda semangat dan rohnya dengan program sarjana. Pasalnya selain faktor usia, faktor kepentingan pribadi -atas nama kepentingan UKM- kerap muncul tanpa disengaja atau bahkan disengaja. Bisa dalam bentuk barter produk usaha, promosi usaha, atau menerapkan aturan main sendiri -yang notabene untuk kepentingan sendiri atau kelompok.

Menurut saya agak riskan dan mendulang air di muka, salah dulang kena muka sendiri. Sama halnya dengan politik kepentingan pribadi dalam UKM. Salah langkah, muka sendiri akan dibabat habis karena ulah sendiri yang kepalang 'rakus' dan mau menang sendiri.

Berorganisasi kampus pada jenjang magister saya pikir sah-sah saja dan cenderung dengan kajian lebih dalam. Kalau hanya sebagai iven organizer, saya pikir sayang ilmu yang telah dipelajari pada tingkat magister namun berpikir picik dan hanya berputar-putar soalan uang dan perut. Tak ada yang menarik dan berarti jika relasi antaranggota sudah digantikan dengan kepentingan angka-angka dalam rupiah.

Tulisan ini lahir karena senyatanya begitu terjadi di dunia realitas -sekolah pascasarjana. Memang dimanapun kita berada akan ada oknum-oknum yang tak lagi atau tak tahu -tak mau tahu- cara 'menghormati dan menghargai' kerja kelompok dan perbedaan dalam kelompok. Pernyataan 'kita sudah kepepet' atau 'waktu tak banyak lagi' kerap menjadi kartu truf yang mematikan ide-ide lain dari rekan kerja. Pernyataan ini mampu mengalahkan 'kemukjizatan' kerja kelompok dan partisipasi subjek-subjek yang dianggap 'pinggiran'.

Relasi kuasa -lebih senior, lebih menguasai medan, dan merasa lebih pintar- juga tak dapat dielakkan sebagai pemicu chaos di dalam kerja kelompok. Implikasinya rekan-rekan di bawah yang hanya menunggu utusan -karena memang begitu digariskan di dalam rapat- adalah korban-korban dari kuasa-kuasa si penimbul chaos tadi. Sebagai bawahan, suara dan pendapat -meski masih didengar- tapi tak dianggap. Sehingga hasil kerja bawahan hanyalah kerja ecek-ecek yang tak dipandang dan kalau dinilai tak lebih basa-basi. Begitulah.

Fenomena ini menarik diungkap karena antara si bawahan dan atasan yang berbeda hanyalah usia. Sementara pendidikan berada pada jenjang yang sama, pun pengalaman bekerja sama secara tim tak jauh beda. Hemat saya, semangat kerja tim terletak pada etika bekerja sama (menghormati perbedaan, memberi peluang kepada rekan kerja mengaktualisasikan diri, serta musyawarah mufakat) bukan kepada siapa kuat dia menang, bukan kepada dia merasa pintar kemudian semena-mena, dll.

Jika siapa kuat dia menang diterapkan dalam kerja tim pada tataran magister, akan menjadi sangat lucu dan norak. Bagaimana tidak, rekan kerja bukanlah orang-orang bodoh dan terima begitu saja setiap putusan yang dihasilkan. Rekan kerja adalah subjek-subjek mandiri, tak pasif, dan sangat kualitatif dalam berbagai hal. Rekan kerja bukan angka meski posisi mereka adalah anggota atau sebagai 'pembantu' dalam kerja tim. Agaknya memposisikan rekan kerja sebagai subjek yang tak berbeda jauh dengan diri sendiri lebih penting dan lebih arif.

Tulisan ini hanya buat lucu-lucuan ketika berada dan mencoba mencari banyak teman di pascasarjana. Tujuannya tidak lain sebagai kritik diri. Meski begitu, tulisan ini menjadi semacam pengingat bahwa pada tataran magister berorganisasi tidaklah sama dengan tataran program sarjana tahun-tahun lalu. Bukan buruk, hanya saja agak norak dan butuh belajar banyak perkara politik -bagaimana berpolitik secara lebih halus.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he