Skip to main content

[catatan] kepada emak nun jauh di pulau

penghormatan di 22 desember

tahun ini kembali orang-orang merayakan hari kemuliaanmu. hari engkau dijadikan pahlawan. ya, sehari saja. karena esok hari orang-orang akan sibuk seperti sediakala. meski begitu, setidaknya masih ada yang menghormati kemudian merayakan kemuliaanmu.

emakku nun jauh di pulau tak pernah berpikir banyak tentang hari ini. bagi beliau, hari-hari tak jauh berbeda. hari penting ialah, hari dimana anak-anaknya punya momen istimewa, hari berkabung suaminya, hari ia dan saudarinya dapat berkumpul bersama. itulah hari istimewa. selebihnya ialah hari ia menciptakan kebahagiaan bagi dirinya, bekerja. bahkan hari ulang tahunnya, mungkin ia tak pernah merenungkan.

hidup dengan suasana yang tak mementingkan hari, saya pikir itu menantang. kampung kecilku tak pernah merayakan hari-hari yang dijadwalkan kalender sebagai hari penting. bahkan hari kemerdekaan, hanya mereka isi dengan selembar bendera di depan rumah. itu pun setelah malam sebelumnya diumumkan oleh pihak lurah. bagi mereka, hari ialah bekerja. bekerja di ladang, di sawah, di los-los pasar, di rumah, di pabrik. selagi dengan bekerja, anak-anak masih tak mampu sekolah layak, buat apa memperingati banyak hari?

sama dengan 22 desember ini. pada hari itu saya sengaja tidak membuka jejaring sosial, kabar berita, dan apalagi demo hak perempuan. esoknya, saya menemukan banyak puisi, narasi kecil, dan berita tentang ibu dan perempuan. banyak yang mendadak aktivis. dan tak sedikit pula yang mencemooh laku momentum itu. ya, begitulah. kita berpacu dengan waktu untuk meneguhkan eksistensi yang entah buat apa. tak sampai 24 jam, semua berubah jadi fatamorgana. karena nasib ibu tidak beringsut dari dalamnya jurang.

pada hari itu, emakku yang jauh di pulau berbincang-bincang tentang ayek. tak sedikitpun terbersit di kepala beliau akan hari 22 desember ini. pun, aku juga tak mengucapkan selamat kepada emak. tahun-tahun lalu, aku mencoba humanis dengan menyampaikan selamat hari ibu kepada emak. "sama saja lah nak, tak ada rancaknya hari itu," jawab beliau. aku meringis. kapok.

di sini kan bisa dilihat, siapa sesungguhnya yang membutuhkan 22 desember itu. pegawai kantorankah yang punya waktu berleha-leha hari itu? atau deretan lembaga yang punya alasan meningkatkan budget untuk memperingati 22 desember? humanisme memang berlaku sangat parsial dan berbeda cara.

kita yang mengejar momen adalah generasi saintis yang hitung-hitungan. semua berdasarkan statistik, aritmatika, dan benar-salah. ya begini. ramai-ramai menyemarakkan 22 desember (ucapan syukur, puji tuhan, doa panjang, dan macam-macam) ramai-ramai pula melupakan. karena momen tak pernah abadi. inilah generasi abal-abal. generasi opium. generasi candu. candu akan tawa, candu akan pesona, candu akan materi, dan candu akan gengsi. hidup silang sengkarut. tak tahu lagi apa sebenarnya yang dibutuhkan. atau kebutuhan itu ialah hasrat ingin dibutuhkan?

di ujung telepon emakku berucap, "akan banyak desember, dan akan seperti ini saja para ibu."

iron shell, 25/12/12

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...