Skip to main content

[Review] Film Arisan 2: Friendship, Homosexuality, and Bourgeois(m)



DI zaman gadget ini film arisan 2 muncul dengan tiga tema besar sebagai modal awal menarik penonton. ada persahabatan, homoseksual, dan gaya hidup kelas atas yang sohisticated dan pesta-pesta. film ini dimainkan oleh aktor-aktris yang cukup 'papan atas' seperti surya saputra, cut mini, sarah sechan, pong harjatmo, dan kawan-kawan.

arisan 2 seperti arisan pertama memiliki semangat film yang tidak biasa. film ini selain membawa tema persahabatan juga blak-blakan mengungkap apa yang terjadi di dunia nyata; keberadaan LGBT dan single parent. beberapa tokoh secara kasat mata ditampilkan sebagai pasangan homoseks dan tak kasat mata beberapa tokoh ditampilkan berkecenderungan lesbian. keberadaan banci juga tak dapat ditampik dalam film ini. banci selain sebagai kenyataan juga sebagai subjek yang tidak selamanya tidak 'berdaya'.

melalui gaya hidup kelas atas, dalam hal ini diwakili oleh kaum urban sosialita, homoseks dan banci mendapat tempat yang tidak terancam. tidak seperti di kehidupan nyata yang serba sembunyi-sembunyi dan dirazia. homoseks di tengah pergaulan kelas atas, yang identik dengan 'kemajuan', keberadaan mereka diapresiasi, dihormati, dan diberi ruang untuk berartikulasi, meski penentang di sekitar mereka tak pernah mati.

menarik dikaji sebagai 'dekonstruksi' paradigma common sense bahwa kaum homoseks juga punya 'naluri' cinta pada sahabat. dalam arisan 2 naluri cinta ini disebarkan oleh tokoh-tokoh yang digambarkan sebagai kaum minoritas, seperti homoseks, single parent, dan janda. tampaknya, melalui persahabatan, universalitas cinta 'bisa' ditebarkan oleh siapa saja. menurut saya ini kerangka besar dari arisan 2 yang ingin dibangun di benak penonton.

mungkin sebagai permulaan, arisan 2 memilih penyebaran cinta melalui kehidupan kelas atas, tidak kelas menengah bawah. ini bisa menjadi miris sekaligus pionir bahwa keberadaan LGBT dan single parent bukanlah aib dan penyakit. miris, karena hanya berfokus kepada kaum yang secara material dan pengetahuan mapan. kemapanan ini menjadi bargaining untuk mereka berbuat apa yang dimau sekaligus menolak apa yang tak diinginkan.

misal, jika indonesia menolak hubungan sesama jenis, kaum homoseks kelas atas bisa berbebas ria ke luar negeri guna mengekspresikan mau mereka. jika ini terjadi pada homoseks kelas menengah dan pas-pasan, ini melahirkan masalah baru. keterbatasan material dan pengetahuan menjadikan mereka hidup dalam kotak pandora; dikerangkeng berlapis-lapis kotak. dan deklarasi diri sebagai bagian dari kaum homo saja akan menjadi masalah besar. pertanyaan, apakah untuk menjadi homoseks yang 'aman' di indonesia harus berdeposito ratusan juta dulu?

tidak berdeterministik dengan masalah finansial, tapi keberadaan materi dan pendidikan (tinggi) bagi 'kebebasan' kaum homoseks menjadi penting. ini realita yang coba dihadirkan oleh arisan 2. tak jauh berbeda dengan status minoritas lainnya yaitu single parent dan janda. dua status yang dilekatkan kepada perempuan ini akan sedikit 'tidak berbahaya' jika mereka memiliki tabungan dan pengetahuan cukup sebagai relasi mereka dengan dunia sekitar.

tokoh lita dan andine sebagai single parent dan janda tidak ditampilkan sebagai ibu yang 'super care' dengan anak-anak mereka. andine adalah perempuan yang sibuk pesta dan 'revolusi diri' demi mempertahankan kemudaan. sementara lita ialah perempuan batak yang termakan akan stereotype sukunya. bahwa sebagai pengacara 'otomatis' ia harus ikut serta memperbaiki bangsa ini pada kedudukan lebih tinggi dalam pemerintahan yakni anggota dewan atau wakil rakyat. untuk kasus ini, lita digambarkan sebagai perempuan yang gila karir dan tak memiliki insting keibuan.

cermati tokoh perempuan-perempuan dalam arisan 2. mereka digambarkan sebagai tokoh yang 'tidak utuh'. single parent, janda, tak bergairah pada suami, gampang ditipu, hura-hura, cenderung lesbian, penyakitan (kanker), gampang tergoda laki-laki, dan banyak berharap kurang bersyukur. arisan 2 tak dapat ditampik selain membawa semangat keberadaan LGBT, di sisi lain juga meneguhkan posisi 'bahwa perempuan itu lemah'. ini paradoks. niat hati ingin memberi kebebasan, padahal secara bersamaan sedang menekan yang lain.


3fold room, 9/12/12

Comments

  1. review filmnya bagus :) yang mau baca review film terbaru bisa langsung ke http://gostrim.com/category/movie-review/ selamat membaca :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Silahkan berkomentar ^_^

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...