Skip to main content

Si Robin Galau Menjelang Lebaran



CERITANYA begini bror. Menjelang lebaran, galau akan baju baru memang selalu melanda. Bagaimana tidak, jika seseorang berduit cukup namun tak punya banyak waktu melalang ke mal-mal, ini mampu mengguncangkan dunia persilatan si Robin. Ditambah lagi riuh ramai mereka yang gajian terlebih dahulu dan berteriak sepulang dari lapak penjualan baju. Guncangan makin tak terelakkan.

Akhirnya Robin memutuskan menutup mata. Ketika Honda Jazz parkir di depan kosan dan menunggu menenggerkan baju-baju ke bagasinya, Robin gigit jari dan menangis semalam; takkan ada moment memilih baju dan berlagak riang di fitting room, hikz. Lebaran tiba-tiba lebih kejam daripada macetnya jalur Nagreg.

Untungnya ada hadiah dari Bali beberapa waktu lalu. Itupun pas-pasan dipakai di tengah keluarga besar. Maklum, model santai dan tak ribet. Sebenarnya ini gambaran watak aseli. Bahwa Robin itu tak ingin ribet dan tak prosangat feminin. Cukup bercelana jins atau belel dengan atasan longgar mudah bergerak seperti orang hendak tawuran plus selendang dijejalkan seadanya di kepala. Cukup! Tak lebih dan tak perlu
kembang-kembang murahan.

Tapi hati, jantung, dan kesialan tak hendak kompromi. Maka lahirlah hasrat yang tidak-tidak; ingin jilbab modis semodis artis sinetron dengan blus muslim yang harganya selangit. Maklum itu bahan blus 1000% catton. Dan, kebanyakan dipakai oleh perempuan muda yang broker; moneygirl! Bagaimana dengan Robin yang gajinya seangin di atas UMR kota ini. Aih, jangan berlagak kaya deh! Kalau miskin tak usah sok kaya. Robin cries so bad!

Tapi bukan Robin namanya kalau tak mampu memuaskan diri sendiri (bukan dengan masturbasi lho, mbekekek!), tentu dengan cara yang masuk akal dan sangat manusiawi. Caranya, melihat-lihat model jilbab modis dan sangat update menit itu. Dengan melihat saja, Robin merasa itu sudah cukup. Untuk membeli dan mengenakannya, tunggu dulu! Pertama karena kemampuan rupiah yang memang cekak, kedua itu model lu banget gak sik?
Dan tanya kedua ini yang memikirkan ulang untuk berbelanja dan ikut modis. Robin has won!

Cuci Mata Kedua; Pesta Nikah Penuh dengan Karyawan Modis!

Nah, ini satu lagi peluang cuci mata tanpa mesti mengeluarkan uang. Setiap perempuan yang tampak, jilbab dan pakaian muslimah mereka memang cantik-cantik. Soal serasi dengan kulit itu soal nanti. Yang jelas, Robin salut dengan percaya diri yang mereka tampilkan di sana. Jika sehari-hari mereka cukup berjilbab praktis dan apa adanya, dalam moment itu tiba-tiba mereka berubah sangat Iran, hehe.

Itu terjadi hari lalu. Hari ini Robin dengan ringan hati browsing akan model jilbab. Wah, benar adanya. Model yang mereka kenakan kemaren benar-benar tengah update bror! Hampir semua model yang tampak kemaren persis ditampilkan oleh mbah google hari ini. Paling harga dan warna saja yang berbeda. Dan mereka benar-benar berani. Salute!

Robin pulang dengan hati riang. Robin sadar, untuk memuaskan hasrat berbelanja tak perlu harus memiliki barang-barang itu. Karena jika menurutkan mata yang lapar, esok hari Robin akan jadi pengamen dengan jilbab seharga pendapatan seminggu pengamen di Nol Kilometer Jogja. Maka Robin tetap seperti orang kampung dengan jilbab seadanya, jauh dari kesan modis, apalagi sebagai orang beruang tebal.

Kemudian Robin sadar, bagaimana fenomena jilbab dimanfaatkan oleh para desainer perempuan muda dalam dan luar negeri. Jilbab-jilbab impor memenuhi pasar kaki lima di pelosok negeri. Model jilbab yang dipakai perempuan-perempuan Iran juga menyesaki mata setiap lewat di keramaian, termasuk di pesta-pesta. Modis dan casual dalam berjilbab beberapa tahun silam ini menjadi daya tarik perempuan muda untuk berjilbab. Apakah hati dan pikiran mereka juga berjilbab, Robin tak memikirkan dan menuliskan itu.

Fenomena ini sebenarnya sangat Robin nikmati sebagai tamparan kebudayaan dalam perkembangan dunia islam di tengah-tengah bumi yang semakin menuhankan uang dan tunduk pada pemilik modal. Bagaimana tidak, Robin saja sudah enggan memakai jilbab dua tahun silam. Alasannya, hello udah gak jaman lagi ya makai jilbab model ibu-ibu begitu! Lagian, kok pede banget ya tampil serampangan dengan model jilbab jaman Cleopatra itu. Alamak! Robin benar-benar hilang akal!

Robin yakin, pikiran ini juga tumbuh subur di dalam benak kaum perempuan muda islam. Lihat saja di mal-mal (hehe, ketauan ya Robin suka windows shopping), ketika salat Ied, ketika main di Ancol, ketika silahturami ke rumah-rumah, ketika nongkrong di TMII, dan ketika nyicip es krim di pesta kawinan, mereka tak ada lagi pakai jilbab model dua tahun silam. Serba baru, modis, dan cukup murah kok harganya, berkisar Rp 25-75 ribu saja.

Jilbab dengan modelnya yang semakin modis, casual, dan meriah menjadi skala prioritas sendiri ketika berbelanja. Kedudukan jilbab di lemari pakaian sudah sejajar dengan kemeja, blus, celana, dan pakaian lengkap lainnya. Itu menandakan, di tengah keluarga muslim (ingat! muslim saja ya, katakanlah itu islam KTP), posisi jilbab semakin dihargai meskipun awalnya hanya untuk gaya-gayaan.

Robin bangga dan senang dengan kemajuan ini. Meski Robin tak ikut dalam modis-modisan, Robin cukup puas hanya dengan mlototin di toko online atau teman-teman yang belajar modis. Bukan Robin tak mampu beli atau sok anti modis. Karena hanya semata Robin adalah pria dewasa yang ingin berjualan jilbab, hehehe *kemplang!

#foto internet

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...