Skip to main content

Kakek Nenek di Era Globalisasi



KETIKA bercengkerama ria bersama karib kerabat, biasanya para pekerja sosial (bahasa bekennya aktivis), candaan agar mati muda adalah salah satu yang ‘dicita-citakan’. Selanjutnya Soe Hoek Gie, adalah salah satu nama yang tak bisa ditampik dalam pembicaraan itu. Ia menjadi pujaan, khususnya akan gerakan dan karya-karyanya. Kenapa? Ini menjelaskan, bahwa usia muda harus digebrak sedemikian rupa untuk terus bekerja dan berkarya –tidak kemudian bercita-cita pensiun di usia 40 tahun. Nah, ketika ajal menjemput, katakanlah itu di usia belum genap 30 tahun atau setidaknya tak sampai menjadi nenek kakek dan masuk panti jompo, adalah sangat ‘sesuatu’ hingga luar biasa. Kata dosen saya, menunggu tua itu menyakitkan! Kemudian, sebagai contoh yang fenomenal, di kalangan kaum adam, keputusan memilih untuk berkumis atau tidak disesuaikan sedemikian rupa, mulai dari menginjak usia kepala tiga (tidak berkumis atau kumis tipis), empat puluh hingga 50 tahun (mulai agak tebal), 60 tahun (kumis dicukur habis) hingga penghujung 70 dan seterusnya. Ini taktik untuk mengaburkan penuaan.

Ketika Voice of Amerika Indonesia mengabarkan perihal jumlah lansia di seluruh dunia mencapai 1 milyar orang, dan itu membawa tantangan tersendiri jika tak diimbangi dengan jumlah kaum mudanya, saya jadi terbawa arus untuk ikut serta mengulasnya. Di bawah ini kutipan berita dari VOA Indonesia pada Kamis (04/10/2012) :

Jumlah Lansia Sedunia Diperkirakan Mencapai 1 Miliar dalam 10 Tahun

Hasil penelitian yang diterbitkan pekan ini oleh Dana Kependudukan PBB mengungkapkan jumlah lansia di seluruh dunia dapat mencapai jumlah 1 miliar orang dalam kurun 10 tahun mendatang.

Penelitian yang berjudul “Aging in the Twenty-First Century: A Celebration dan a Challenge,” diterbitkan pekan ini oleh Dana Kependudukan PBB. Penelitian itu mengatakan bahwa dalam tahun 2000, untuk pertama kalinya dalam sejarah, ada lebih banyak orang yang berusia 60 tahun atau lebih daripada anak-anak di bawah usia lima tahun.

Para pakar demografi mengatakan bahwa sebelum tahun 2050, jumlah generasi yang lebih berusia lanjut akan lebih besar daripada penduduk berusia di bawah 15 tahun. Dalam hanya 10 tahun, jumlah lansia akan melampaui 1 miliar orang, peningkatan yang hampir mencapai 200 juta dalam waktu 10 tahun.

Laporan baru itu menunjukkan bahwa, sekalipun peningkatan jumlah lansia patut disambut dengan baik, hal tersebut juga memberi tantangan yang sangat besar bagi perawatan kesehatan dan pengaturan tunjangan masa pensiun, pengaturan perumahan dan hubungan antar-generasi.


Tantangan bagi negara atas meningkatnya kaum lansia ini tidak hanya berkutat pada hal kesehatan dan pengaturan tunjangan masa pensiun, tapi juga hal remeh temeh. Maksudnya, soal bagaimana kondisi sosial memandang kemudian memosisikan kaum lansia ini di tengah arus globalisasi juga perlu dipikirkan. Terlepas dari apakah mereka tinggal dan hidup di panti-panti jompo atau diasuh oleh sanak saudara sendiri.

Era global adalah era gila dan sangat narsistik (kurang lebih begitu Lyotard mengatakan). Di era ini orang –dengan kekuatan- akan berlomba-lomba memenuhi segala keinginan meskipun itu lebih banyak yang bersifat artifisial. Tak peduli itu butuh atau tidak. Tak peduli itu berpengaruh fungsional atau tidak. Yang penting ‘tamparan’ fenomenal akan tren itu terpenuhi dan tersimpan di dalam rumah sendiri. Apakah dengan begitu kepuasaan terpenuhi? Tunggu dulu.

Nah, apa dampak horizontal era narsistik ini pada nasib kakek nenek?

Kakek nenek yang secara harfiah adalah manusia yang lemah tidak hanya fisik tapi juga pikiran -tentu saja sangat tidak potensial- menjadi semacam tanggungan sekaligus penghalang. Tidak bermaksud durhaka, kaum papa ini menjadi tanggungan sekaligus penghalang tidak hanya pada sanak saudara sendiri tapi juga pada negara dalam konteks yang lebih general. Muaranya, kakek nenek menjadi marginal dan ter-subalternity, jika men-subyetifikasi diri pada kaca mata poskolonial dan atau kajian budaya.

Selanjutnya, ternyata negara sudah memberikan ‘simpati’nya pada kakek nenek, dalam hal ini tunjangan pensiun, yang tentu saja diregulasikan. Apakah sudah merata di setiap negara? Jika sudah, apakah dengan begini, persoalan kaum papa serta merta terangkat kemudian (kembali) tercerahkan? Belum tentu. Contoh konkret, kunjungi saja panti-panti jompo di sekitar tempat tinggal kita. Atau, mau yang lebih sederhana, luangkan waktu melihat dan mencermati bagaimana kaum papa di negeri ini. Jika kondisi mereka sangat menyedihkan dan menguras emosi, kita tak perlu menyumpah-sumpah kepada karib kerabat kaum papa, yang mungkin dalam benak kita mereka durhaka.

Perlakuan negara atau sanak kerabat agak sedikit berbeda dengan konsep yang coba ditawarkan oleh pemikir poskolonial, yakni menyuruh mereka bersuara dan bertindak sendiri. Dalam situasi kakek nenek, di tengah deraan yang papa, mustahil mengharapkan mereka berdemo atau melakukan aksi fisik untuk kembali membuat kehidupan mereka layak, layak dipenuhi kebutuhan, layak dihormati, dan terutama layak dicintai. Artinya, kaum papa ini lebih banyak membutuhkan rasa empati dari orang-orang di sekelilingnya yang ‘lebih kuat’ dari diri mereka. Di sini negara dan sanak kerabat ditantang agar kaum lansia tidak hanya hidup menunggu ajal semata. Tapi, ada yang diharapkan sekaligus dibanggakan di hari tua mereka yang kata banyak orang penuh cekaman.

#foto dari http://alumni-smun3kobi.blogspot.com/2012/04/jutaan-lansia-terlantar.html

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he