Skip to main content

6 Desember: Money Politic of My Mom and My Birthday



"amak, adek ulang tahun," muka senang dan suara riang.
"oya? keberapa?" amak tanpa merasa berdosa bertanya begitu.
"23," muka ditekuk.
"hahaha, wah sudah besar anak amak,"
"amak kasih adek kado apa?" ceria.
"nanti kalau pulang, amak kasih uang!" lagi, tanpa merasa bersalah.
"amak uang terus. yang lain apa?" sok protes.
"amak harus kasih apa selain itu? adek beli sendiri aja nanti kadonya." ketawa.
percakapan roaming kemana-mana dan diputus setengah jam kemudian.
biasanya dengan kesimpulan; "adek rajin belajar. banyak makan sayur. jangan lupa sembahyang. baik-baik dengan orang. baik kepada teman maupun kepada pacar. adek ada uang? amak doakan lancar dan berprestasi sekolahnya. jangan lupa doakan abak ya."
semua saya jawab dengan iya dan amin.

percakapan serupa ini sudah terjadi mungkin ratusan atau ribuan kali. sejak saya masih di padang dan sejak teknologi hape akrab dengan amak, yang dulu juga dengan abak. kesimpulannya selalu sama, atau hanya beda seangin. ya, model kalimat di atas itu.

percakapan pendek ini menarik saya berpikir ulang dengan kerangka berpikir saya yang mulai mengambang. ada dua hal yang ingin saya ulas; politik uang amak dan ulang tahun saya.

politik uang amak

"nanti, kalau rapornya ada angka 8, abak beli seharga rp 1.000. kalau angka 9, abak bayar rp 1.500. dan tak mungkin kamu dapat angka 10 kan? hahaha."

saya pikir ini embrio kenapa politik uang bermain dalam pikiran amak dan abak, kemudian merembes ke seluruh anggota keluarga. menurut orang tua saya, cara membahagiakan anak ya dengan memberi mereka uang. dengan uang mereka bisa membeli pensil bagus. gonta-ganti sepatu sekolah setiap hari. seragam cemerlang. uang jajan tak masalah. pokoknya tinggal sebut, maka akan dapat, termasuk rendang rusa. dengan begitu, mereka pasti tak rewel. tak meminta-minta. tak lapar ketika melihat makanan. tak mencuri milik orang. dan tak membuat malu orang tua. maka politik uang dilestarikan hingga 2012 ini.

model berpikir amak, menurut saya adalah pola berpikir orang tua yang sudah common sense. tak ada yang baru dalam pola pikir begini. hampir di banyak daerah orang tua memperlakukan anak-anak mereka dengan politik uang. apa sih yang dibutuhkan anak-anak kalau bukan mainan bagus, makan enak, dan uang?

deskripsinya begini: subuh-subuh amak berbisik di telinga yang mataku terlelap, 'amak berangkat ya. hati-hati sekolah nanti. muah!' kemudian mereka pergi entah kemana. pagi hari, aku mandi, pakai seragam, ambil uang sekenanya di laci meja atau di kamar amak, menghayal di atas angkutan sekolah. sampai sekolah sarapan, cekikikan di kursi paling belakang, membual di kantin, masuk keluar rimba di belakang sekolah, berenang seperti kerbau di sungai, pulang, makan kalau amak sedang rajin memasak, tidur, mengaji, menonton, tidur lagi sampai pagi. begitu siklusnya bertahun-tahun.

sesekali abak dipaksa agar membelikan keyboard dan gitar kecil guna belajar musik, punya bola basket agar kelihatan keren di sekolah, pakai sepatu terlarang, pakai dasi laki-laki, pakai rok dan kemeja terlarang, menempel gambar dan lukisan blusukan di setiap celah kamar, menggantung segala yang pantas digantung. ini paradoks. apa yang terjadi? di sekolah larangan sudah menjadi makanan, di rumah amak abak tak pernah melarang tuh! agaknya, ternyata semangat sekolah tak sama dengan semangat orang tua saya; sekolah menolak politik uang!

bisa jadi amak abak tak peduli dengan ketidaksepakatan sekolah guna menolak politik uang terhadap muridnya. bagi orang tua saya, jika mereka mendidik anak mereka dengan cara yang 'salah' itulah tanggung jawab sekolah untuk 'membenarkan'. tapi, jika mereka 'tidak salah' dalam mendidik anak mereka di rumah, maka sekolah juga bertanggung jawab guna 'semakin membenarkan' anak mereka agar cerdas dan kritis berpikir. itu tujuan orang tua saya rela membayar apa saja yang sekolah iurankan. perkara anak mereka kelak rakus dengan uang atau tidak, orang tua saya sudah mendidik jauh-jauh hari. tinggal mengemas bagaimana uang tidak berubah menjadi tuhan.

politik uang tercipta karena itu praktis. kedua karena keterbatasan waktu. di tengah keluarga yang sangat marxis -baru sadar ternyata abak dan amak saya sangat marxis- mode of production keluarga bagaimanapun caranya harus selalu berjalan dan berputar. memiliki empat anak di zaman orde baru, sebagai keluarga diaspora bukanlah hal gampang. orang tua saya sebagai minoritas mau tidak mau harus membangun image bagus dan sukses baik mereka sebagai minoritas, maupun sebagai mayoritas di tempat lain. keterbatasan akses pendidikan (amak saya SMP dan abak saya tamat SPG dua kali) serta ideologi sebagai etnis keturunan pejuang berpengaruh besar kepada orang tua saya -khusus abak- yang sangat idealis menolak berafiliasi dengan pemerintah.

bagi orang tua saya, governance is bulshit! -sangat deterministik. simpulan ini diambil dari nostalgia dan history imaginary akan perang PRRI dan atau PDRI. mereka menyebut dengan perang peri-peri. ialah perang dimana mereka harus terkubur di dalam hutan dan gua berminggu lamanya. penyebabnya agresi belanda II dan, konon, 'pemberontakan' famili dan keluarga jauh orang tua saya di provinsi seberang. nenek tetangga saban hari mengoceh dengan amarah akan kekejian perang ini. tapi, si nenek hanya sebagai korban, belum menyingkap akan adanya 'khianatan'. sayang, si nenek keburu meninggal.

kesanksian orang tua saya terhadap negara ini mengakibatkan mereka enggan atau tidak ingin berlama-lama berurusan dengan negara -birokrasi dan administrasi. mereka lebih memilih mandiri -wiraswasta. ini satu-satunya jalan agar makan dan tidur mereka enak tanpa diusik oleh negara. dan ini satu-satunya jalan -jika akses pendidikan bagi mereka masih minim- setidaknya untuk anak mereka terpenuhi. singkat kata, dengan ketersediaan uang orang tua saya menggantungkan cita-cita kepada anak mereka. cita-cita yang bukan menimbun uang, tapi cita-cita akan kecerdasan buat pemberdayaan diri sendiri dan pemberdayaan orang banyak.

ulang tahun saya

6 desember lalu genap saya 23 tahun. usia yang bagi amak saya masih muda dan bungsu. lihat saja dari percakapan pembuka di atas. respon amak masih sangat biasa dan tak ada spesifikasi berlebihan yang beliau gantungkan. pesan beliau sama dan itu-itu saja. bisa jadi ini pesan wajar dan tak ada yang baru. tapi, juga bisa dibaca terbalik, bahwa saya dalam pikiran amak saya selalu dalam keadaan berulang tahun dan diupayakan harus selalu berada pada kondisi spesial, hehe.

sejak beberapa tahun lalu saya selalu menuliskan momen-momen yang saya anggap penting dalam hidup, termasuk ulang tahun ini. tahun lalu saya menulis panjang yang isinya doa dan harapan seabreg dan seberat gandum. semua tentang hidup dan harapan saya di hari esok. spesial, meriah, sukses, panjang umur, sehat, kaya raya, dan seterusnya. dengan berulang tahun saya merasa hidup saya akan sempurna. tapi, ternyata belum.

ada kecenderungan saya enggan membaca ulang kata muluk-muluk dalam perayaan ulang tahun itu. ada beban rasanya karena tak terpenuhi. ia saya tuliskan dan saya tinggalkan begitu saja di dalam blog. terserah mau apa dan bagaimana selanjutnya. yang jelas saya telah melaksanakan ritual menulis ulang tahun. payah!

23 ini, saya bisa jadi tak begitu. masa ini adalah masa tersulit dalam agenda saya mencerdaskan dan mengkritisi hidup. ini masa dimana kerangka berpikir saya yang sejak puluhan tahun dibolak-balik oleh sistem baru; ilmu pengetahuan kontemporer. cukup menyesakkan dan membuat galau. salah-salah saya bisa jadi gila.

di hari ini, saya tak mintak apa-apa kepada raja curhat sedunia: tuhan. saya justru belajar berterima, mengapresiasi segala kenikmatan ini. kenikmatan dari orang-orang terkasih dan tercinta. amak, uni-uni, uda-uda, teman-teman, saudara, udara, ilmu, makanan, minuman, pohon, jambu, dan masih banyak lagi. apresiasi terhadap segala salah dan kekeliruan. moga-moga tak lagi sok-sokan, tak lagi egois, berkurang amarah, dan buat hidup ini sederhana tapi bermakna.

saya baca buku, nonton film, berteman dengan hal-hal yang tidak biasa. tonton film yang genrenya berbeda. baca buku yang juga jauh berbeda. tak lagi membaca buku-buku motivasi, buku-buku petualang, buku-buku rohani, tapi buku-buku sejarah pejuang, buku-buku suara orang-orang kecil dan terpinggirkan. terpinggirkan secara usia, etnis, agama, budaya, gender, dan kelas sosial.

inilah yang ingin saya abadikan pada momen ini. politik uang amak saya tidak masalah buat saya. itu adalah model perlawanan terhadap ketidakmampuan beliau memberikan hal lebih kepada anaknya. ya, beliau tidak bisa memberi banyak ilmu serupa orang tua berpendidikan tinggi lainnya. beliau juga tidak bisa mengarahkan masa depan karir seperti apa yang pantas dan cocok bagi anaknya. beliau hanya memfasilitasi dengan uang, karir dan masa depan seperti apa yang diharapkan oleh anaknya. itu saja, bagi saya, sangat cukup sekali.

selamat makan siang

#edisi huruf kecil

3fold room, 9/12/12

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...